Try new experience
with our app

INSTALL

Cyansah 

Cincin CV

"Dasar wanita tak bermoral! Bisanya merebut tunangan orang. Kalo udah nggak laku, jangan suka goda yang sudah punya, dong! Cari yang jomlo. Dasar pelakor!" Sebuah tamparan berhasil mengenai pipiku. Aku merasakan bekas tamparannya begitu panas, sehingga aku mengelusnya dengan pelan. Sakit.


 


 

"Ingat, ya! Sekali lagi aku melihatkamu bersamanya, aku tak segan-segan menghancurkan hidupmu dan juga Vallen! Camkan baik-baik." Kedua bola matanya tajam menusuk ke arahku. Untung saja tak keluar, hehehe. 'Kan bahaya.


 


 

"Itu tak seperti yang Mbak pikirkan. Aku dan Vallen sudah tak punya hubungan apa-apa lagi," jawabku meyakinkan dengan nada selembut malaikat supaya dia merasa tenang dan menang.


 


 


 

"Stop!" Jarinya menunjuk wajahku, mengisyaratkan untuk tak berkata lebih lanjut lagi. "Aku tak mau mendengarkan penjelasan dari bibirmu. Kau tak lebih seorang wanita licik berkulit lembut yang pernah kutemui di dunia ini," ketus wanita yang tak lain adalah tunangan Vallen.


 

Bommm ....


 

Bulir-bulir bening berjatuhan menerobos jalan yang jarang dilalui. Sungguh di luar kendali. Namun, kata-kata pedih itu masih terngiang dan selalu mengganggu pikiranku. Sungguh sakit! Menusuk, hingga ke inti jantungku. Bagaimana mungkin bagiku merebut milik orang lain? Aku serendah itu kah? Kami bertemu sudah lama sebelum kalian bertunangan. Kami saling mencintai, tetapi takdir berkata lain.


 

Mataku terpejam, ingin semuanya cepat berlalu. Namun, bayangan makhluk itu terus menghantui hari-hariku. Walau sulit bagiku melepaskanmu, tetapi bukan berarti aku melupakanmu. Vallen!


 

Perlahan, kubuka mataku. Pandanganku tertuju pada pohon besar di sana. Tempat itu, mengingatkan aku pada lembaran masa laluku bersamanya.


 

"Jangan pikirkan apa kata orang lain. Tetapi tentang apa yang kamu rasakan saat ini." Vallen menatapku dalam. "jadi tolong, jangan diemin aku. Jangan buat aku menderita. Aku sangat mencintaimu, Cyan."


 

Jika saja aku bisa berteriak, aku mungkin sudah melakukannya, bahwa aku juga sangat mencintaimu, Vallen. Bahkan lebih dari yang kamu tahu. Tapi, aku sungguh tak bisa mengatakan itu sekarang.


 

"Cyan, jawab aku! Aku salah apa?"


 

Derai beningan terus mengalir, sungguh tak kuasa untuk mencegahnya. "Kamu tidak salah apa-apa, Len. Aku yang salah." Aku mengusap kasar air mataku. "Vallen, Aku harus pergi."


 

"Jika kesedihanku tak mampu menahanmu, apakah cinta ini juga tak bisa menahanmu untuk tidak pergi?"


 

Andai kamu tahu, aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan saat ini. Aku juga punya hati. Kuharap, keputusanku hari ini, dapat membawa kebahagiaan tersendiri. Penyakitku telah divonis. Biarkan aku pergi. Aku tak mau kamu bersedih.


 

"Kumohon, jangan tinggalkan aku. Bersamamu adalah kebahagiaanku. Tanpamu, aku tak tahu lagi arah hidupku." Vallen memelukku erat seakan tak mau membiarkanku pergi.


 

"Maafkan aku. Keputusanku sudah tak bisa diubah lagi. Aku harus pergi!"


 


 


 

Aku menarik napas dalam-dalam. Andai saja, saat itu aku tidak pergi. Tidak akan seperti ini. Salahku tak memberitahukanmu jenis penyakitku padamu. Tapi, aku juga bukan anak durhaka, yang mau membantah keinginan Ibu. Orang tua mana yang tak menginginkan anaknya lepas dari penyakit langka?


 


 


 

Ah, sudahlah. Masa lalu ya masa lalu, semuanya telah berlalu, dan biarlah berlalu. Sekarang, kuingin hidup baru tanpa ada pengganggu. Yah, hidup baru tanpa embel-embel masa lalu.


 

Aku beranjak dari tempat pertemuanku dengan wanita pedas itu. Namun, Sebuah panggilan yang familyar di pendengaranku. Sungguh, pemilik suara itu yang membuatku depresi selama ini.


 

"Cyan."


