Try new experience
with our app

INSTALL

Pelangi Setelah Hujan 

ROMANTISNYA KASIHMU

-KINANTI


 

Perlahan aku mendekat, berdiri di balik korden. Memastikan siapa yang datang dan untuk apa Mama memanggil suamiku. Terdengar agak kurang jelas suara mereka. Sebenarnya apa yang mereka perbincangkan? Hingga riuh dan suara gelak tawa.

Aku lebih mendekat lagi. Rasa penasaran semakin menyeruak dan menghantarkan aku untuk melangkah lebih dekat. Dada ini berdegup kencang. Rasanya sesak, tatkala terdengar suara mertuaku menyebut tentang pernikahan. Tuhan ... apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa Mama, menyebut kata tersebut. Hatiku terus bergemuruh dan bertanya.

Mataku tertuju pada seorang perempuan muda. Wajahnya penuh make-up. Memakai dres mini beserta belahan dada yang menantang. Matanya terus saja memandang suamiku dengan pandangan nakal. Dari ujung rambut hingga kebawah dia pandangi. Mas Angga sesekali membenarkan duduknya. Sikapnya dingin. Kadang bermain ponsel.

Terlihat Mama terus saja memberi ruang wanita tersebut mendekat. Aku hanya bisa mengelus dada. Menguatkan hati agar bisa mengontrol emosi. Sebagai wanita dan istri harus bisa menjaga Marwah. Walau rasa cemburu terus saja mengusahi dada.

Tenang, aku harus bertahan. Namamu Kinanti Maha Dewi. Sisi kebaikan hati berbisik Arti namaku konon keagungan seorang dewi. Orang tua mengajarkan arti kesabaran. Agar kelak bisa menjaga kehormatannya melalui tutur kata dan sikap sabar. Walau mungkin ini akan membuatku terus berusaha melawan bisikan hati yang lain.

Ingin rasanya aku mendekat, berbaur dengan mereka. Namun, pasti Mama akan marah besar. Tidak tahan melihat dan mendengar percakapan mereka, lebih baik aku putar balik menuju kamar. Secepatnya masuk kamar dan menumpahkan segala keluh kesah yang ada.

Beberapa saat terdengar suara handle pintu terbuka. Aku segera menyeka air mata memakai ujung kerudung. 

“Sayang.” 

Aku berbalik, memberikan senyuman terindah untuk suami tercinta. Dialah hidup dan harapanku. Sumber kekuatan untuk bertahan di sangkar emas ini. 

“Tamunya sudah pulang ya, Mas?”

“Sudah, nggak usah bahas tamu yang nggak penting. Mending bahas kita berdua.”

Aku terdiam sesaat, hanya memandangnya. Melihat wajah, seutas senyum yang selalu menghiasi bibirnya. Mas Angga mendekatiku. Aku yang duduk di pinggir ranjang bergeser sedikit, memberikan dia tempat. Tangannya merengkuh tubuh ini. Tangan satunya mengelus rambutku.

“Mas, alangkah baiknya kita pindah saja. Aku ingin menata hidup di rumah kita sendiri. Kontrak juga nggak masalah.”

“Sayang, kamu ini bicara apa? Kalau kita pindah bagaimana dengan Mama?”

“Mas ... aku tidak pernah melarang kamu merawat dan menjaga Mama, tapi semakin hari aku tidak sanggup mendengar makian Mama.”

Ada kaca di mata ini, semakin lama meleh juga membasahi pipi. Dada ini juga rasanya sesak ketika mendengar umpatan Mama. Setegar-tegarnya wanita, hatinya akan hancur saat buah hati dipertanyakan, tapi tak kunjung datang.

Mama, apakah tidak ada sedikit saja rasa bersalah? Hingga terus saja umpatan demi umpatan itu keluar dari mulutnya. Aku ini menantumu, bagian tulang rusuk anakmu tercinta. Semakin mengingat, air mata makin deras mengalir.

