Try new experience
with our app

INSTALL

Pohon Cinta 

Bertemu Cowok Sedingin Kulkas

Tiba-tiba aku menjelma menjadi anak perempuan yang ikut ngejar koin. Cuma koinnya beda yaitu koin dollar. Pas berhasil dapat, tuh koin menjelma sosok pangeran tampan lalu berkata, “Karena kamu sudah berhasil membebaskan saya dari kutukan, maka saya berhasil mengubah diri menjadi manusia lagi. Untuk itu, kamu akan saya jadikan pendamping hidup saya selamanya.” Khayalku sambil senyum-senyum sendiri membayangkan cowok kulkas itu berubah menjadi dollar dan bebas dari kutukan, lalu melamarku.


 

Aku bersiap-siap menaiki bus jurusan Medan - Yogya. Setelah puas berpamitan dengan Emak, aku pun segera menaiki bus yang akan segera berangkat. Masih tersisa kesedihan di hatiku karena harus meninggalkan keluarga, terutama Mamak. Merantau ke Kota Gudeg untuk menuntut ilmu demi cita-cita.


 

\t“Jaga diri baik-baik disana, ya. Jangan pernah tinggalkan salat,” ucapan Mamak saat melepasku pergi, masih terngiang ketika kedua kaki ini sudah mendarat di dalam bus.  


 

\t“Iya Mak, Ati (nama kesayanganku di rumah) akan jaga diri baik-baik.” Doakan juga Ati cepat dapat jodoh ya, Mak. (kalimat terakhir hanya berani dalam hati). Soalnya kalau Mamak dengar, pastilah ceramah.


 

“Kau belajar dululah yang rajin, jangan pula mikirin laki-laki. “ Catat! Aku pun melepas pelukan Mamak dengan berat.


 

Lalu mengusap kristal bening yang mendesak keluar mengaliri pipi. Padahal ini bukan kali pertama aku harus ninggalin Mamak, sudah 2 tahun aku sekolah di Yogya. Tapi tetap saja rasa sedih dan haru biru menerpaku, hiks.

Begitu sampai di dalam bus, segera kucari nomor tempat duduk yang tertera di tiket. Ternyata aku dapat kursi dua baris dari belakang. 


 

Setelah kujatuhkan pantatku ke kursi, tak lama kemudian sopir bus mulai menghidupkan mesin. Lalu laju bus Medan – Yogya pun bergerak perlahan meninggalkan Mamak dan terminal Amplas. Kulambaikan tangan sebagai salam perpisahan pada Mamakku sambil menahan air mata. Aku yakin, Mamak pun tak kuat menahan tangis melepas kepergianku. Tapi aku dan Mamak harus kuat demi sebuah cinta-cita dan masa depanku. Meski tak urung kesedihan menggelayutiku sepanjang perjalanan yang akan membawaku bersama puluhan penumpang lainnya. Aku pun segera menghapus airmata yang terus mendesak keluar, sebelum memenuhi bus ini dudududu. Begitu sudah kembali ke dunia nyata alias dunia yang menuntunku pada sebuah kesadaran bahwa aku sudah jauh dari kota kelahiranku, Medan yang kucinta, kuputuskan untuk menoleh ke samping. Eh, dilalah. Pucuk dicinta jodoh pun tiba. Hati senang tak terkira melihat siapa yang duduk di sebelahku! Seorang lelaki muda, ganteng, cool dengan kedua matanya yang dalam dan bening. Usianya kira-kira selisih 3-4 tahunan dariku (kalau tua, mending aku pindah bangku aja). Meski hatiku melonjak senang, yihaa! Kucoba berusaha untuk pura-pura malu dan tak peduli, demi harga diri sebagai wanita. Tumben punya malu hehehe. Eits! Jangan salah, malu kan sebagian dari iman. Jadi harus punya dong, walaupun sedikit. Asal jangan malu-maluin aja. Meskipun dalam hati kebat-kebit bak orang lagi tanding main silat. Ciat! Ciat! Sebenarnya aku enggak begitu peduli sebab masih sibuk menghapus air mata yang masih menggenang di kedua pelupuk mata karena harus berpisah dari Mamak dan saudara-saudaraku.


