Try new experience
with our app

INSTALL

Pelangi Setelah Hujan 

TERLUKA TAK BERDAYA

-ANGGA


 

"Perempuan mandul dipiara!”

Suara Mama di ruang tengah sangat nyaring terdengar disertai barang-barang terempas ke lantai. 

“Itu terus dijagain, emang nggak ada lagi perempuan di dunia ini. Cantik juga gak banget amat! Cih!"

Betapa jijik Mama terhadap menantunya sendiri hanya karena ingin punya cucu. Apa tidak ada lagi ucapan yang lebih halus agar tidak membuat hati retak? Aku mendengar umpatan dari Mama semakin menjauh dari depan kamar. Berbagai celaan untuk Kinanti terlontar lepas begitu saja. Kulirik istriku, dia tertunduk meletakkan telapak tangan di dadanya menahan gumpalan kesedihan yang menumpuk dari hari ke hari. Aku tahu rasa sakitnya selama ini, berkumpul dalam sebuah tempat bernama hati. Di sana tempat dia menyimpan sesak. 

Bukan hanya Kinanti yang terluka. Aku pun memiliki rasa yang sama. Dia orang yang kucintai. Menyakitinya berarti juga menyakitiku. Namun, harus bagaimana jika yang melakukan justru perempuan yang menyebabkan aku ada di dunia ini. Duh, Mama … tak bisa kah Mama berdamai dengan hati menunggu saatnya tiba? Kami juga masih terus berusaha menghadirkan gelak tawa dan tangis bocah di rumah ini.

“Sabar, Sayang," bisikku sambil menggeser beberapa helai rambutnya, agar bibirku tepat di telinganya.

“Mas, aku nggak kuat rasanya." 

Suara tangisnya pecah saat membenamkan wajah dalam pelukku. Hatiku hancur mendengar isaknya. Bulir lara membasahi bajuku. Aku biarkan hingga ia lega melepas gundah dari kalbunya. Tanganku tiada henti mengusap rambutnya, berharap dapat menenangkan jiwa. Aku tahu dia terluka. Maafkan aku sayang. Suami yang tidak bisa berbuat banyak membelamu di depan Mama.

“Ntar malam, kita periksa ke dokter lagi, yah?"

“Iya, Mas. Semoga ada perkembangan," ucapnya di sela sisa isak.

“Mudah-mudahan Allah mengabulkan impian kita. Juga impian Mama, memiliki seorang cucu."

“Aku mengerti, Mas. Mama kesepian. Sama dengan kita."

Aku memeluknya begitu erat, tak ingin melepaskan sedetik pun. Seketika sesuatu mendesak dalam kalbuku untuk mengajaknya mereguk kenikmatan yang lebih dalam. Dengan satu kali angkat aku menggendong ke pembaringan. Aku mendekap hangat tubuhnya, tiada henti pandangan kami beradu mesra. Ia bahagia, aku juga. Wajah kami begitu dekat dalam permainan asmara.

“Heii, apa-apaan kalian!" bentak Mama sembari berdiri di depan pintu yang tadi lupa aku kunci.

“Kok, Mama nggak ketuk pintu dulu baru masuk.”

“Ini rumahku, aku bebas masuk di mana saja!"

“Aku melirik Kinanti yang telah membungkus tubuhnya dengan selimut.

“Angga! Rapikan bajumu! Ada tamu menunggu!" tukas Mama sambil berbalik menjauh dari pintu kamarku.

“Maaf, ya. Sayang," bisikku sambil menatap wajahnya. Dia mengangguk, tetapi aku tahu dia kecewa. Aku juga.

Aku membantu Kinanti merapikan bajunya. Tanganku mengatur helaian rambut yang sedikit acak.

“Aku temui tamu dulu, Sayang."Aku berjalan ke pintu, menarik gagangnya dan keluar.

“Iya, Mas,” balasnya sembari melepaskan genggamannya dari bahuku.

Dari ruang tengah terdengar obrolan disertai cekikikan ala tante-tante. Ah entahlah apa namanya.

“Ah, Jeng. Pokoknya dijamin, deh. Begitu selesai dor langsung bunting."

“Waw, manjur dong. Subur banget."

“Gini aja, deh. Gimana kalau secepatnya aja diresmiin."

“Aku maunya gitu, lebih cepat bunting lebih bagus."

Begitu suara bersahutan disertai tawa riang bergantian dari ruang tamu. Aku berdiri terpaku di pintu yang menghubungkan antara ruang tengah dan ruang tamu, memandang dua wanita di depan Mama.

“Eh, Angga. Ayo duduk sini. Jauh-jauh Tante Lisna kemari untuk mempertemukan kamu dengan Elsya," ucap Mama sambil menggeser duduknya memberiku tempat tepat di hadapan seorang gadis muda.