“Sayang ... jangan bersedih, masih ada suamimu yang selalu di sini,” ucapnya sambil tangannya menyeka air mata ini.

Aku tak sanggup lagi bertahan dalam makian. Sudah cukup lima tahun aku mendapatkan hinaan. Aku harus bertindak. Diam ternyata tidak mendapat solusi terbaik.

Aku beranjak dari ranjang. Mengambil koper di atas lemari. Segera mengemasi pakaian beberapa potong untuk kubawa pergi.

“Sayang, apa-apaan ini? Kamu mau kemana?”

“Aku lelah, Mas, ijinkan aku pergi. Terserah, Mas mau ikut apa di sini. Yang jelas aku sudah ingin menata hidup kita.”

Tangan ini sibuk menata baju. Mas Angga sibuk membujuk. Aku hanya terdiam saja. Meneruskan kegiatan mengisi koper.

“Dengarkan aku, sayang. Please! Kamu adalah separuh nyawaku. Tolong Sayang, jangan tinggalkan rumah ini.”

“Ini rumah Mama, aku tidak berhak di sini. Kalau Mas mau ikut silakan, tetap bertahan juga itu hak Mas.”

Aku melangkah pergi, menenteng koper. Aku memutuskan pergi jauh dari rumah ini. Mas Angga mencegah. Kekasihku itu memohon. Namun, hati ini sudah terlalu banyak sayatan luka. Mungkin pergi adalah jalan terbaik. Walau resikonya harus berpisah dengan Mas Angga.

“Oke! Aku akan ikut bersamamu. Besok kita pindah rumah. Biar aku cari kontrakan untuk sementara waktu. Letakkan kopermu.”

Langkahku terhenti. Mas Angga mengambil koper yang kutenteng. Membimbing masuk kamar kembali. Aku hanya bisa sesenggukan dalam dekapannya. Mencurahkan semua luka yang ada. Wanita mana yang tidak sakit hati. Sudah dihina mertuanya sendiri, kini lelakinya akan menikah dengan perempuan lain. Malam ini sulit rasanya mata terpejam. Hingga dini hari aku belum bisa tidur. 

Pukul 03.00 WIB aku beranjak dari ranjang, mengambil air wudhu. Berserah diri pada Allah. Mengadukan semua cerita hidup ini. Hanya Allah lah tempat curhat terbaik. Maha pembolak balikkan hati.

Tidak kuduga ternyata Mas Angga mengabarkan Mama merestui keinginan kami. Entahlah apa karena Allah menjawab doa-doaku selama ini, mertuaku jadi luluh atau mungkin ada sesuatu. Tidak jadi masalah yang penting kami bisa mandiri menata hidup baru tanpa bayang-bayang mertua.

Aku dengan semangat berkemas. Mempersiapkan segala sesuatu untuk pindahan. Tidak banyak barang yang kami bawa. Hanya beberapa baju ganti saja. Rumah dinas itu sudah di sediakan fasilitas lengkap. Kami hanya menempati saja. Bersyukur karena posisi jabatan Mas Angga lumayan jadi memudahkan kami mendapatkan semua itu.

“Ayo, Sayang, sudah siap semua?” Mas Angga mendekatiku yang masih sibuk dengan barang bawaan.

“Bentar honey, aku pastikan dulu supaya nggak ada yang tertinggal.”

“Sudahlah Sayang, nanti keburu siang panas. Perjalanan kita juga lumayan jauh ini. Kalau ketinggalan bisa kita beli lagi.”

Mas Angga membantu membawakan koper kami. Sebelum meninggalkan kamar yang membawa banyak kenangan ini, tempat kita diskusi dan juga menumpahkan segala rasa cinta. Kami berpelukan menatap langit-langit kamar. Mengamati sekeliling dengan seksama.

Saatnya kita melangkah keluar kamar, bertemu mama dan pamitan. Aku mencium tangan Mama, berpelukan. Mas Angga juga sambil memberi tahu Mama jika ada apa-apa jangan segan telepon. Dia juga berbicara setiap akhir pekan kami akan menginap di sini mengunjungi Mama.

