Contents
Sang Pencinta
Korona Cinta
Awan Melankolis berjalan kembali ditemani Sang Pencinta
"Sekarang, siapa lagi yang harus kujumpai, Sang Pencinta?"
"Itu, yang memakai jubah cinta namanya air mata."
"Air mata? Memang dia punya kisah cinta seperti manusia?" Awan Melankolis tak mampu menahan tawa.
"Jangan salah, justru air matalah yang sering menjadi saksi kisah cinta yang berkawan rasa sedih, bahagia, kecewa dan sakit hati karena cinta. Hari ini dia akan membawamu ke tempat seseorang yang akan memberimu pelajaran soal korona cinta."
"Wah, ini pelajaran baru soal cinta. Maksudnya korona cinta itu apa? Jelaskan Sang Pencinta. Sebab korona kan nama virus mematikan yang lagi marak sekarang melanda bumi kita."
"Kamu tahu tidak, Awan? Sebenarnya virus jatuh cinta gejalanya mirip dengan ketika seseorang terkena virus korona. Dimulai dari tidak enak badan dan meriang karena rindu, hingga lemas tak berdaya. Kalau sudah akut kan bisa bikin sesak nafas juga."
"Halah! Kamu bisa saja, Sang Pencinta. Tapi kalau dipikir-pikir benar juga ya. Baiklah! Mari kita segera menemuinya, Sang Pencinta." Mereka pun bergegas menghampiri si air mata yang tengah berbincang serius dengan virus korona.
Air mata sedih sekali, karena sejak si virus korona hadir, ia jadi sering menjadi saksi banyak isak tangis akibat kehilangan.
"Hai korona! Sadar tidak kalau kau telah membuat kekacauan pada hidup manusia?"
"Iya aku sadar, tapi apa hubungannya denganmu?"
"Tentu saja ada, karena gara-gara dirimu, aku jadi tidak bisa istirahat. Capek dipanggil terus oleh manusia-manusia yang sedang kesakitan dan bersedih akibat kehilangan."
"Maafkan aku air mata, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah karena tercipta hanya untuk menyakiti manusia."
"Kalau begitu, mengapa kau tidak segera angkat kaki saja dari muka bumi ini dan jangan pernah kembali lagi!"
"Aku juga sangat ingin segera beranjak. Tapi bagaimana lagi? Manusia masih saja suka berkerumun dan tidak memakai masker. Padahal bangsa kami akan mudah menulari manusia yang lain bila sudah terjangkiti dalam jarak yang sangat dekat. "
"Benar juga ya, kapan kau bisa pergi dari hidup kami kalau bangsa manusia sendiri tidak melakukan tindakan 3 M, yaitu menjaga jarak, memakai masker dan mencuci tangan."
"Iya air mata, tolong sampaikan pada manusia untuk lebih bersabar dan bersyukur dengan kehadiranku. Mungkin semua ini ada hikmahnya. Ingatkan selalu mereka untuk selalu menjaga kebersihan dan kesehatan, dengan sering mencuci tangan. Sebab bila mereka sehat, bangsa kami tak bisa bertahan hidup di dekat mereka."
"Baiklah akan aku sampaikan. Maafkan atas prasangka jelekku padamu. Sekarang aku harus pergi lagi, karena kudengar seorang lelaki tengah memanggil-manggil diriku."
"Wahai air mata, sebelum kau pergi bolehkah aku mendekati dirimu? Sebentar saja," korona berkata memohon.
"Untuk apa? Aku kan tidak mau terjangkiti olehmu."
"Tidak lama kok, aku hanya ingin menangis biar lebih plong! Dadaku sesak oleh rasa sedih dan penyesalan, karena bangsa kami telah menyakiti ribuan manusia. Lagi pula kau tidak akan tertular diriku, karena kau kan bukan manusia. Jadi tak perlu takut pada bangsa virus seperti kami."
Karena tidak tega, air mata pun menghampiri si korona. Membiarkannya menangis hingga perasaannya merasa lebih lega. Ternyata virus seperti si korona juga punya hati yang lembut, batin air mata iba.
"Maaf, saya menyela perbincangan kalian. Aku Awan Melankolis yang diutus Sang Pencinta untuk menemui Anda wahai air mata."
"Tidak apa-apa kok, Sang Pencinta adalah sahabat karib saya. Oh ya, rasanya saya familiar dengan sosokmu. Sepertinya belakangan ini kau sering memanggil saya dengan selalu menangis?"
"Mungkin akibat masalah yang bertubi-tubi menimpa keluarga saya, air mata. Soal saya mudah menangis, maaf ya, jadi merepotkanmu."
"Tapi kamu sudah lebih baik sekarang?"
"Alhamdulillah, sejak bertemu Sang Pencinta."
"Syukurlah kalau begitu, sekarang wajahmu sudah mulai ada sinarnya lagi, Awan Melankolis. Tidak mendung terus kayak kemarin-kemarin. Kebetulan saya dan si korona mau mengunjungi seorang pria yang kini tengah depresi berat. Kamu mau ikut kami?" Awan Melankolis pun mengangguk dan merasa senang sekali sudah diajak.
