Contents
Tentang Cinta yang Tidak Pernah Tersesat
Dua
“Bolehkah gadis sepertiku jatuh cinta?” ucapnya kemudian.
Menoleh pada Andin, si pria tua tersenyum dengan tulus. “Tentu. Setiap orang berhak untuk jatuh cinta, Andin. Begitupun kamu, tidak peduli pada fisik atau apapun yang sedang kamu bimbangkan," ujarnya lembut. Senyumnya kemudian berubah menjadi kekehan kecil, menampakkan deretan gigi yang masih rapi meskipun rambutnya telah memutih sempurna. "Nah, coba ceritakan siapa pemuda beruntung yang membuat gadis cantik ini jatuh cinta?”
Andin menunduk, menatap pada flatshoes hitam yang membalut kaki mungilnya. "Bukan siapa-siapa,” jawabnya. “Lagipula aku mungkin tidak akan bertemu lagi dengannya.”
Terbesit penyesalan dalam diri Andin ketika ia memikirkan perkataan barusan.
“Mengapa tidak?” timpal si pria tua. “Saya ingat, istri saya selalu berkata bahwa cinta sejati tidak pernah tersesat. Kalau ditakdirkan, tinggal menunggu waktu kalian akan bertemu lagi, di momen-momen tak terduga.”
"Momen tidak terduga, ya?" Seperti saat dirinya bertemu pemuda itu, batin Andin.
"Akuilah, semesta memang selalu mengejutkan kita dengan cara yang unik," ungkap si pria tua. "Saya dan istri saya pun begitu. Sewaktu muda, saya tipe lelaki angkuh yang bahkan menjadikan pernikahan sebagai sarana balas dendam. Saya berpikir penikahan tidak bertahan lama, tapi rupanya semesta mengejutkan saya. Istri saya begitu gigih berusaha mengubah dendam saya menjadi cinta. Dan begitulah yang terjadi hingga saya tiba pada momen dimana saya tak berhenti mengucap syukur atas perempuan yang saya nikahi dalam hidup saya."
“Kisah yang indah,” komentar Andin. “Istri Bapak itu, pasti seorang perempuan yang cantik, ya?”
Pria di sampingnya mengangguk. “Cantik, sangat cantik! Dia itu perempuan yang paling tulus mencintai saya sampai maut memisahkan,” katanya. Lelaki itu mendongak ke hamparan langit malam yang berkilauan sebelum melanjutkan kalimatnya. “Sejujurnya, kamu dan suasana seperti ini mengingatkan saya pada masa lalu. Dulu, dia suka membawa saya piknik di tepi danau begini, memandangi langit malam dan berusaha menjelaskan bahwa salah satu dari bintang-bintang itu bernama Aldebaran, seperti nama saya. Tapi saya tidak paham astronomi, bagi saya semua bintang terlihat sama.”
Andin juga tidak dapat membedakan, baginya semua bintang di langit tampak serupa. Namun gadis itu berpikir si pria tua memiliki nama yang bagus. "Aldebaran," Andin menggumam, matanya kembali terarah pada bayangan yang terpantul di permukaan danau. Hanya bayangannya!
Manik cokelat gadis itu seketika membulat. Demi malam yang kian pekat, ia tidak menemukan pantulan bayangan si pria tua yang berdiri di sampingnya. Kepalanya terangkat cepat, sejurus kemudian Andin menelan ludah dengan kelat ketika tak mendapati seorangpun di sisinya. Merasa tak percaya, ia mengucek mata seraya memutar badan untuk melihat sekeliling hingga tanpa sadar kakinya justru menyentuh pinggiran danau yang licin. Tubuh gadis itu nyaris tercebur kalau saja sebuah tangan tidak sigap mencengkeram lengannya.
"Te ... terima kasih," ujar Andin dengan suara bergetar. Gadis itu kemudian mengatur tubuhnya agar kembali berpijak dengan benar.