Contents
Pelangi Setelah Hujan
MERANA DALAM DUKA
-KINANTI
Beginilah nasibku. Semua wanita pasti ingin menjadi sempurna. Namun, semua telah diatur Tuhan? Pantaslah aku mengeluh? Sedangkan ibadah yang kulakukan saja mungkin masih kurang, aku hanya bisa pasrah dan berserah diri. Biarlah Allah yang membantu agar Istiqomah di jalan-Nya.
“Begitulah Jeng, siapa sih yang betah berlama-lama nggak punya cucu?”
“Eh Jeng, sudah periksa kedokter belum? Siapa tahu nih kandungan lemah atau apa gitu.”
“Ya, apa mungkin mandul kali, Jeng?”
Celotehan-celotehan itu terdengar sangat jelas di telinga. Hati ini tersayat perih. Hampir saja gelas yang berisi air minum dan hidangan makanan kecil ini jatuh. Beruntung tangan ini masih kuat memegangnya.
Aku tetap tegar, berjalan menuju meja tamu untuk mengantarkan makanan dan minuman jamuan ini. Bagaimanapun mereka adalah tamu yang perlu untuk di muliakan. Itulah yang aku dengar ketika Pak Ustaz memberi ceramah. Memberi hidangan yang pantas untuk tamu itu keberkahan.
Mereka memandangku seksama. Ada juga yang sinis. Masa bodoh biarkan saja.
“Silahkan diminum,” kataku pada mereka setelah meletakkan gelas di meja tamu.
Aku segera pergi, melangkah masuk ke dalam kamar. Masih terdengar suara samar-samar dengan tema yang sama. Semua tentang cucu dan keadaanku. Andaikan ada Mama di sini, pastilah kutumpahkan semua keluh kesah ini. Sayang, kini Mama telah tiada. Hanya kamar inilah tempat ternyaman untuk mengeluarkan segala keluh kesah lewat air mata.
Hanya doa dan keimanan ini yang mampu membuatku tegar. Tidak ada yang tidak mungkin bukan? Soal mama mertua menginginkan cucu itu wajar. Aku juga tidak boleh egois. Semua orang pasti mendambakan anak. Bahkan setiap saat air mata ini tak terbendung ketika kata itu terlontar.
Masih ada Mas Angga yang selalu membantu juga. Memberi semangat dan kasih sayang. Bagiku sudah luar biasa pengorbanannya. Segala ikhtiar telah kami lakukan. Hanya keajaiban yang bisa menjawab kegelisahan kami.
Tante Lisna teman mama mertuaku juga sepertinya dengan terang-terangan ingin menjadikan Mas Angga menantu. Di mana sebenarnya mata hati mereka? Bukankah aku masih hidup?
Dunia sungguh kejam. Kemarin saja, tanpa malu mengatakan padaku tentang Elsya anak gadisnya. Katanya Elsya bersedia menjadi istri kedua dan siap memberikan rahimnya untuk Mas Angga.
Ya Allah, cobaan ini begitu berat aku harus kuat dan bersabar. Semakin banyak ujian, semakin kuat juga keiman seorang manusia. Saat itu aku hanya tersenyum saja. Membiarkan mereka berpromosi dan menyerahkan kepercayaan sepenuhnya pada Mas Angga.
Aku tidak pernah menginginkan madu. Tapi jika Mas Angga menginginkannya apa dayaku. Sekarang hanya pelayanan yang baik saja yang dapat mengikat hati Mas Angga. Biarlah mereka gencar memberikan promo. Toh nanti suamiku yang akan menentukan.
“Sayang ... kamu di mana?
Terdengar suara Mas Angga dari luar. Segera kurapikan penampilan menyambut kedatangan suami tercinta yang lelah pulang kerja. Kuseka air mata ini, menutupnya dengan sedikit bedak agar kelihatan lebih fresh. Mas Angga telah di depan pintu kamar ketika pintu terbuka.
Segera kucium tangganya. Menggantikan menenteng tas kerjanya juga menyodorkan segelas air minum untuk suamiku yang baik ini.
Kami pun menuju kamar. Mas Angga tetap sama, tidak berubah. Lelaki tinggi putih itu tetap memperlakukan aku dengan istimewa. Belum juga kami berbincang, mama mertuaku sudah nyelonong masuk kamar kami yang tak terkunci.
“Kamu sudah pulang, Angga? Tadi Mama ada tamu, jadi batal main ke Tante Lisna. Kamu jadi main? Sudah ketemu Elsya juga? Terus bagaimana kalian?”
“Ma, Angga capek, biarkan Angga istirahat dulu ya. Maaf Ma, bisakah tinggalkan kamar kami?”
“Kamu ngusir Mama?” Sorot mata Mama tajam menatapku. Terpancar kebencian.
“Bukan mengusir Ma, cuma Angga lagi capek. Nanti kita bahas lagi ya, setelah Angga istirahat.”
“Kamu selalu begitu, pasti ini gara-gara hasutan kamu ‘kan Kinanti?”
“Masya Allah, aku tidak pernah mengatakan apapun Ma, apalagi menghasut.”
“Halah, bilang saja kamu iri! Elsya wanita cerdas dan pastinya akan cepat memberikan keturunan. Bukan kayak kamu yang—”
“Cukup Ma, kumohon tinggalkan kamar ini. Angga lelah!”
Mas Angga membimbing Mama keluar, segera menutup pintu rapat. Dia memelukku erat. Mengelus rambut ini dengan lembut. Penuh kasih sayang.