Bagaimana pun Mama tetap mertuaku, yang selalu aku hormati. Walau perkataannya setajam pisau yang menghunus, tapi Mama pernah juga menyayangiku, dulu. Jadi kewajibanku untuk mengingatkan juga keperluan dia, selagi kini kami tidak bersama beliau lagi.

***

Hatiku bahagia ketika melangkah keluar dari rumah mertua. Udara di sekeliling menjadi begitu segar walau aslinya panas terik. Siang ini kami tersenyum bahagia. Akhirnya bisa hidup mandiri tanpa bayang-bayang Mama. Mobil Pajero putih suamiku melaju lewat tol. Aku bersender di pundak suami yang fokus menyetir. Sesekali dia memandangku dengan senyuman. Kecupan mesra mendarat di kening. Tangannya kiri mengengam tanganku erat.

Perjalanan dari Kota Salatiga menuju Semarang hanya satu jam perjalanan lewat tol. Apalagi tol lenggang hari ini. Kami menuju rumah dinas kantor Mas Angga. Berada di kawasan elit Bukit Sari. 

Mas Angga memang lelaki yang baik. Dia selalu mengasihi. Kini dia juga menuruti permintaanku. Allah telah memberi lelaki yang baik sebagai jodohku. Hanya mungkin titipan buah cinta kami masih tertunda. Kami hanya bisa berusaha dan berdoa. Semoga dengan pindah Allah memberikan anugerah seorang anak kepada kami berdua. Getir jika mengingat perkataan Mama saat minta cucu. Apalagi ketika meminta Mas Angga untuk menikah lagi.

Sepanjang perjalanan lewat tol, aku hanya melihat pemandangan sekeliling. Hanya ada batu-batu padas yang menjulang. Dari jauh terlihat hamparan laut. Langit cerah jadi Tanjung mas bisa terlihat dari tol.

Memoriku bergerak mundur kemasa pertemuan kami yang pertama. Waktu itu kami masih sama-sama kuliah di Universitas Diponegoro. Patung kuda yang ada di areal kampus menjadi saksi di mana seorang Erlangga Arya Pradana bertemu Kinanti Putri. Seorang Perempuan lugu, tidak punya teman geng sebab saat itu dia fokus kuliah dan kerja.

Aku semyum-senyum sendiri mengingat kejadian itu ketika mobil kami melewati Tol Undip. Sungguh kenangan itu masih membekas sampai kini. Kota Semarang kini makin bagus. Sungguh aku rindu. Kalau Mas Angga sih sudah setiap hari lewat karena dia kerja laju dari Salatiga.

“Sayang, kok senyum-senyum. Hayo mikirin apa?” canda suamiku tercinta sambil mencium pipiku. Kebiasaan Mas Angga selalu mesra sama istrinya, walau saat menyetir.

“Rahasia!” Godaku sambil membalas ciumannya.

“Begitu, ya? Awas kalau sampai rumah entar. Nggak akan aku biarkan kamu lepas!”

“Ha ha ha ha.” Kami tertawa bareng.

Begitulah kami, akan ada kebahagiaan yang terselip walau pedih kami rasa. Mungkin keromantisan itu yang membuat wanita lain iri. Rasa sayangnya tidak berkurang, masih sama saat masih pacaran. Malah bertambah saat menjadi istrinya. Kadang Mama juga cemburu jika lelakiku memperlakukan istrinya dengan sempurna.

Ketika kami keluar Tol, mobil terus berjalan hingga melewati kedai bakso Pak Krebo. Aku menyuruh mobil berhenti.

“Mas, mampir ke Bakso Pak Krebo dong, kangen nih,” bujukku padanya. 

“Siap, Sayang.” Langsung saja Mas Angga pasang sen ke kiri. Mobil segera menepi, mencari parkir dekat warung bakso tersebut. 

