Try new experience
with our app

INSTALL

Pohon Cinta 

Surat Cinta Pertama

Mimpi apa ya aku semalam. Atau mungkin Tuhan mengabulkan doaku karena capek dengar rengekanku minta dikirimin surat ama kakak ketemu gede kayak Lulu. Tanpa bisa dicegah, serotoninku pun meningkat drastis. Itu lho hormon bahagia yang biasa menghinggapi orang-orang yang sedang jatuh cinta. Hari-hari rasanya indaahhh terus kayak warna pelangi. Semangat belajarku pun semakin tinggi. Tiada hari memikirkan wajahnya. Padahal cuma ditanyain kabarnya dan dikirimin buku panduan masuk UGM doang.


 

Sejak aku berharap bakalan dapat surat dari doski, setiap ada tukang pos aku pasti cari tahu buat siapa. Namun sudah satu bulan, surat yang kutunggu enggak datang juga. Terus terang, aku berharap inilah awal dari dekatnya hubunganku dengannya. Bodohnya aku! Mengapa waktu itu enggak menanyakan balik alamat kosnya? Aku hanya tahu doski tinggal di daerah Kaliurang. Masak aku harus menyisir jalan Kaliurang yang berkilometer panjangnya sampai ke tempat Mbah Marijan, penunggu gunung merapi Kaliurang? Kalau salah alamat enggak mungkin karena aku nulisnya udah penuh kehati-hatian banget agar luput dari salah tulis. Kalau salah nama mungkin. 

Pak pos pun jadi enggak enak hati dan mungkin kasihan melihatku selalu pasang tampang wajah berharap. Atau justru malah keki dan bosan karena sering kutanyain, ya. Tapi akhirnya aku pun ikutan bosan juga nanya terus. Ya, sudah deh aku pasrah. Jodoh kan enggak lari ke mana. Kalau lari ke mana-mana itu mah minibus. Aku hanya berdoa moga doski enggak lupa sama wajah imutku yang amit-amit. Aku pun makin menyibukkan diri dengan kegiatan sekolah biar lupa. Meskipun aku enggak bisa melupakan perhatian sesaat yang kuterima dari anak UGM itu. 


 

Selain menyibukkan diri belajar, aku juga enggak menolak sering diajak Lulu menelepon cowoknya yang tinggal di asrama putra. Daripada bete di asrama terus, akupun dengan senang hati mengikuti ajakannya untuk diam dengan sabar menungguinya teleponan sambil ber hahaha hihihi dengan suara manja. Gimana enggak sabar, lah, koin satu celengan dibawa semua. Bayangkan, berapa jam aku berdiri menunggu Lulu sampai selesai ngobrol dengan kakak kelas yang ia panggil Mas Dedi. Pegal pegal, deh kakiku. Untung aku masih bisa jalan pulang ke asrama. Belum lagi aku harus berjuang melawan rasa iri ngeliat cinta Lulu yang bersambut dan makin lengket saja sama kakak kelasnya itu. Kakak boleh ketemu setelah gede yang awalnya ditugaskan oleh ibunya Lulu untuk menemani Lulu dalam perjalanan pulang ke Surabaya. Begitu juga sebaliknya ketika Lulu akan kembali lagi ke asrama.  

Ya, bermula dari sekedar kakak yang bertugas menjaga dan melindungi adiknya. Lama-lama naksir, begitu kali pikir Mas Dedi. Lulu pun merasa senang ada yang menjaga dan mengkhawatirkan dirinya. Hingga lagu wajib Lulu di asrama tiap harinya hanya lagu terlanjur sayangnya Memes. “Walau arah mata angin melawan, tapi kuterlanjur, kuterlanjur sayang.” Gayung bersambut, mereka akhirnya berjodoh hingga Lulu belum selesai sekolah sudah menikah. Aku ingat, waktu itu Lulu sudah kelas tiga Aliyah dan sedang hamil saat ujian kenaikan kelas. Yang jelas Lulu dan Mas Dedi benar-benar mendapatkan persetujuan kedua orang tua mereka untuk segera menikah daripada pacaran yang menimbulkan mudarat. 


 

Kembali lagi ke kisah cintaku yang belum ketahuan ending-nya. Hingga suatu hari kulihat ada surat yang ditempel di jendela kaca kantor sekolah. Tapi surat itu enggak ada yang ambil dan mengakui. Akhirnya daripada enggak ada yang ambil, surat itu kuakui aja kalau itu surat buatku. Administrasi sekolah pun enggak keberatan dan segera menyerahkan suratnya kepadaku, daripada mejeng terus di kantor administrasi tanpa ada yang mau ambil. Kasihan kan surat itu dicuekin. Tertulis teruntuk Iriani di jalan Notoprajan di sampul depan surat yang bersampul coklat tersebut. Tapi masa bodo, ah, daripada mati penasaran. Setelah kubalik sampul suratnya ternyata benar, terteralah nama lelaki dingin itu. Yihaaa!


 

Akhirnya, deg-degan kubaca surat misterius itu. Soalnya feeling-ku, nih surat enggak ditujukan buat siapapun kecuali Iriani. Meskipun enggak ada yang namanya Iriani di sekolah. Mungkin saja Iriani itu nama baruku dari si cowok cool itu. Daripada kirim surat tanpa nama pikirnya. Padahal, sejak kapan aku iri sama si Ani ya? Hihihi. Enggak masalah, lah, apalah artinya sebuah nama. Kan, yang penting cowok kulkas itu masih ingat diriku. Meskipun aku ingin tertawa saking gelinya karena doski salah menuliskan namaku. Walau agak mirip ada Ir nya, aku enggak sakit hati dan berusaha maklum. Semoga Mamakku enggak tahu, bisa mencak-mencak dia nama anaknya tertukar. Kayak putri yang tertukar saja. Teman-temanku pun spontan menggoda, bikin aku semakin tersanjung dan melambung.  


 

Penuh penasaran, kubawa dan kubuka suratnya. Ternyata benar dari si The Cool Man! Girangnya hatiku dan mendadak euforia. 


 

 “Surat cintaku yang pertama. Membikin hatiku berlomba. Seribu melodi yang indah dari kata cintanya padaku. Dududu....”