 

\tAku sudah gatal ingin menegur duluan, karena kudapati cowok di sebelahku ini diam terus. Tapi rasa gengsi mencegah sikapku yang sebenarnya pemalu ini alias malu-maluin untuk menegur duluan. Biarlah kutunggu saja reaksi cowok bertampang serius di sebelahku ini. Dua jam berjalan, kebisuan terus hadir di antara kami. Huh! dingin kali lelaki ini, bagaikan kulkas dua pintu bertemperatur nol derajat di rumahku. Bahkan mungkin lebih dingin dari salju es manapun. Uh! Wokelah! Akan kubalas sikap acuh tak acuhnya padaku, padahal aku butuh. Butuh disapa maksudnya. Aku pun mengalihkan pandangan menatap jajaran pepohonan lewat jendela yang tertutup rapat dalam bus ber-AC yang sedang berjalan. Menikmati warna hijaunya daun yang rindang dan menyejukkan. Warna surga itu benar-benar memanjakan mata. Warna hijau yang tetap akan abadi meskipun musim berganti. Sebagaimana abadinya cinta sejati Mamak dan almarhum bapakku. Dilarang protes!


 

\t“Brrrr…” Tiba-tiba tubuhku menggigil kedinginan terkena AC. Baru kusadari, aku lupa membawa jaket! Padahal sejak dalam kandungan, aku tuh paling enggak tahan dengan hawa dingin. Sebagaimana diriku yang sejak lahir sudah keren abis. 


 

“Anak Mamak kece, anak Mamak memang kece.” Joget Mamak hihihi. Lah, anaknya, wajar kalau dipuji-puji. Aku pun duduk meringkuk sambil menaikkan kaki ke atas kursi. Mencoba mencari kehangatan dengan mendekap tubuhku sendiri pake kedua tangan. Soalnya kalau mendekap pakai kedua kaki, nanti dikira sedang akrobat atau lagi kumat sama lelaki cool di sebelahku.


 

“Ya, Tuhan. Please deh! Aku kan sudah enggak tahan lagi. Tolong kirimkan seseorang yang mau memberikan kehangatan sebelum diriku mati kedinginan,” pintaku penuh permohonan sambil melirik-lirik cowok di sebelahku yang masih belum peka juga sama makhluk manis dalam bus yang duduk di sampingnya.


 

\t“Pakailah jaket ini.” 


 

Sembari menggigil dibarengi rasa takjub dan sedikit terkejut, aku terima tawaran jaketnya. 


 

“Terima kasih,” jawabku dengan senyum yang dimanis-maniskan kayak manisan.


 

Akhirnya doaku diijabah juga oleh Yang Kuasa, sebagaimana janji-Nya bahwa doa orang yang teraniaya, apalagi sedang dalam perjalanan pasti segera dikabulkan. Di tengah diriku hampir mati kedinginan. “I am Fly!” Penuh rasa euforia, aku pakai jaket darinya dengan hidung kembang kempis menahan bahagia. Akhirnya.


 

\t“Sekolah di mana, Dik?”

\t“Di SMA Muhammadiyah. Abang sendiri kuliah di mana?” Aku balik bertanya dan mencoba bersikap sok ramah. Mumpung lagi ditegur, karena kesempatan enggak datang dua kali.

\t“UGM, jurusan Teknik Elektro,” jawabnya singkat. 

\t“Oh,” jawabku manggut-manggut. Wah, bakalan masa depan cerah nih, batinku. Tiba-tiba lampu bohlam 50 watt serasa menyala-nyala di atas kepalaku. Tanpa bisa dikomando, penyakit baperku pun datang. Baru juga berkenalan, belum sampai ke pelaminan. Ujar hatiku enggak terima liat aku senang. Akhirnya tanpa bisa dicegah, bahkan oleh penumpang satu bus, kami pun saling bertukar cerita. Prasangkaku padanya ternyata meleset. Ternyata dia seorang lelaki yang enak dan nyambung diajak ngobrol. Meskipun tatapan matanya lebih banyak menunduk ke bawah, atau melihat keluar jendela. Yang pasti, hatiku rasanya senang banget karena selama di perjalanan mendapatkan teman baik dan perhatian. Kece pula! 


