Try new experience
with our app

INSTALL

Different 

Part 2

Siang ini tepat jam makan siang, Andin berjalan memasuki gedung PT Aldebaran Sejahtera. Tentu saja untuk bertemu dengan suaminya. Setibanya Andin langsung menuju ke ruangan suaminya yang sudah ia hafal arahnya.


 

Ketika sampai di ruangan yang dituju, Andin melihat suaminya sedang duduk di sofa dan matanya serius menatap laptop dengan beberapa berkas berantakan di meja sofanya.


 

Al bahkan tidak menyadari kehadiran Andin sebelum namanya dipanggil.


 

“Mas” Al yang mendengar suara itu langsung mengalihkan pandangannya.


 

“Andin, ngapain?”


 

“Bawain makan siang, yang tadi pagi di makan?”


 

Al menggeser duduknya, memberikan Andin tempat duduk di sebelahnya.


 

“Abis, itu tempatnya.” Al menunjuk sebuah paper bag di atas sebuah nakas kecil di samping sofa.


 

Andin tersenyum dan duduk di tempat yang sudah diberikan oleh suaminya. Kemudian Andin menata berkas yang berantakan di meja Al agar lebih beraturan, setelah itu mulai mengeluarkan tupperware berisi makan siang yang ia bawakan untuk Al.


 

“Belum makan kan?” tanya Andin pada suaminya yang sudah kembali fokus pada laptopnya.


 

“Belum.” Al menjawab singkat tanpa mengalihkan pandangan pada istrinya.


 

Andin diam, memperhatikan suaminya dan menunggu suaminya menyentuh makanan yang ia bawa tapi itu tidak kunjung terjadi. Suaminya sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari laptopnya. Sampai Andin berinisiatif untuk menyuapi suaminya, ia takut suaminya itu sakit jika terlambat makan terus. Setiap hari dia pasti kayak gini, pikir Andin.


 

Al menengok sebentar kepada Andin ketika melihat satu sendok makanan terapung di depan mulutnya, kemudian tanpa ragu langsung membuka mulut dan memakannya.


 

“Tiap hari kamu gini ya?” tanya Andin di sela-sela kegiatannya.


 

Al hanya menjawab dengan anggukan.


 

Andin terus menyuapi Al sampai makanannya habis, kini Andin bangun untuk mengambil air minum di meja kerja Al yang jarang di tempatinya itu, Al lebih suka bekerja di sofanya. Kemudian memberikan gelasnya kepada Al, setelah itu kembali menaruh gelas kosongnya di tempat semula.

Andin duduk lagi di samping Al.


 

“Kok habis meeting ngga pulang sih? Kan biasanya kalau Minggu kerja di rumah.” Tanya Andin pada suaminya.


 

“Nanggung, Ndin. Udah sekalian di kantor juga.”


 

Andin tidak menjawab, ia ikut melirik MacBook suaminya, penasaran apa yang sedang dibacanya.


 

“Budgeting?” tanya Andin setelah melihat banyak angka berderet dengan nilai miliaran rupiah.


 

“Iya, rincian pembangunan gedung baru.” Al menjawab seadanya, menghindari kehilangan fokusnya, karena ini sesuatu yang perlu ketelitian.


 

Al memang memilik tim yang luar biasa di kantornya, semua divisi tidak main-main hasil kerjanya. Tapi Al selalu memeriksa semuanya sebelum menandatangani apapun itu, karena sehebat apapun timnya, selama itu manusia, masih ada kemungkinan keliru atau kesalahan.


 

“Kita udah lama ga ke makam papa kamu bareng, kamu temenin aku ya? Sekalian temenin cari bunga.” Andin mengajak Al ke makam papanya, dulu mereka selalu ke sana bersama setiap minggu dan membawakan bunga indah dengan jenis berbeda setiap minggunya.


 

“Kamu liat kan pekerjaan saya sebanyak ini, saya belum sempat Ndin.”

Al menolak ajakan Andin, selalu seperti ini. Setiap hari Minggu, Andin selalu berusaha mengajak Al berkunjung ke makam papa mertuanya itu tapi 4 bulan terakhir, saat PT Aldebaran Sejahtera mulai menyiapkan beberapa proyek barunya, jawaban Al selalu sama. Jujur di dalam hatinya Andin kecewa, tapi ia selalu berusaha bersikap biasa.


 

“Ngga bisa nanti dulu, mas? Kan cuma sebentar, udah lama loh kamu ga ke sana.” Andin mencoba lagi dengan nada sedikit memohon, berharap suaminya ikut kali ini.