 

Mimpi apa ya aku semalam. Atau mungkin Tuhan mengabulkan doaku karena capek dengar rengekanku minta dikirimi surat sama kakak ketemu gede kayak Lulu. Tanpa bisa dicegah, serotoninku pun meningkat drastis. Itu lho hormon bahagia yang biasa menghinggapi orang-orang yang sedang jatuh cinta. Hari-hari rasanya indah terus kayak warna pelangi. Semangat belajarku pun semakin tinggi. Tiada hari memikirkan wajahnya. Padahal cuma ditanyain kabarnya dan dikirimi buku panduan masuk UGM doang. Memang itu salah satu siasatku, yang gayanya pengen lulus ujian Sipenmaru dan nembus Psikologi UGM. Emangnya aku ada tampang bakalan jadi mahasiswi UGM ya? Wong belajarnya suka-suka, yaitu suka ingat baru belajar. Suka lupanya malah banyak. Teman sekamar yang ngeliat aku mendadak rajin, terutama Esti pada sujud syukur. 


 

“Akhirnya si Iir enggak molor melulu kerjaannya dan sudah rajin baca-baca buku pelajaran.” Padahal aku lagi baca komik. Bangun pagi pun aku langsung semangat meskipun masih pake motto, “Pagi yang indah, tidur lagi ah.”

“Iiirrrrrrr.!” Esti tetap teriak-teriak ngebangunin aku salat subuh berjamaah di musala. Bahkan Esti juga yang paling semangat nungguin aku nulis surat balasan teruntuk Mr. Cool. Lah, ini siapa yang dikirimin surat? Kenapa Esti yang lebih semangat dariku? 


 

“Mana suratnya Ir, biar aku masukin ke kotak pos.” Esti emang suporter yang bisa diandalkan. Terutama dalam hal percintaanku sama si cowok kulkas.

Aku juga mendadak jadi penyair sejati dengan senang menulis puisi romantis.

“Kaulah bulan, kaulah bintang, kaulah matahari yang selalu menyinari hati ini.”

“Elu lagi baca buku geografi apa baca puisi sih Ir? Nama teman-teman planet bumi kok disebutin semua,” ucap Pipit anak Betawi. Spechlessss.

”Emang gue enggak bakat jadi seniman sejati kali,” jawabku lemas. Namun setelah itu semangat lagi. Maklum, kalau lagi jatuh cinta, stok semangatnya banyak. Aku juga jadi sering senyum-senyum sendiri. 

“Kenapa senyum-senyum sendiri, Ir? Lo enggak lagi kesambet kan?” ucap teman asrama sambil pegang jidat nongnongku. Hehehehe.


 

Hari-hari rasanya jadi berbeda, termasuk kebiasaanku. Yang tadinya nafsu makan, sejak terkena panah cinta jadi sering mendadak kenyang. Untung aku enggak tambah cungkring, habis kenyang makan cinta. Malam juga aku susah tidur padahal biasanya habis magrib sudah langsung turu. Bisa karena banyak nyamuk juga kayaknya. Atau bisa juga karena Pipit anak Betawi asli yang satu kelas, satu asrama, dan satu kamar denganku. Komplit deh! Apa hubungannya dengan Pipit? Baiklah tak jelasin, Pipit ini yah, kalau tidur giginya enggak bisa diam alias bunyi gemeletuk terus kayak mesin printer. Pakai ngences lagi, ilernya ke mana-mana. Kalau sudah begitu, anak-anak malah suka ngerjain dengan sengaja menyetel jam weker Pipit setiap 3 jam sekali. Kebayangkan? Pipit yang asli Betawi yang wajahnya mirip dikit sama Mpok Nori dan Mpok Nori yang mirip banyak sama Pipit, kalang kabut sambil nyumpah-nyumpah. 


 

“Asem lo pada ya, awas kalo gue sampai pusing karena kurang tidur.” Padahal Pipit seringnya pusing karena enggak punya duit saat tanggal tua. Atau aku enggak bisa tidur akibat ulah Lena yang suka iseng nongol tiba-tiba di malam Jum’at dengan pakaian pocongnya. “Huwaaa!”


 

 Di sekolah semangat belajarku makin meningkat drastis, meski konsentrasiku sering terpecah antara mikirin pelajaran atau doski. Tapi untunglah nilai-nilaiku di raport banyak kemajuan karena jadi lebih banyak belajarnya dari pada turu-nya. Terutama saat dalam kelas. Ketahuan deh. Mungkin sejak aku dikirimin buku panduan masuk UGM, selain karena doski juga lah. Sebenarnya aku dan teman-teman sekelas suka pura-pura dengar dan mengantuk, saat guru yang sudah lumayan tua mengajar di kelas. Tapi ketika Pak Jhon (bukan nama sebenarnya) yang ganteng dan masih muda mengajar, anak-anak bisa begitu semangatnya. Mana Pak Jhon selain ganteng orangnya agak lucu, ramah, dan mudah akrab sama anak-anak. Jadi murid sudah kayak teman saja tanpa ada jarak. Cuma dampaknya, Pak Jhon jadi kebablasan akrab, hingga sempat terjadi hubungan yang rumit antara dirinya dan salah satu anak didiknya. Padahal Pak Jhon sudah punya istri lho.


 

 Dengar-dengar sih, istri Pak Jhon enggak begitu cantik dan nikahnya juga karena dijodohkan tanpa rasa cinta. Menurut anak-anak sekolahku yang kurang kerjaan sampai menyelidiki kisah percintaan gurunya. Terutama bagi yang kepo banget soal Pak Jhon. Tapi aku enggak ikut-ikutan. Namun kisah cinta rumit yang sering terjadi di sekolahku antara Pak Jhon dan murid-murid yang ia taksir, akhirnya berakhir tragis dengan dipecatnya Pak Jhon dari sekolah saat ketahuan. Track record Pak Jhon sebagai guru yang senang bermain api dengan muridnya sendiri, tak bisa lagi di tolerir pihak sekolah kami. Resiko kalau guru cowok mengajar murid yang isinya perempuan belia dan cantik semua, harus tahan godaan. Apalagi katanya anak sekolah kami terkenal cantik-cantik, terbukti setiap baru keluar dari gerbang sekolah, cowok-cowok yang nongkrong sudah pada cuit cuit aja ngeliat cewek yang bening-bening. Belum lagi yang ngelirik diam-diam. Asli ini enggak lagi promo, mentang-mentang diriku termasuk salah satunya. Tetep! (Senyum dikulum malu-malu.)


 

Hah! Ternyata aku hobi gosip juga nih kayaknya, mesti tobat nasuha nih, takut dosa. Udah ghibah melulu dari tadi. Astagfirullah.