 

\tAku tak bisa memungkiri, bahwa sejak pertama melihatnya, hatiku sudah tertawan oleh penampilan fisiknya yang lebih dari lumayan. Lumayan banget. Halah! Tubuhnya atletis, sorot matanya begitu dalam bagai danau yang tenang dengan kedua alis yang bertengger indah di atas kelopak matanya. Alamak! Aku hampir mati lemas karena terpana. Belum lagi dagunya yang dipenuhi oleh bulu-bulu tipis terlihat begitu macho dengan kedua bibir tipisnya yang terkesan maskulin. Tadinya kupikir, apalah artinya arti sebuah keindahan fisik, bila pribadinya arogan. Namun setelah ngobrol-ngobrol dengannya, barulah kusadari bahwa dia seorang lelaki yang rendah hati. Meskipun sikap cool-nya ya teteppp. Duh! Hatiku semakin terpesona dibuatnya. 


 

\tApakah perasaan ini salah? Apakah perasaannya juga sama denganku? Yang tiba-tiba saja mengagumi sosok seseorang yang baru dikenal. Mengingat kami baru pertama kali bertemu. Apakah dia akan jadi cinta pertamaku? Karena sebelumnya aku enggak pernah tertarik begitu saja dengan lelaki, apalagi yang baru dijumpai. Tapi kenyataannya, hatiku selalu deg-degan sehingga membuat sering salah tingkah di dekatnya. Mungkinkah diriku terkena sindrom cinta pada pandangan pertama? Kayak telenovela Maria Mercedes yang kutonton bareng teman-teman di asrama. Mulai deh, drama. Namun rasa senangku berakhir tragis.


 

“Huekkk!”

“Peace…” ucapku sambil memasang senyum penuh salah tingkah dan rasa bersalah. Saat si cowok cool sedikit shock dan terkesima melihat ceceran muntahku di bangku dan celana panjangnya. Pastilah tidak nyaman sebangku dengan penumpang sepertiku yang muntah karena mabuk di jalan. Malunya! Mending mabuk cinta, pikirku daripada mabuk dalam bus. Enggak keren amat!

\t“Gak papa,” jawabnya dingin sambil berusaha membersihkan celananya dengan sapu tangan.


 

\tAkhirnya, dengan berat hati seberat-beratnya, aku memilih pindah duduk di kursi depan saat ada yang berbaik hati menawarkan karena kasihan. Penuh haru, aku pun melambaikan tangan. 


 

“Bye bye tampan,” ucapku di dalam hati. Cowok cool itu hanya diam dan lagi-lagi tanpa tersenyum, apalagi membalas lambaian tanganku. Ngenes! Meski lega karena mabuk perjalanan berkurang, tapi hati ini tak dapat berdusta bahwa aku menyesal dan kecewa banget. Kenapa mabuk ini datang tanpa perasaan? Tapi kalau dipikir-pikir ada baiknya juga. Kan kami berdua bukan muhrim, jadi enggak baik duduk berdekatan lama-lama. Tapi setidaknya kalian masih bisa bertemu ketika makan siang nanti kan? Saat bus biasanya berhenti dulu di sebuah warung makan atau ketika singgah untuk salat di masjid, suara batinku mencoba menghibur. Memang diam-diam aku tetap menaruh harapan, di tengah hati yang tiba-tiba dilanda gundah gulana. Duh, segitunya. Alhamdulillah, sesuatu banget ya, kalau kata Syahrini.


 

\tYipppii! Moment yang kutunggu-tunggu datang juga. Menjelang makan siang, bus berhenti di sebuah restoran. Para penumpang bus termasuk diriku pun bergegas turun untuk mengisi perut yang keroncongan. Ada juga yang memutuskan untuk mandi dan salat lebih dulu baru kemudian makan, termasuk aku dan cowok cool itu. Selesai membersihkan badan, aku menjamak salat Zuhur dan Asar di musala yang tak jauh dari restoran padang yang kami singgahi. Sebab biasanya masih lama lagi bus baru berhenti yaitu menjelang Isya. Begitu memasuki musala, deg! Cowok cool itu lagi! Eh, tapi sedikitpun dia tak memberikan senyum ramah, atau basa-basi. Apalagi sampai menegurku. Duhai emak! Patah hati ini. Nyesel, kenapa sifat aku yang baper enggak ilang-ilang juga. Payah! Dikit-dikit bawa perasaan. Bawa duit kek! Celetuk batinku tajam.