 

"Vallen," jawabku datar. Walau sebenarnya penghuni rongga sangat senang tujuh keliling. Ah, sudahlah.


 

"Kita sudah lama berpisah, dan pasti punya alasannya, kan? Sekarang kamu telah kembali. Aku sangat bahagia. Kita bisa bersama lagi." Suara yang lama kurindukan, kini benar-benar nyata di hadapanku.


 

Ya, saat ini aku tak mau hiraukan kata orang, akan kuikuti kata hatiku. Setelah sekian lama pertahananku akhirnya runtuh saat ini. Sosok yang gentayangan dalam pikiranku, kini telah nyata.


 

Iris matanya berwarna hitam, bentuk hidungnya yang mancung, pipi yang suka tumbuh bulu-bulu hingga ke dagu, semuanya aku rindukan.


 

Oh, tidak. Aku tak boleh jatuh dalam pelukkannya. Tidak akan. Hatiku bersikeras menahan hasrat. Tetapi tatapannya mampu meluluhkan hatiku yang keras. Aku tak tahu apakah ini yang namanya kekuatan cinta?


 

Aku mendekapnya. Melepaskan kerinduan berat. Mungkin ini yang menjadi terakhir kalinya merasakan kehangatan tubuh Vallen?


 

"Tidak, Vallen. Takdir kita tidak sama. Kamu sudah bertunangan, aku juga sudah bertunangan. Kita sama-sama telah dimiliki orang lain."


 

Vallen membalas pelukanku erat.


 

"Bagaimana itu bisa terjadi? Tidak. Setidaknya kita punya cinta yang dapat dipersatukan kembali."


 

"Apa yang tak mungkin? Ini semua telah terjadi. Saat aku di Australia untuk berobat, aku mendengar kabarmu bahwa kamu bertunangan, bahkan kondisiku saat itu sempat memburuk. Alhasil, ... aku menerima donor jantung dari seseorang." Mataku terpejam mengingat penolongku saat itu. "Seseorang itu, adik yang kini jadi tunanganku."


 

Berkali-kali aku ingin melepaskan pelukan Vallen, namun perasaan ini mengalahkan semua itu. Terasa nyaman sekali. Selain pada Daffa—tunanganku, pada siapa lagi aku berlabuh? Sedang ibuku sudah berpulang di taman sorga.


 

"... saat itu, adik tunanganku ditabrak lari. Kondisinya tak memberi harapan, bagian belakang kepalanya terluka parah." Aku menceritakan apa yang kutahu, sembari menghela napas panjang.


 

"Aku tak bisa menghindar dari kenyataan. Walau bagaimanapun juga, jantung yang saat ini aku miliki, bukan millikku. Seandainya aku tahu saat itu, aku lebih memilih tiada di dunia ini."


 

Valenn, seandainya saja kamu tahu, hidupku sekarang gelap. Tak tahu kemana lagi. Aku tak berdaya. Haruskah aku memberontak pada kegelapan ini?


 

"Tidak. Kita masih punya waktu untuk melawan takdir. Kita pasti bisa. Jangan khawatir, selagi kita punya tekad yang kuat, semua akan baik-baik saja," ucap Vallen meyakinkanku, sembari melepaskan pelukan yang masih ingin aku nikmati. Hangat.


 

Tidak. Aku tidak boleh mengelabui kenyataan lagi. Aku dan dia sama-sama sudah bertunangan. Tidak semudah lidah berkata, melawan takdir.


 

"Kalau bisa melawan takdir, itu mungkin hanya kamu yang bisa. Sementara bagiku, sangatlah mustahil. Bagaimana bisa aku punya hak atas itu. Raga ini bukanlah milikku lagi."


 

Aku meraih tangan Vallen yang sudah mematung. "Mari kita akhiri hubungan ini, tanpa ada orang lain yang terluka. Walau kita tak bisa bersatu, namun cincin ini telah menyatukan cinta kita." Aku memperlihatkan cincin yang masih melingkar di jari manisku. "... akan aku simpan seperti cintaku padamu. Aku harap kamu begitu." Mataku melihat cincin berinisial CV yang juga melingkar di jari manis Vallen. Ciyansa dan Vallentino Pratama.


 

Sebuah sentuhan hangat mengenai bahuku, membuyarkan lamunanku.


 

"Sayang, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Daffa— tunanganku, penuh khawatir.


 

"Aku tidak apa-apa, kok." Aku tersenyum meyakinkan Daffa, sembari mengelus cincin cintaku.


 

Semua telah berakhir, bersama mimpi yang berujung luka. Kuakui cinta itu begitu kuat. Karena pada cinta ada kebahagiaan. Oleh karena kekuatan cinta, dapat menepis semua problema. Dan mengalah itu juga sudah menjadi bagian dari pada cinta.


 

Bersambung....