Jadilah aku anak yang berubah rajin belajar, meskipun enggak semua pelajaran kusuka. Tapi tetap kupelajari dengan sungguh-sungguh. Guru-guru kelasku juga ganti-ganti hingga enggak bosan. Kebayang kan satu guru mengajar semua pelajaran, pasti pengen ganti. Wong, makan dan baju saja ingin gonta-ganti. Asal jangan pasangan saja yang gonta-ganti. Itu mah bukan bosan lagi, tapi kemaruk. Ditambah lagi enggak hanya teman-temanku yang punya karakter unik. Guruku juga unik-unik, sebagaimana teori psikologi bahwa manusia itu memiliki keunikan tersendiri termasuk yang nulis ini buku. Di situlah letak indahnya hidup. Coba kalau semua orang karakternya sama? Sama-sama suka molor kayak aku. Sama-sama malas mandi sepertiku. Berabe, kan?


 

Contohnya guruku Bu Sutinem yang bersih banget. Kalau masuk kelas pasti periksa dengan teliti masih ada debu atau enggak. Jadi kelas, meja, dan kursi harus kinclong, clong. Kayak iklan, “Bersih bersinar, Kinclong!”. Ada juga Pak I’la guru bahasa Arab yang suka melawak dengan logat Madura. Guru yang enggak pernah tega menghukum murid-muridnya. Guru yang disenangi meskipun tampangnya jauh ganteng dari Pak Jhon. Atau Bu Junaini, penjaga asrama Lena di Kauman. Hobinya masak dan memiliki perabot yang lengkap. Namun bila anak asrama mau minjam alat masaknya, entah itu sendok penggorengan dan lain-lain, apalagi kompor tungku kesayangannya, maka harus mengajukan proposal dulu katanya. Catat!


 

Enggak hanya anak asrama dan guruku aja yang unik, ibu penjaga kantin juga unik. Ceritanya, Fatma anak IPA yang kelasnya dekat kantin, dulu jualan kue dan Togo di kelas, (biskuit Togo sedang naik daun saat zaman aku sekolah), sempat dicemberutin dan dikomentarin ibu kantin karena takut tersaingi.


 

“Itu Fatma mending belajar aja yang benar, enggak usah pakai jualan segala.”

Memang sih, sejak Fatma juga ikutan jualan, omzet bu kantin jadi menurun drastis. Untungnya Fatma enggak ikutan jualan mi di kelas. Soalnya anak-anak paling suka mengantri saat beli mi si Tante (sebutan untuk ibu kantin). Meskipun sampai bela-belain ngunci kelas biar enggak ketahuan guru-guru saat jam kosong sedang beli mi tante. Kebetulan kelas anak IPA berdekatan dengan kantin. Apa jadinya bila antrian pembeli mi tante jadi pindah lokasi ke Fatma. Bisa tambah mencak-mencak si Tante enggak terima jualannya diambil alih pihak lain. 

Padahal setahuku Fatma yang kebetulan satu asrama denganku, nekat jualan buat mencari tambahan untuk biaya sekolahnya. Bukan untuk dimusuhin ibu kantin.


 

Ibu kantin mungkin lupa bahwa rezeki masing-masing orang sudah ada jatahnya sendiri dari Tuhan. Lihat saja berapa banyak toko dengan barang serupa yang ada di Mall? Tapi tetap laku juga alias ada pembelinya masing-masing. 

Akhirnya daripada rezeki nambah tapi musuh juga ikutan nambah, Fatma pun berhenti jualan. Sebagai gantinya, Fatma kulakan kue dan menjajakannya di luar sekolah pakai sepeda. Memang Fatma terkenal kreatif dan aktif. Padahal selain jualan dan sekolah, dia juga aktif ikut organisasi di sekolah. Saking aktifnya, saat menggelar jualan di kelas, Fatmanya kemana, yang beli kemana hehehehe. Untunglah teman sebangkunya mau bantu jaga dagangan Fatma, saat Fatma piknik ke mana-mana karena banyak urusan. Jadi ceritanya piknik sambil jualan, atau jualan sambil piknik ya?


 

Bunyi bel sekolah tanda berakhirnya jam pelajaran adalah hal yang paling ditunggu-tunggu semua murid termasuk diriku. Mata mendadak cerah lagi ingat makan siang sudah menanti di asrama. Kira-kira Mbak Inah masak apa ya, begitu selalu pikir kami sebelum sampai asrama. Meskipun lauk asrama terbilang sederhana, tapi tetap biper (bikin laper) deh, hingga rasanya tetap terasa enyak enyak enyak. Yang penting menunya gonta-ganti misalnya hari ini tempe goreng, besok tempe bacem, besoknya lagi oseng-oseng tempe. Ya, sami mawon, tho? 

Eits, jangan salah, meskipun tetap sama-sama tempe, selagi lapar ya embat saja. Yang penting itu kerupuk kalengnya jangan ketinggalan. Karena selalu di beri lauk tempe sama tahu, begitu Mbak Inah masak ayam, rasanya seperti sedang makan di restoran euy. Soalnya jarang-jarang, jatahnya bisa seminggu sekali makan ayam atau daging. 


 

Di situlah letak seninya hidup, yaitu bersusah-susah dahulu, baru mati kemudian. Upss, salah ya? Maksudku setelah merasakan susah, bahagia kan datang. Coba kalau bahagia terus, enggak bisa tahu apa bedanya antara bahagia dengan susah, kan? Ibaratnya seperti orang yang sudah lama enggak ketemu air, begitu dapat minum rasanya pasti nikmat banget. Itulah adilnya Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Agar kita bisa merasakan semuanya secara bergantian. Ada siang dan malam. Ada hujan dan kemarau. Ada senang dan sedih. Ada aku dan Mr. Cool. Eh.


 

Begitu sampai asrama, anak-anak sudah ramai nongkrong di depan kamar Umi Kesumi (nama inisial). Biasa, asyik memilih gorengan jualan Mamah yang dititip di asrama. Aku pun bergabung ikut mencomot tahu goreng dan lumpia. Lumayan buat teman makan nasi. Sebelum ke kamar ganti baju, aku enggak lupa bayar seharga gorengan yang kuambil dengan memasukkannya ke kaleng kecil berisi uang. Enggak sampai satu jam biasanya gorengan tandas dibeli anak-anak. Mamah yang mukanya berseri-seri karena gorengannya habis, akan berubah manyun kalau ternyata ada anak yang nembak alias diam-diam makan gorengan tanpa bayar. Duh, pusing pala Mamah.

“Hayo, yang belum bayar kasihan Mamah dong, “ teriak anak anak. Tetap enggak nongol anak yang lupa bayar. Pura-pura lupa atau benar-benar lupa, soalnya mana ada maling yang mau mengaku. Akhirnya karena keseringan ada yang suka nembak makan gorengan si Mamah, Pamong asrama pun sampai turun tangan memberi sanksi bila ketahuan. 