 

“Lebih cepat selesai, lebih baik Ndin. Kamu kok jadi egois gini sih?” Al sedikit kesal karena ia merasa dipaksa, padahal Andin sama sekali tidak menggunakan nada paksaan justru dengan nada selembut dan serendah mungkin.


 

“Oke, next time ya. Kali ini aku sendiri dulu lagi aja. Aku berangkat ya, takut kesorean nanti pulangnya.” Andin menjawab tetap dengan cerianya dan semangatnya.


 

Al hanya menatap Andin sekilas dan mengangguk. Andin mengambil tangan kanan Al yang sedang menggerakan kursor di MacBook untuk menciumnya.


 

Setelah itu Andin berdiri untuk meninggalkan ruangan suaminya, membawa dua paper bag bekas sarapan dan makan siang suaminya.


 

“Jangan pulang malam-malam, aku tunggu di rumah. See you.” Pesan Andin sebelum benar-benar meninggalkan Aldebaran.


 

Al hanya menengok sebentar tanpa menjawab sepatah katapun, setelah itu kembali berkutat dengan pekerjaannya.


 

..


 

Malam ini Andin menunggu Al pulang di meja makan, karena setiap hendak ke kantor dan pulang dari kantor Al pasti akan ke sana untuk meminum air putih. Andin sudah memasak beberapa menu lagi malam ini, menu yang berbeda dengan yang tadi pagi agar Al tidak bosan. Tapi sudah jam 7 malam, Al belum juga pulang. Andin bahkan belum makan malam karena menunggu suaminya. Ini hari Minggu, apakah harus pulang malam juga?


 

Jam 8.


 

Jam 9.


 

Andin mengangkat handphonenya, mencari balasan pesan dari suaminya tapi tidak ada. Akhirnya Andin ketiduran di meja makan.


 

Jam 10.10


 

Al akhirnya pulang, Andin yang mendengar langkah kaki Al mendekat langsung bangun dari tidurnya.


 

“Mas, baru pulang? Ini aku udah masak buat makan malam, tapi udah agak dingin karena dari tadi. Aku panasin sebentar ya.” Andin langsung grasak grusuk bangun dari duduknya dan akan mengangkat makanan ke dapur untuk di panaskan.


 

“Ngga usah, saya udah makan di luar tadi. Mau langsung istirahat aja, capek banget habis liat produk baru Maharatu di pabrik.” Jawab Al setelah menegak air minumnya dan langsung pergi ke kamarnya, meninggalkan Andin yang kembali duduk di kursinya tadi.


 

Andin tersenyum dengan air mata menetes, tapi Andin langsung menghapusnya. Ia memutuskan untuk makan sendirian, ia belum makan karena berpikir akan makan malam bersama suaminya tadi.


 

Setelah makan malamnya selesai dan Andin sudah membereskan meja makan, karena Kiki sudah tidur, Andin masuk ke kamarnya.


 

Ia melihat suaminya sudah tertidur membelakanginya. Andin mulai membaringkan tubuhnya dan masuk ke dalam selimut yang sama dengan suaminya. Andin menatap punggung suaminya dan air matanya kembali menetes, tidak kuat menahan tangis akhirnya Andin membalikan tubuhnya untuk membelakangi suaminya juga, ia membungkam mulutnya sendiri agar suara tangisnya tidak di dengar oleh Al dan mengganggu tidur suaminya itu.


 

Andin mencintai suaminya, semua yang ia lakukan tentu saja dengan ketulusan. Tapi harus diakui ia juga lelah, lelah berpura-pura. Kali ini ia tidak bisa lagi membendung semuanya dan berpura-pura baik-baik saja, ia merindukan Aldebaran yang dulu, Andin tau pekerjaan suaminya, ia mencoba mengerti semuanya selama 4 bulan belakangan ini, tapi Andin merasa kehilangan sosok Aldebaran.Aldebaran sibuk dengan semua pekerjaannya, dengan beberapa proyek barunya, membuat Al bersikap acuh tak acuh pada istrinya.

Al berpikir toh dia bekerja keras juga untuk keluarganya, untuk istrinya, untuk anak-anak mereka nanti. Ia berharap Andin mengerti dan menurut Al memang Andin seharusnya bisa mengerti. Tapi tanpa disadari Al sudah kehilangan rasa hormat pada istrinya, ia sudah tidak menghargai keberadaan Andin dan semua yang Andin lakukan. Tidak ada lagi momen manis, kecup kening, pesan manis, dan perhatian-perhatian sederhana Al untuk Andin.

 

 

 

 

To be continue..