Adalah Panji, seorang pemuda yang cerdas dan tampan jatuh hati pada Sekar, gadis sederhana yang lemah lembut tutur katanya. Hanya saja, Sekar bukan berasal dari keluarga yang sudah kaya sejak lahir seperti Panji.
"Ingat, Panji! Mama dan Papa sudah menjodohkanmu dengan Ranti. Jadi, lupakanlah gadis biasa itu."
"Mama dan Papa boleh mengatur hidup Panji dalam hal apa pun, tapi tidak soal wanita yang Panji cintai. Panji tidak bisa mencintai Ranti, Ma!"
"Lambat laun kamu pasti bisa mencintai Ranti. Selain anaknya baik, cantik, Ranti juga bersekolah tinggi."
"Dan juga berasal dari keluarga berada, iya kan, Ma?"
"Iya, kurang apalagi coba? Ranti sosok istri yang sempurna dan pantas untukmu, Panji."
"Itu kan menurut Mama. Pokoknya Panji tidak mau dijodohkan!" Panji pun segera meninggalkan Mamanya yang tepekur sendirian.
"Mungkin kamu bisa membantah Mama, Panji. Tapi Papamu tidak akan bisa kau lawan," hela Bu Siska sambil memijat kepalanya yang mendadak pusing. Sementara itu, Sekar sedang duduk gelisah menunggu Panji datang. Ia harus bisa mendesak Panji kali ini, kalau memang lelaki itu serius ingin menikahinya.
"Sekar! Maaf lama menungguku." Panji tiba-tiba sudah duduk di depannya. Seperti biasa, matanya bersinar penuh cinta menatap Sekar mesra.
"Hampir saja aku pulang, " sungut Sekar.
Panji pun meminta maaf dan kembali dengan cepat mengembalikan senyum Sekar lagi dengan canda mesranya. Selalu begitu, Sekar pun tidak sanggup marah berlama-lama.
"Jadi, kapan Sekar diajak ke rumah Panji?"
Panji mendadak diam, kalau Sekar sudah berkata begitu. Tapi ia tahu Sekar tidak salah dengan ucapannya itu. Hanya saja, dirinya yang belum berani karena takut menyakiti Sekar.
"Memangnya, ada masalah apa, Panji? Mengapa kamu mendadak diam?" Tanya Sekar khawatir.
"Ah, tidak ada apa-apa, Sekar. Tentu aku sangat ingin mengenalkanmu pada Mama dan Papaku, sebab aku ingin kita segera mendapat restu."
"Iya, kapan Panji yang ganteng," goda Sekar. Ternyata Panji benaran serius padanya.
"Baiklah! Besok malam kamu aku jemput ya, Sekarku yang cantik."
"Ih, apaan sih." Mereka pun tertawa bersama. Dunia seakan milik mereka berdua dan yang lain hanya mengontrak. Namun impian Sekar tidaklah seindah bayangannya. Sikap orang tua Panji yang menolak dirinya, begitu menyakitkan hatinya.
"Panji, mulai sekarang lupakanlah aku karena kita tidak sepadan. Tak mungkin kita menikah bila Mama dan Papamu tidak merestui," isak Sekar sambil berlari memasuki rumahnya tanpa menoleh lagi.
Setelah kejadian itu, Sekar selalu menghindar meskipun ia masih sangat mencintai Panji. Badannya semakin kurus menahan rindu. Hal yang sama juga terjadi pada Panji yang semakin murung dan sering bertingkah seperti orang tidak waras. Apalagi sejak Sekar dibawa pindah ke luar kota oleh keluarganya. Panji kehilangan jejak kekasih hatinya itu. Panji semakin bertambah gila bila melewati rumah lama Sekar. Berharap Sekar tiba-tiba datang berkunjung. Sementara hari pernikahannya dengan Ranti sudah semakin dekat. Papa terutama Mamanya berharap ia bisa melupakan Sekar bila sudah menikahi Ranti. Panji semakin sering mengurung diri dan mengalami depresi. Ia seperti mayat hidup yang pasrah diperlakukan sesuka hati oleh Mama dan Papanya. Sampai suatu hari ia mendapat kabar tentang keberadaan Sekar. Semangat hidupnya kembali muncul begitu mendengar bahwa Sekar belum menikah. Berarti ia masih punya harapan.
"Di mana Sekar, Bu? Saya sudah sangat rindu ingin bertemu dengannya," ucap Panji dengan mata berbinar.
"Sekar ada di kamarnya sedang sakit. Tapi sayang, kamu hanya bisa melihatnya dari luar saja," tangis ibu Sekar.
"Memangnya Sekar sakit apa, Bu? Mengapa saya tidak boleh masuk menemuinya?" Desak Panji mulai panik.
"Sekar terpapar virus korona, jadi harus diisolasi agar tidak menular ke yang lain."
"Tapi saya boleh terus di sini sampai Sekar sembuh, Bu?"
"Silakan saja Panji. Tapi kamu hanya bisa menunggui dari luar."
"Tidak masalah, Bu, yang penting saya masih bisa melihat kondisi Sekar dari jendela kaca kamarnya." Panji merasa bahagia meski hanya bisa mendengar suara Sekar dari balik pintu kamar.
"Aku merindukanmu, Sekar. Cepat pulih ya, cintaku."
"Panji, Sekar tak ingin lagi berpisah darimu. Berjanjilah setelah ini kita akan terus bersama."
"Aku bersumpah! Sekar, demi cinta kita hingga ke surga," balas Panji penuh rasa haru. Namun bukannya semakin membaik, kondisi Sekar malah kian kritis. Panji pun memaksa untuk masuk karena ia begitu takut kehilangan Sekar.
"Jangan! Nanti kamu tertular," cegah ibu Sekar.
"Saya sangat ingin merawat Sekar, Bu. Tak peduli walau tertular virus corona."
Akhirnya tak ada seorang pun yang bisa mencegah Panji. Selama seminggu Panji duduk di samping Sekar yang terbaring lemah. Melap badannya dan menyuapinya obat serta makanan. Sampai akhirnya Sekar dibawa ke rumah sakit karena keadaannya kian kritis dan mengalami sesak nafas hebat. Sekar yang memiliki penyakit asma, semakin memperparah kondisinya. Panji semakin tenggelam dalam kesedihan karena tak bisa lagi menunggui Sekar yang dirawat di ruang ICU. Tenaga medis tak mungkin mengizinkan siapa pun menjenguk Sekar, termasuk Panji dan keluarganya.
"Kasihan sekali, Panji. Bulir-bulir diriku tak pernah berhenti menetes di kedua pelupuk matanya yang kian redup. Ia juga mogok makan selama Sekar dirawat," cerita air mata pada Awan Melankolis dan korona yang menunggu di luar rumah Sekar.
"Aku jadi ingin menjenguk Sekar."
"Aku akan ikut denganmu, air mata."
"Iya, pergilah sekarang, Awan. Biar aku di sini memantau kondisi Panji," balas corona.
Awan dan air mata pun bergegas ke rumah sakit. Malangnya begitu mereka tiba, Sekar sudah dipanggil oleh Sang Pemilik Cinta.
"Awan, rasanya tak sanggup menyampaikan berita ini pada Panji," ucap air mata lesu. Awan pun terduduk lemas sambil menutup kedua wajahnya.
"Sekar, bukankah kau telah berjanji kita akan pergi bersama ke mana pun itu. Mengapa sekarang kau tinggalkan aku sendirian, "raung Panji di depan makam Sekar. Air mata, Awan Melankolis dan virus korona ikut menangis menyaksikan Panji yang tak lama kemudian jatuh pingsan di pemakaman.
Seminggu sudah Sekar meninggal, disusul oleh Panji tiga hari kemudian. Panji yang terpapar virus korona dari Sekar, kian drop karena tidak sesuap nasi pun masuk ke mulutnya, akibat kehilangan semangat sejak kepergian belahan jiwanya. Bagaimana mungkin ia masih bertahan hidup bila separuh jiwanya hilang dibawa oleh Sekar. Orang tua Panji hanya bisa meratap penuh penyesalan kehilangan putra kebanggaan mereka.
"Sekarang Sekar dan Panji sudah bersatu lagi penuh bahagia di alam sana," ucap Awan yang masih dirundung kesedihan mengingat kisah cinta tragis yang dialami Sekar dan Panji.
"Ya, tak akan ada lagi yang bisa memisahkan mereka," jawab Sang Pencinta pilu.
"Aku jadi makin merasa bersalah," ucap korona menunduk sedih.
"Rasa bersalahmu tak akan membuat Sekar hidup lagi korona," balas Awan Melankolis.
"Benar, tapi aku bisa memberikan sebuah solusi agar tak ada lagi yang mati terpapar karena diriku," balas korona.
"Apa jalan keluar dari serangan bangsa kalian korona? Agar tak ada lagi isak tangis dari bangsa manusia karena kalian," ucap air mata penasaran.
"Begini, setiap penyakit pasti ada obatnya, meski virus kami tak bisa disembuhkan secara total. Namun bila bangsa manusia bisa menciptakan sebuah vaksin untuk melawan kami, maka manusia akan mampu bertahan dan melemahkan kami begitu terpapar."
"Kalau begitu, kalian harus menemukan seorang ilmuwan yang ahli di bidang vaksin, tapi maaf aku tidak bisa ikut," ucap Awan Melankolis.
"Setuju, lebih cepat lebih baik agar korban tak semakin banyak berjatuhan," jawab air mata antusias.
"Baiklah, aku akan pergi bersama si air mata, demi mencari ilmuwan yang bersedia menciptakan vaksin untuk virus bangsa kami, korona."
Korona dan air mata pun pamit untuk menemukan ilmuwan yang rela menolong sesama melalui vaksin buatannya. Sementara Awan kembali meneruskan perjalanannya untuk menemukan simbol cinta berikutnya.