 

“Malu-maluin asrama kita saja,” kata Bu Syahidah Binti Karomah Binti Halimah Binti Kalimah Binti Kesanalah Binti Hayulah Binti Pergilah Binti Tan. 

Anak-anak pun jadi ciut hingga selalu enggak lupa bayar habis makan. Tapi hanya sebentar, habis itu lanjut lagi ada saja yang masih suka nembak. Padahal, berapa sih harga sebuah gorengan? Dibandingkan untung yang didapat Mamah bila gorengannya habis. Yang ada bukannya malah untung si Mamah malah tekor. Kasihan juga.


 

Kejujuran merupakan sebuah harga yang sangat mahal. Bukankah ada pepatah bahwa orang yang jujur hidupnya akan mujur. Benar, kan? Dan melatih kejujuran itu bisa dimulai dari hal-hal yang kecil seperti bayar kalau beli gorengan. Atau ujian enggak menyontek. Bila dibiarkan gedenya bisa-bisa rentan melakukan korupsi, karena sudah dianggap hal yang biasa dalam mengambil yang bukan miliknya. Amit-amit, deh jangan sampai kita termasuk di dalamnya. Hidup jujur juga akan membuat hidup kita selamat. Meskipun tidak hidup bergelimang harta, tapi hari-hari terasa lebih damai tanpa dikejar-kejar dosa apalagi satpam. 


 

Kembali lagi ke soal surat. Setelah surat pertamaku balas, surat kedua tak kunjung kuterima lagi darinya. Padahal sudah berbulan-bulan aku menunggu kembali. Kasihan deh diriku, yang hanya dianggap adik doang sama kakak ketemu gede. Hiks. Terbersit di hatiku bahwa lelaki itu tak serius untuk menjadikanku pujaan hatinya. Tanpa bisa dicegah, aku menjadi andilau yaitu antara dilema dan galau. Sebenarnya Mr. Cool serius enggak, sih padaku? Atau aku saja yang ge-er diperhatikan padahal bisa saja doski menganggap aku adik doang. Tapi, tetap saja aku tidur nyenyak dan doyan makan hehehehe. Cuma sedikit galau saja, biasa kan remaja yang baru jatuh cinta? 

Kalau dipikir-pikir kenapa aku mau-maunya jatuh cinta, kan Mamak kirim aku jauh-jauh ke Yogya untuk belajar bukan mikirin cowok. Siapa suruh cowok itu duduk di sebelahku? Coba yang duduk kakek-kakek, atau cowok yang mukanya standar, kan enggak mungkin aku terpanah asmara. Hiks. Menyesal tiada guna karena yang namanya penyesalan selalu datang belakangan. Kalau datang duluan itu bukan penyesalan tapi uang muka kredit rumah! 


 

Aku berusaha menenggelamkan kegalauanku dengan berbagai kegiatan. Seperti biasa setelah makan dan istirahat siang, aku kembali ke sekolah sore harinya mengikuti les atau kegiatan ekstrakurikuler. Entah itu les matematika, kegiatan pramuka, keputrian, silat, jurnalistik dan lain sebagainya. Ya, kegiatan sekolah yang padat membuatku bisa lupa sejenak dengan Mr. Kulkas.

Pokoknya harus bertekad melupakan dirinya yang sudah berhasil membuatku klepek-klepek hingga mabuk kepayang sesaat. Aku tak lagi berharap surat darinya, kecuali surat dari Mamak. Aku juga gengsi menulis surat lagi ke doski, walau sekedar basa-basi sampai basi. Hiiiii! Tapi sejak aku kenal dirinya, tanpa bisa kucegah insprasi menulisku jadi berdatangan, terutama ide menulis puisi. Sampai dapat order dari kakak asrama yang minta dibuatkan puisi. Ketika pelajaran mengarang puisi di kelas, memang nilaiku lumayan, hingga anak-anak berebut minta dibuatkan puisi juga. Bukan karena mereka enggak bisa tapi karena aji mumpung. Mumpung aku mau bikin saat mereka males. Sungguh terlalu! 


 

Berawal dari menulis puisi, berkembang inspirasiku untuk menulis cerita. Kebetulan salah satu majalah remaja Muhammadiyah menerima rubrik cerpen, ada honornya lagi. Berhasil? Iya, berhasil ditolak! Aku patah hati sepatah-patahnya. Ternyata patah hati ditolak penerbit sama ditolak cowok hampir sama sakitnya, hiks. Akhirnya aku sukses mengalami patah hati yang kedua kalinya. Ngeness. Untung si Esti selalu menyemangati. 


 

“Sabar Ir, menulis itu butuh proses. Siapa tahu suatu hari nanti kamu bisa terkenal kayak Hilman penulis Lupus.“

“Masa, sih gue bisa seterkenal itu?” Jawabku enggak yakin. 

“Ya, kamu siap-siap saja terancam beken kalau seandainya tulisanmu diterbitkan dan cetak ulang hingga menjadi best seller,” Hibur Esti lagi.

“Kalau best seller? Wong diterbitkan saja belum tentu,” Jawabku manyun.

“Iir hanya orang gagal yang selalu mencari alasan. Memang kamu mau jadi orang gagal sebelum bertanding?” Balas Esti sambil membenarkan letak kacamata tebalnya.

“Enggak sih, siapa yang enggak pengen berhasil dalam bidang yang ia sukai. Lah, tulisanku baru taraf dimuat di kolom pembaca doang, mana enggak ada honornya lagi.”

“Harus pede dong Ir, gue siap mendorongmu dari belakang.”

“Emang gue mobil pake didorong? “ 

“Serius to, Ir,” ucap Esti sambil benerin kacamatanya lagi

“Ini juga dua rius.”

“Iirrrrrr....! Kamu tuh, ya,” Esti mulai kesal dan balik serius belajar. Untung Esti enggak sampai lempar kacamata sahabat sejatinya ke aku. Kalau Mimi mungkin, karena sifatnya yang pelupa akut. 


 

Aku tahu cari penerbit yang cocok sama naskah itu ibarat kayak cari jodoh juga. Harus tahu kriteria apa yang penerbit mau. Kayak aku yang sukanya cowok dengan kriteria pintar, serius, dan dingin-dingin empuk kayak Mr. Kulkas. Aku pun memompa semangat lagi meskipun tetap saja dikirim surat cinta penolakan naskah. Tapi, aku enggak mau menyerah begitu saja. Masa mengejar Mr. Cool saja aku enggak pantang menyerah, tapi mengejar penerbit menyerah? Bukankah penolakan dalam hidup ini hal yang alami dan menimpa hampir semua orang? Termasuk diriku yang apesnya ditolak cowok dan ditolak penerbit secara bersamaan.