\tIngin aku menegurnya lebih dulu, tapi gengsi ah! Biarlah kami tak saling bertegur sapa selama di perjalanan bagaikan orang yang tak pernah kenal sama sekali. Walau awalnya sempat ngobrol-ngobrol penuh basa-basi sampai basi.


 

\t“Huh!” Benar-benar The Cool Man, gerutuku penuh rasa sesal di hati. 


 

\tBaiklah! Aku putuskan untuk tak memedulikan cowok cool ini lagi. Akan kututup hati ini rapat-rapat untuknya. Takkan kubiarkan harapan ini semakin lebar dan pada akhirnya cintaku akan bertepuk sebelah tangan. Aku pun segera melangkahkan kaki menuju restoran Padang, karena perutku sudah bernyanyi jenis musik rock.


 

“Laparrrrr! Cepat dong diisi. Keburu cacing-cacing semakin ganas beraksi.

“Ghekkk.” Akhirnya kenyang sudah. Sekarang ayo naik ke dalam bus lagi, daripada nanti ketinggalan. Bisa-bisa Emak menangis bombai bila membaca berita kehilangan anak kesayangannya ini.


 

Tiba saatnya bus menyeberang ke Pelabuhan Merak. Begitu turun dari bus untuk naik ke kapal feri, deg! Lagi-lagi berpapasan dengannya ketika hendak naik. Tapi lagi-lagi dia tak mengacuhkanku! Tega hiks.

Apa dosa yang dulu pernah kulakukan sehingga di PHP-in begini? Pikirku. Jangan-jangan dulu aku pernah bikin sakit hati cowok lain, hingga terkena karma. Sebab menurut buku perjodohan yang pernah kubaca, salah satu hambatan datangnya jodoh adalah karena sikap kita di masa lalu yang pernah menyakiti hati cowok atau cewek yang naksir kita. Aku harus tobat nih, dengan mandi kembang tujuh rupa tujuh warna. Masalahnya, cowok yang naksir diriku kan enggak terhitung jumlahnya. Sirik tau! Lagian apa hubungannya coba? susah dapat jodoh dengan mandi kembang? Ejek batinku seolah kurang terima. Hmm. benar juga , yah.


 

Aku semakin dimabuk cinta sekaligus mabuk perjalanan, karena kapal bergoyang-goyang di hantam ombak. Buru-buru aku keluar dari ruangan kapal, sebelum muntahku datang lagi. Setelah sebelumnya memesan kacang dan minuman di toko makanan dalam dek. 


 

“Hah! Lega rasanya.” 


 

Melihat laut dan merasakan angin yang berhembus, membuat mabukku sedikit berkurang. Pandanganku lantas tertuju pada anak-anak lelaki bertelanjang dada seusia sekolah dasar berebut koin yang dilemparkan para penumpang kapal. Begitu koin dilempar, anak-anak pun berlomba adu cepat memburu koin hingga dapat. Begitu dapat, 


 

“Horeee,” teriak salah seorang anak senang sambil memamerkan koin hasil buruannya. 

Tidak ada angin dan hujan, kok tiba-tiba aku merasa telah menjelma menjadi anak perempuan yang ikut ngejar koin. Cuma koinnya beda gitu, yaitu koin dollar. Lalu pas berhasil dapat, “Karena kamu sudah berhasil membebaskan saya dari kutukan, maka saya berhasil mengubah diri menjadi manusia lagi. Untuk itu, kamu akan saya jadikan pendamping hidup saya selamanya.” Khayalku sambil senyum-senyum sendiri membayangkan cowok kulkas itu berubah menjadi dollar dan bebas dari kutukan, lalu menjelma sosok pangeran tampan dan melamarku. Dampak kebanyakan baca cerita dongeng kayaknya.