Inilah tempat kenangan kita berdua. Mas Angga selalu mengajakku makan siang di sini. Bakso adalah kegemaran kami berdua. Jadi begitu menemukan warung bakso yang enak, akan menjadi tempat favorit.

“Bakso dua ya, Pak!”

“Eh Mas Angga sama Mbak kinanti. Sudah lama ya nggak kemari,” ucap pemilik warung bakso tersebut.

“Wah, Bapak masih ingat saja dengan kami.”

“Yo pasti ingat, Mas. Setiap hari jajan kok, sudah lengganan. Es jeruk sama es teh tawar minumnya, ya?”

“Betul, Pak.”

“Monggo pinarak,”( silahkan duduk) ucap Pak Krebo mempersilahkan kami duduk.

Siang begini memang warung baksonya rame. Banyak pengunjung yang makan siang di sini. Kami memilih duduk agak pojok. Pandanganku mengedar, memperhatikan utuh tempat ini. Warung bakso langgananku ini sekarang semakin besar. Dulu hanya ada lima bangku panjang berhadapan dengan meja di tengah. Namun kini, sudah ala resto. Ruangan juga sudah ada kipas yang menempel di dinding beberapa buah. Selain itu tembok juga sudah di cat warna pastel beserta walpaper bunga kecil. Semakin nyaman untuk pelanggan.

Hari ini kami mengulang kembali kebahagian lima tahun silam. Kebahagian yang bertambah sempurna ketika Mas Angga beserta keluarganya datang melamarku. Aku yang berasal dari sebuah desa, dilamar anak orang kaya dari Kota Salatiga. 

“Yuk, Sayang, kita lanjutkan perjalanan menuju rumah baru kita,” ajak Mas Angga sambil menggadeng tanganku erat menuju mobil setelah kami selesai makan. Aku mengiringi jalannya. 

Mobil kami melaju menuju Bukit Sari. Sampai di depan gerbang komplek sudah ada satpam yang menjaga. Setelah berbicara sebentar mobil kami di ijinkan masuk. Deretan rumah besar berpagar tinggi bak sinetron kami lewati. Hingga berhentilah pada sebuah rumah besar nomor 7A.

Rumah bergerbang hitam tinggi itulah yang nanti akan kami tinggali berdua. Iya hanya berdua saja tanpa Mama. Ada satu tukang kebun dan pembantu dari dinas untuk menjaga rumah.

“Silahkan masuk, Pak,” ucap wanita separo baya yang membukakan pintu. Dia memperkenalkan diri sebagai penjaga rumah sementara sampai kami datang. Namanya Mbok Nem.

Kami masuk melihat semua seisi ruangan. Rumah ini memang cukup besar. Dengan halaman yang cukup luas juga. Kelihatan asri, ada pohon mangga dan beberapa bunga. Ada juga kolam renang kecil di taman belakang. Cukuplah buat berenang berdua. Selain Mbok Nem ada juga Pak Gimin bagian bersih-bersih kebun. Mereka berdua yang nanti akan membantu beberes. Datang pagi pulang sore.

***

“Hayo, mau ngumpet di mana lagi, Sayang?” Mas Angga menggoda dengan mengejarku. Aku berlari mencari tempat sembunyi.

“Sayang ... kamu di mana? Hayo keluar, awas kalau ketemu.”

Aku masih terdiam di pojokan, sembunyi. Sungguh bahagianya hatiku menikmati masa-masa indah ini. Saat aku masih terbengong, Mas Angga menemukan persembunyianku. Dia menggendongku menuju kamar.

“Mas, ampun. Ih kayak anak kecil tahu, lepas Mas, ”

“Sudah jangan cerewet, nggak ada siapa-siapa juga.”

“Malu, Mas!” rajukku.

“Ah … sepi saja malu.”

Mas Angga semakin erat menempelkan wajahnya hingga tak berjarak. Kami tertawa cekikikan bersama kemudian pintu kamar terkunci rapat.