 

Naskah Harry Potter saja katanya pernah ditolak 14 penerbit sebelum akhirnya diterbitkan sampai difilmkan. Yang enggak alami itu kalau belum dicoba sudah takut ditolak duluan Ir, nasehat batinku. Istilahnya kalah sebelum bertanding. Eggak elegan banget menurutku, jadi kudu terus maju meskipun ditolak berpuluh-puluh kali. Naskah maksudnya, bukan gebetan. Memang cewek apaan sampai jatuh cinta dan ditolak berpuluh kali?

Akhirnya, anak asramaku pun harus sering terbangun tengah malam sambil ngelus dada, mendengar aku ketak-ketik pake mesin ketik seperti penulis produktif. Bergantian dan selang-seling dengan suara gemerutuk gigi Pipit yang bunyinya mirip mesin printer. Sabar, sabar. Namanya juga lagi usaha. Bulan berganti bulan, Mr. Cool enggak pernah lagi menanyakan kabarku. Sakitnya tuh disini. Sindir hatiku berdendang senang melihat aku menderita. Aku serasa dicuekin dan cuma dijadikan Sebastian (sebatas teman tanpa kepastian) aja sama doski. Tak pernah dikirimi surat apalagi ditelepon. Alamat surat saja aku sampai lupa ngasih nama. Bisa-bisa aku salah kasih nomer telepon, andai Mr. Cool nanyain. Bukannya nomer telepon asrama atau sekolah malah nomer telepon pemadam kebakaran atau unit gawat darurat lagi yang kukasih. Payah! Meskipun setiap ada yang telepon pasti pamong asrama cek and ricek dulu.


 

 “ Ini siapanya, ya? Bapaknya? Ibunya? Kakek buyutnya atau tetangganya? “

Bisa saja aku nyuruh Mr. Kulkas ngaku sebagai abangku. Bilang saja dari abang. Dalam hati abang ketemu gede. Kayak Fitri temanku yang ngaku-ngaku kalau cowok yang sering mengunjunginya ke asrama adalah bapaknya. Sedari umurnya jauh lebih tua dari Fitri. Begitu tamat baru Fitri ngaku sambil cengar-cengir kalau itu sebenarnya cowoknya bukan bapaknya. Demi menghilangkan kesuntukan, biasanya aku suka bertandang ke kamar-kamar anak asrama. Apalagi saat merasa cintaku akhirnya bertepuk sama angin. Jadi bukan hanya bertandang ke tetangga saja yang trending topik. Tentu saja pakai gosip sedikit, digosok makin sip! Tapi ini gosipnya seputar gebetan, bukan gosip artis atau cerita kejelekan orang lain. Bela diri. Misalnya tentang anak asramaku Firda, yang centil bin pede abis merasa diri mirip artis sekelas Maria Mercedes. Mana ngomongnya susah berhenti mirip kereta api saking semangatnya kalau sudah cerita soal gebetan. Lah, ini gosip bukan? Halah! 


 

Sebenarnya aku hanya ingin belajar move on pada Firda. Selain belajar untuk selalu bangkit seperti pohon pisang di halaman asrama. Terus, emang apa hubungannya Firda sama pohon Pisang? Jelas ada, pohon pisang itu ya, meskipun berkali-kali ditebang, dia akan langsung tumbuh lagi. Enggak percaya? Kamu bisa coba sendiri di rumah. Hebatkan? Enggak ada deh dalam kamus pohon pisang untuk gampang mutung. Jadi yang namanya pohon pisang selalu move on setelah disakiti tubuhnya dan dirobohkan berkali-kali sama pisau. 


 

Mungkin sebuah pohon pisang tahu bahwa dirinya banyak manfaat. Hingga enggak ingin hidup sia-sia dengan selalu galau dan gampang putus asa. Bayangkan saja dari mulai daunnya, buahnya, sampai jantung pisang dapat kita makan. Pasti kamu suka kan, pisang goreng? Atau kolak pisang dan es pisang hijau. Daun pisang bisa untuk bungkus tempe, gado-gado, ikan pepes dan banyak lagi. Sedangkan jantung pisang bisa dibuat sayur yang enak pakai santan. Apa jadinya begitu ditebang itu pisang ngambek lalu ngomong “Mending gue enggak usah hidup lagi deh.” Enggak bakalan kita bisa makan pisang goreng kipas lagi. Aku rasa falsafah ini bisa kujadikan acuan untuk selalu semangat dalam hidup termasuk cita-citaku menjadi psikolog. Mencoba menyadari bahwa hidupku dan siapapun pasti banyak manfaatnya bagi orang lain. Salah satunya jadi psikolog dadakan di asrama, meskipun tanpa dibayar. Soalnya baru amatir belum profesional kayak Sarlito Wirawan.  


 

Jadi kalau ada yang curhat (duh gayane), dengan senang hati dan tangan terbuka lebar aku ladeni. Misalnya Esti yang mudah paper alias panas perasaan dan sulit memaafkan bila ada yang menyakiti hatinya. Aku coba ngademin hati Esti biar lebih tenang. Lalu kukasih masukan bahwa dendam itu hanya bikin hidup tersiksa karena selalu menyimpan amarah. Ibarat kita menggali dua lubang kuburan yaitu satu kuburan buat yang sudah bikin sakit hati dan satu lagi kuburan buat diri kita sendiri. Sekalian tips buat aku juga yang mudah baperan dan sakit hati.

“Makasih ya Ir, hati ini adem rasanya. Pintar juga kowe ngasih nasihat,” ucap Esti tersenyum. Aku pun balas senyum simpul plus ge-er sendiri dalam hati. Belum tahu kalau aku diam-diam makan bakwan. Atau saat Yuliana curhat bahwa ada anak kamarnya yang baru saja melakukan pengakuan dosa (hihihi kayak pastur saja) Yuliana pun minta saranku buat cari solusi. 


 

Lain hari ada anak yang curhat bahwa dia minder sama kakaknya yang lebih langsing dan cantik. Sementara badannya gemuk seperti bola walaupun sudah diet dan olah raga tapi enggak turun-turun juga. Lha, gimana mau turun? Habis olahraga ngembat bakso dua mangkok. Tobat...tobat... Di rumah, dia sering dibanding-bandingkan sama kakaknya itu. Membayangkan kalau diriku yang dibanding-bandingkan oleh Mamak. Aku hanya bisa mendengarkan curhatnya sembari mencoba berempati. Pokoknya tiba-tiba rasa empatiku jadi bertambah akibat tinggal di asrama dan patah hati. Menemukan berbagai masalah dan karakter yang dibawa dari keluarga di banyak kota. Akhirnya aku bingung mau beri saran apa karena sudah enggak bakalan mempan. Yang ada aku hanya bisa menghibur dengan kata-kata bijak hasil temuan yang isinya,


 

“ Wahai perempuan yang merasa dirinya gemuk! Janganlah bersedih karena yang masuk surga adalah orang yang paling berat timbangannya.”