Aku pun merogoh kantong kulot biru untuk mencari sisa-sisa koin. Begitu ketemu, langsung kulemparkan ke tengah anak-anak yang sedang menunggu di laut Merak. Hatiku sedikit terhibur, melihat antusias mereka berhasil mengejar koinku. Bete pun terbang sekejap. Ya, hanya sekejap, sebab aku masih kesal dengan cowok misterius itu, yang masih tetap setia dengan sikap angkuhnya.


 

Jadi ngerasa seperti Zulaikha yang sedang mengejar si tampan Yusuf. Namun cintanya bertepuk sama angin alias enggak kena bo’. By the way aku kan beda dengan Zulaikha yang sudah jadi milik seseorang. Lah aku, kan baru milik Mamak seorang, jadi si cowok kulkas enggak perlu takut deh. Atau aku dan cowok kulkas itu bisa diibaratkan bagaikan dua orang yang jinak-jinak merpati, aku merpati betina, dan doski merpati jantan. Ajippp! Aku pun memutuskan untuk duduk di bangku yang tersusun di luar kapal, sambil menatap ombak di depanku seraya berdendang. “Merana aku merana... Merana karena cinta durjana....”.


 

\tWahai burung yang terbang di atas lautan dan awan putih berarak di kejauhan. Rasanya, tak ada lagi kesempatan untuk bisa berdekatan dengannya dan saling mengenal satu sama lain. Padahal, hati ini telah terpaut dengan sosoknya yang dingin tapi perhatian itu. Sungguh ikan-ikan yang asyik berenang, tiba-tiba terbersit rasa tidak percaya diri di hati. Mengapa dia kembali bersikap tak acuh padaku ya? Setelah sebelumnya menawarkan jaketnya untuk kupakai. Padahal aku tahu, dia juga kedinginan saat itu. Namun demi diriku, dia rela memberikan jaketnya untuk kupakai seharian sebelum pindah bangku. Elu aja kali yang ge-ernya kelewatan, olok suara hatiku lagi. Hikss, air mataku pun menetes satu persatu. Untung enggak sampai menenggelamkan kapal feri yang kunaiki. 


 

\tTapi sebentar-sebentar, apa salah bila aku mendadak ge-er? Karena selama dalam bus tuh cowok hanya mau berbincang-bincang denganku. Sementara dengan penumpang lainnya dia pelit bicara. Wajar kan kalau aku agak merasa dibutuhkan? Padahal kusaksikan sendiri cewek-cewek yang duduk di belakangku, sering towal-towel pinggangku minta dikenalin juga. Enak aja! Cowok keren itu bukan buat dibagi-bagi! Jawabku jutek sambil melotot. Para cewek pun langsung sewot hingga bibirnya pada manyun 5 cm. Untung enggak bertambah panjang kayak pinokio. Bisa-bisa cowok cool itu bukannya nerima perkenalan gerombolan cewek-cewek tersebut, malah ngibrit langsung lari hingga ke Yogya, karena dikira kalong wewe. Nah, lho.


 

\tKepalaku tak berhenti dipenuhi oleh beribu-ribu pertanyaan. Dan tragisnya jawaban itu hanya ada pada cowok cool itu, kan? Apa dia naksir diriku walau segede upil, atau hanya kasihan dan menganggapku seperti adiknya aja? Mana aku lupa lagi tanya namanya, karena saking senangnya jadi mendadak amnesia. Pertanyaannya, bagaimana caranya aku bisa mengorek isi hatinya yang seolah tertutup rapat bagi kaum hawa itu? 

Padahal nih ya, diciptakan alam pria dan wanita.Wanita dijajah pria sejak dulu. Abaikan kalau dirasa Jaka Sembung naik ojek, enggak nyambung pisan, jek! Haruskah aku yang agresif duluan untuk mencari kepastian atas sikap tak ramahnya itu? Aku pun lagi-lagi hanya bisa bertanya-tanya sendiri sambil duduk menatap riak ombak lautan di depanku.


 

\tBegitu kualihkan pandangan dari laut lepas di depan, terlihat lelaki tersebut tengah berjalan ke arahku yang sedang duduk bermenung. Hatiku jadi mendadak dangdut, hingga membuatku jadi gugup, tapi tetap kupasang tampang seolah-olah enggak peduli. Huh! Aku tak berharap dia mendekatiku lagi. Lagian untuk apa? Kalau hanya bikin hatiku dipenuhi tebak-tebak buah manggis, hingga hati ini jadi meringis. Bagaimanapun, aku tak ingin ge-er untuk yang kedua kalinya. Namun sebelum tebakanku terjawab, 


 

\t“Tolong tulis alamatnya, Dik!” ucapnya tanpa tedeng aling-aling sambil menyodorkan sebuah buku beserta pena ke hadapanku. To the point sekali, pikirku geli. Rupanya dia tipe lelaki yang anti basa-basi. 

\t“Maksudnya?”, tanyaku pura-pura bego. Padahal dalam hati bersorak-sorai bagaikan habis nonton bola di stadion.

\t“Iya, saya ingin tahu alamatmu tinggal. Kita masih bisa bersilaturahmi, kan?” ucapnya lagi dengan wajah yang tak ada senyum-senyumnya sedikitpun. Begitu mahalkah harga senyummu, ganteng? Tak disangka, akhirnya dia menyambangiku kembali. Penasaran nih ceritanya? Tentu saja kusambut dengan senang sembari berusaha menutupi rasa gembiraku di depannya. Meski debar di hatiku belum juga berhenti, kencang bak bunyi beduk bertalu-talu. Setelah selesai, aku sodorkan kembali buku notenya sambil memasang senyum manis, padahal enggak senyum juga diriku udah manis dari sononya (Siap-siap dilempar sandal orang sekampung).


 

\tSengaja enggak kutulis alamat di mana aku tinggal. Sebab diriku tinggal di asrama putri. Pamong asrama akan menyensor setiap surat yang datang, apalagi kalau surat dari cowok. Membuatku takut dan kudu hati-hati (lagi-lagi ge-er kumat bakalan dikirimi surat. Padahal yang sering datang mah surat utang). Tentu aku takut surat dari cowok yang kukagumi ini sampai ke tangan ibu asrama. Bisa tambah runyam urusannya! Akhirnya hanya kutulis alamat sekolah di Notoprajan. Masalah akan dikirimi surat atau enggak sama cowok cool ini, ya sudahlah. Namanya juga usaha yang diiringi dengan doa. 


 

Akhirnya setelah perjalanan 3 hari 2 malam, bus sampai juga di Terminal Umbulharjo Yogya. Begitu turun dari bus, aku celingak-celinguk mencari si cowok kulkas. Dan, ternyata si cowok cool itu sudah hilang dari pandangan saudara-saudara. Kemudian aku teringat satu hal penting. Ya ampun! Kenapa aku lupa nyantumin namaku? Lah, kalau aku jadi dikirimi surat ama doi, nanti atas nama siapa? Duhai emak! Lagi-lagi lola ku kumat. Mana tuh cowok kulkas enggak periksa-periksa dulu catatan yang kuberikan. Tepok jidat! 


 

Aku pun beranjak pergi menjauh dari bus dengan wajah lesu kayak habis kalah perang. Karena si cowok misterius yang enggak kelihatan lagi batang kakinya. Aku pun mendadak parno, membayangkan tuh surat bakalan dibalikin ke tukang pos lagi karena tanpa nama. Andaipun cowok cool itu mau kirim surat nanya kabarku, pastilah doski didera rasa bimbang karena bingung mau ditujukan buat siapa? Kepala sekolahku? Atau pemilik sekolah, yang bisa-bisa jatuh semaput dapat surat cinta secara tiba-tiba. Atau bisa juga mati ge-er karena dapat surat dari brondong. Lagipula, kepala sekolahku wanita setengah baya yang sudah berkeluarga. Kemungkinan lainnya surat itu habis dibaca langsung dirobek atau dibuang ke tong sampah sambil ngedumel.


 

“Aya-aya wae anak zaman sekarang. Nenek-nenek kok masih dikirimi surat.”