“Iirrrrrrr.......!” Aku pun ngacir takut ditimpuk sandal temanku yang badannya subur bin makmur. 

Belum usai masalah Firda dan anak berbadan gendut tapi tidak kunjung langsing juga kayak diriku, tiba-tiba Sisi curhat sambil mewek.

“Ir, masak surat dari kakakku enggak nyampe ke aku?”

“Emang kakakmu ada kirim surat ke asrama Si?” Tanyaku heran.

“Iya, aku baru tahu saat kakakku telepon tadi pagi.”

“Kakakmu cowok atau cewek Si.”

“Cowok. Memangnya kenapa Ir? Pengen kirim salam?” 

“Ya gak sampe begitu juga Si. Gue sudah ada yang naksir tau,” jawabku sok laku.

“Terus? Kenapa tanya-tanya jenis kelamin segala. Mau cewek atau cowok, kan tetap aja suratnya gak nyampe.”

“Bukan begitu Si, Jangan-jangan....”

“Jangan-jangan apa Ir? Bikin tambah kalut aja kowe.

“Jangan-jangan disita pamong asrama, karena dikira surat dari pacarmu. Soalnya kan surat dari cowok.”

“Bener juga kowe Ir, terus gimana dong? “

“Ya gampang, tanya aja langsung ke pamong asrama kita Bu Saadah. Apa benar kemarin ada surat atas nama kakakmu.”

“Oh iya juga ya Ir, tapi aku segan tanya sendirian. Kowe temanin aku yah? Please!”

“Oh My God. Aku baru ingat kalau kemarin balas surat Mr Cool pake alamat asrama Si. Jangan-jangan Mr Iq kirim balasan suratku ke asrama lagi. Pasti kena sita juga nih sama Bu Saadah.” Tepok jidat! Lola ku kumat lagi. 


 

Tanpa menunggu lagi, aku dan Sisi pun segera menghadap Bu Saadah menanyakan perihal surat yang datang. Sebenarnya aku masih bingung mau ngaku surat dari siapa? Kalau jujur dari Mr Iq, Abang ketemu gede, bukan abang beneran, jelas diceramahin panjang kali lebar. Hah! Alhasil, aku hanya diam aja sesampainya di depan Bu Saadah. Hanya Sisi yang berterus terang bahwa kakak lelakinya kirim surat, apakah sudah sampai atau belum. 

“Owalah, dari kakakmu tho Si? Ibu kirain surat dari bojomu. Itu, periksa aja di tumpukan surat ada gak,” perintah Ibu asrama merasa bersalah. Padahal Sisi sudah sempat nangis darah karena kesal. Kesempatan ini aku gunakan untuk memeriksa dan ikutan Sisi baca setiap nama pengirim surat ke asrama. Dan ternyata emang belum ada surat balasan lagi dari Mr. Iq. Kasian deh diriku yang udah ge-er duluan. Jadi pengen kabur ke Papua.

Kembali ke Firda, yang berkali-kali jatuh cinta dan berkali-kali juga sukses patah hati. Namun dia tetap saja bangkit lagi membuka hatinya menerima cinta yang baru. Termasuk cintanya Satiman tukang kebun yang naksir berat sama Firda. Bedanya gantian Firda yang menolak Satiman. Meskipun Firda awalnya nangis tujuh keliling habis diputusin, tapi enggak sampai sehari, dia bisa ceria lagi. Ketawa-ketiwi lagi bareng kita. Semangat ngejar cowok keren yang ia taksir lagi. Salut deh sama sikap move on-nya Firda. 


 

Mungkin dalam hidupnya Firda memegang teguh motto buanglah mantan pada tempatnya. Keren. Coba kalau sikap pantang menyerahnya itu dalam hal pelajaran sekolah. Masalahnya Firda lebih sering rangking paling belakang di kelas. Hihihihi. Atau kayak Uki yang cuek abis sama urusan gebetan. Prinsipnya yang penting masih bisa baca setumpuk komik seharian sambil tiduran. Mulai dari komik jepang topeng kaca, seri popcorn dan komik Chinmi. Sampai makan saja Uki sukanya di atas kasur, biar bisa sambil baca komik. Mirip lagi rawat inap.


 

Doi bakalan galau bila stok komik untuk dibaca sudah habis. Jadi, enggak ada deh dalam hidupnya galau karena kehabisan stok cowok. Jangan-jangan Uki bergabung di komunitas ijo lumut yaitu ikatan jomblo lucu dan imut. Walaupun badan Uki enggak ada imut-imutnya. Bahkan saking maniaknya sama komik, Uki sampai menghayati karakter tokoh dalam cerita komiknya. Uki bisa nangis dan tertawa sendiri. Sambil sesekali colek coki-coki yang tercecer di atas kasurnya. Aku kirain Uki akan tinggal kelas dan jadi jomblo abadi, karena kerjaannya sepulang sekolah baca komik melulu. Tiada kerjaan lain, bahkan untuk urusan mandi sekalipun. 


 

Uki yang terkenal cuek, paling nyengir aja lihat anak asrama mau pingsan karena kebauan. Mau mengalahkan rekorku yang malas mandi kayaknya. Apalagi kalau sedang dapat ide nulis, seharian aku nulis sampai handuk cuma dikalungin saja di leher. 

“Ir, loe kapan mandinya? Perasaan tuh handuk cuma dijadikan syal doang,” Pipit yang mondar-mandir ngeliatin aku masih nulis seharian terusik.

“Ya, kapan-kapan, lah.”

“Dasar lo ya, Ir, apa-apa kalau disuruh pasti bilangnya entar-entar aja.” Pipit enggak tahu kalau aku tuh ikutan gerakan gapatar, gerakan apa-apa entar. Haha.


 

Coba kamar mandi asrama kayak hotel bintang 5, dijamin aku rajin mandi. Ngeles. Bisa-bisa Mamak enggak makan, karena uangnya habis buat bayar asrama yang pasti tarifnya jadi berjuta-juta. Jadi ingat lagu Opie Andarista,

“Andai aaaaa aku jadi orang kaya. Enggak usah pake kerja“

Ibaratnya kalau jaman sekarang Uki kayak anak-anak udah kecanduan gadget gitu. Nyatanya Uki tetap tinggi nilai-nilainya di kelas. Usut punya usut ternyata Uki tetap enggak lupa belajar, sehabis melahap komiknya di malam hari pas anak asrama udah pada tidur. Siasat Uki belajar diam-diam pas anak-anak udah tidur, biar siangnya dihabiskan untuk baca komik. Aku jadi suka cari kesibukan tambahan untuk mengalihkan pikiran akibat ingat Mr. Cool terus. 

Kadang aku berpikir, coba aku punya sifat pelupa kayak Mimi agar bisa ngelupain tuh cowok kulkas. Tapi, eman-eman alias sayang juga ya cowok sekeren Mr. Cool harus dilupain. Akhirnya aku yang males berenang ini, suatu kali ikut juga ketika anak asrama ngajak berenang di Mandala Krida. Padahal bisanya cuma gaya batu alias diam di kolam sampai kedinginan. Lalu memutuskan untuk cepat naik dari kolam dan duduk baca buku.


 

“Ir, ayo turun, ngapain ke kolam renang kalau cuma ngeliatin doang,” ajak Esti.

“Hehehehe,” Aku hanya nyengir sampai akhirnya anak-anak gemes dan nyiram badanku yang sudah kering. Pengen marah, tapi karena aslinya aku enggak gampang marah. Ya sudah kubalas nyanyi saja.

“Basah, basah, basah sekujur tubuh. Ah, ah, ah mandi madu.”


 

Atau kalau enggak ada lagi yang bisa dikerjain, aku suka iseng mengajak anak satu kamar, salah satunya Mimi di hari Minggu. Hari saat anak-anak asrama bebas pergi ke mana aja asal sudah kembali di sore hari. Yang penting jangan pergi balik ke rumah masing-masing, itu namanya kabur. Biasanya kalau pagi kami suka jogging ke Taman Sari berombongan, lalu pulangnya singgah beli sarapan di Pasar Tradisional Ngasem. Jajan lupis yang terbuat dari ketan dan dibungkus seperti lontong dan cenil warna-warni. Disajikan dalam daun yang dipincuk sama lidi. Jenang gempol yang terbuat dari tepung beras yang dipadu dengan kuah dari santan dan sirup gula jawa.

Ada lagi getuk, tiwul, dan gatot yang terbuat dari singkong. Makanan khas dari Gunung Kidul yang singkongnya ada warna hitam-hitamnya. Menurut temanku yang asli Gunung Kidul, makin hitam makin menul-menul rasanya, saking enaknya. Sementara proses pembuatan gatot cukup lama hingga akhirnya bisa enak dimakan. Jadi pertama-tama singkong dikupas dulu. Kalau ada yang langsung memakannya berarti bisa masuk Muri. Hah! Habis dikupas langsung dijemur sampai kering, ditutup sama plastik sampai jadi gatot. Terus dikeringkan lagi di panas matahari. Setelah kering, dicuci bersih dan dijemur lagi. Setelah dijemur lalu dipotong-potong menurut selera. Setelah itu direndam pakai gamping selama 3 hari. Baru kemudian dikukus.


 

 Ada satu lagi yang aku suka, cemplon namanya. Yaitu singkong yang diparut terus dicampur dengan kelapa muda parut yang sudah dikasih garam. Lalu dibentuk bulat dan tengahnya diisi gula merah sebelum di goreng. Nikmat banget, dah. Kenangan indah yang tak pernah terlupakan. Ingat anak-anak asrama keluar lari pagi penuh keringat lalu pulangnya menyerbu jajanan di trotoar Pasar Ngasem. Kecuali yang agar mager alias malas gerak salah satunya aku yang lebih banyak jalan daripada lari. Ketahuan lagi senyum dikulum. Oh ya, tips nih buat yang mager agar tetap sehat dan serasa olahraga terus. Pertama, sering-sering saja nonton acara olah raga entah itu di televisi atau di lapangan. Enggak olah raga tapi berasa olah raga kan? Kedua, paksa diri untuk menggerakkan tubuh, asal jangan gerak terus seharian. Bukan apa-apa, capek! Bisa-bisa badan lo enggak bisa gerak-gerak lagi besoknya karena udah diforsir seharian. 


 

Pasar Ngasem sebenarnya merupakan pasar tradisional yang khusus menjual hewan peliharaan terutama burung. Tetapi selain burung juga terdapat hewan peliharaan lain yang dijual, antara lain Kelinci, Marmut, Anjing, Kucing, Jangkrik bahkan Ular dan lain sebagainya. Pasar ini terletak di Kampung Ngasem dan Kampung Taman, Kecamatan Kraton, sekitar 400 meter arah barat dari Kraton Kasultanan Yogyakarta. Untuk lengkapnya kamu bisa tanya mbah Google saja ya. 


 

“Mi, ini kan hari Minggu, mau ikut gue ke Malioboro enggak?” sambil nongkrong liatin orang yang lalu lalang. 

“Gue hobinya nongkrong di WC Ir.

”Gubrak!” 


 

Aku pun mencari kesibukan lain, kasak-kusuk cari berita baru kayak wartawan media ternama. Dan, berita yang aku dapat sungguh membuat penasaran. Kalau di koran mungkin sudah jadi headline. Berita bahwa anak asrama kembali mengalami kecurian alias hampir setiap hari ada saja barang yang hilang. Padahal sudah lama asrama aman terkendali. Mulai dari baju, jam tangan, barang pernak-pernik sampai duit gopek yang terletak di kamar anak asrama saja hilang. Lumayan bisa buat beli satu gorengan. Soalnya uang jajan anak asrama kan terbatas. Yang ekonominya seret jajannya paling gopek. Ada juga sih yang sepuluh ribu sehari, soalnya punya orang tua tajir. Jadi wajar kalo anaknya juga ikutan tajir. Kecuali kalo orang tuanya pelit bin medit.


 

Berita santer ini membuat kami berusaha menjadi detektif kelas teri. Siapakah gerangan yang suka ngutil di asrama? Apakah orang yang sama dengan yang suka nembak beli gorengan? Atau anak asrama yang dulu suka mencuri tapi sekarang udah insaf? Lalu tergoda lagi untuk melakukan kegiatan yang terlarang ini. Atau jangan-jangan anak yang dulu pernah mencuri, mengulang lagi karena merasa sudah pada lupa kasus ini. 


 

Aku dan anak-anak yang ditugaskan untuk menyelidiki, jadi parno. Setiap anak selalu ditatap penuh selidik dan diawasi sedemikian rupa. Meeting di gelar di musala yang merangkap ruang serbaguna untuk kegiatan apa saja. Keesokan harinya saat bel istirahat berbunyi, kami segera ngacir ke asrama untuk melakukan penggeledahan. Yang paling penting, minta izin dulu pada penjaga sekolah biar gak dikira bolos. Tak sampai lima menit, kami sudah sampai di asrama. Jarak antara sekolah ke asrama memang cuma 100 langkah kaki orang dewasa. Kalau langkah kaki bayi, mungkin bisa sampai 10 ribu langkah. Apalagi kalo bayinya merangkak hehehe. Sempat-sempatnya menghitung langkah kaki, celetuk suara dari dalam hati.


 

Mulailah satu-persatu kamar anak-anak di periksa. Mulai dari isi lemari baju diperiksa, kasur yang dibongkar dan dibolak-balik, sampe periksa kolong tempat tidur segala. Biasanya setelah ini anak-anak asrama langsung manyun begitu tahu kamarnya berantakan. Mereka berusaha untuk mengerti bahwa tim penyidik sedang beraksi. Jadi enggak mungkin bisa marah. Setelah semua kamar diperiksa, tak ditemukan juga barang bukti. 


 

Sebelum kasus diteruskan ke mahkamah yang lebih tinggi, tiba-tiba terjadi perdebatan dan saling tuduh tanpa adanya bukti. Beberapa anak mencoba beralibi bahwa anak yang sudah insaf itulah yang mengambil uangnya. Sebab barang bukti ditemukan di kotak peralatan sekolah si tertuduh. Kotak itu disimpan rapi di dalam kardus kecil yang ada di bawah tempat tidur. Tertuduh memang dulu pernah mengambil barang teman-teman saat baru menjadi penghuni asrama. Waktu itu umurnya masih sangat muda, karena baru masuk SMP. Menurut pengakuannya, awalnya dia melakukan karena heran dengan barang-barang yang baru ia lihat. Maklum, dia berasal dari daerah terpencil. Istilahnya masih ndeso bin katrok. Jadi rasa heran inilah yang membuatnya ingin memiliki barang-barang bagus yang jarang ia temui di kampung. 


 

Seiring bertambahnya usia, ia mulai mengerti bahwa yang ia lakukan adalah salah. Hingga dia memutuskan untuk bertobat, dengan berjanji pada diri sendiri untuk tak mengulangi lagi perbuatan tak terpujinya itu. Beda dengan Salamah yang ngutil barang-barang asrama karena terpaksa. Kehidupan ekonominya tak sebaik anak asrama yang lain karena dia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Apalagi menurut Salamah, setelah ayahnya menikah lagi, Salamah harus berbagi jatah dengan adik-adik tirinya.


 

Namun aku dan sebagian anak asrama dilema benar atau tidak. Karena pelaku mengaku bukan dia yang mengambil sambil berurai air mata. Uang itu memang sengaja dia simpan rapi untuk membeli barang yang ia perlukan. 

“Sejatinya kita enggak bisa menuduh orang sebelum ada bukti, sih. Takut terjadinya fitnah bila ternyata tidak benar. Bisa saja anak asrama yang lain, atau si pelaku yang dulu suka mencuri kumat lagi,” jelasku sok bijak di hadapan anak-anak.


 

“Iya nih, apalagi setahu gue, anak yang dituduh itu sudah benar-benar tobat dengan lebih banyak beribadah dan tahajud tiap malam. Kurang apa lagi coba bukti tobatnya yang sungguh sungguh itu,” timpal anak yang lain. Tapi tetap saja ada anak yang enggak percaya. 

“Halah, bisa aja salatnya itu cuma kedok doang biar dikira alim.” Aku dan yang enggak setuju hanya bisa mengelus dada dan ingin semua bisa terpecahkan. Apalagi para pelaku yang dicurigai enggak ada yang mau mengaku meskipun sudah dipaksa berterus terang di ruang sidang. Akhirnya, terjawablah siapa si pelaku ketika bapak asrama meminta kami semua minum air yang sudah didoakan. Bila yang meminum air itu pelaku sebenarnya, reaksi badannya akan gatal-gatal dan merah. Enggak nunggu lama, air tersebut bereaksi. 


 

Ternyata benar bukan Si A yang sudah tobat pelakunya. Anak-anak termasuk diriku sadar bahwa dalam hidup ini kita enggak boleh mudah menuduh orang lain sebelum ada bukti sahih. Enggak hanya itu, tak ada alasan bagi kita memvonis dan menjauhi seseorang yang pernah berbuat salah. Selama pelaku sudah menunjukkan iktikad untuk berubah. Enggak heran kalau mantan narapidana banyak yang galau kembali ke masyarakat meskipun sudah berubah lebih baik. Khawatir akan dijauhi dan enggak diterima lagi, apalagi sampai dikucilkan. Prihatin.

Kejadian soal pencurian berlalu. Kami semua termasuk diriku akhirnya bisa bernafas lega. Namun keesokan harinya,


 

“Ayo kita bongkar kamar dan kasur si iir,” seru beberapa anak asrama. 

“Lho, ada apa ini? Kok tiba-tiba kasurku yang dibolak-balik?”

“Ada yang mengaku kehilangan dompet Ir, dan katanya ada yang menemukan di kamarmu.”

“What! Jangan asal tuduh dong. Ampun deh”

“Lebih baik kita buktikan bersama, apa ini fitnah atau bukan,” ucap salah satu anak asrama.

Sebelum tangsiku pecah, ternyata dompet yang hilang itu ada di bawah kasurku saudara-saudara. Kebayangkan kayak apa muka ini? Berganti warna dari hitam ke putih pucat pasi. Soalnya kulitku hitam, tapi hitam manis kayak gula jawa. Duh, kejam banget yang udah fitnah diriku hiks. Tanpa ampun aku digiring ke musala dan disidang disuruh mengaku.


 

“Aku harus mengaku apa? Wong tidak melakukan hal memalukan ini,”tangisku sambil kekeuh membela diri. 

“Halah! Mana ada maling yang mau mengaku, kecuali maling cinta hihihi.”

Gerrrrrr, suara tawa anak-anak membuatku semakin merasa terhina. Baiklah emak, aku harus melawan! Karena anakmu ini berada di pihak yang benar!

“Hai! Dengar ya semuanya. Gue enggak pernah niat ngutil, Soalnya duit kiriman gue lebih banyak dari kalian semua,” jawabku naik darah enggak terima. Sombongku pun kumat. Namun yang terjadi,


 

“Happy birthday to you, Happy Birthday Iir.”

Huwaaaa, baru sadar ternyata lagi dikerjain, baru ingat bahwa hari ini memang hari lahirku. Pengen marah dan nyumpah-nyumpah karena sudah berhasil buat diriku malu. Tapi yang ada aku malah nangis terharu. Kejadian yang enggak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun.