Try new experience
with our app

INSTALL

Tuhan Kau Cinta 

Air Mata Kesedihanmu = Air mata Kesedihanku

  Tak seperti biasanya, belakangan ini, bibirmu yang manis itu tak banyak mengeluarkan kata. Diam. Terpaku di depan laptop. Sebagai pengamatmu, aku tahu, ada sesuatu yang terjadi pada dirimu. Biasanya, koridor kantor akan selalu ramai dengan celotehanmu, dengan nada suaramu yang memiliki oktaf tinggi jika sudah berkata-kata dan tertawa.


  Sebagai pencintamu, eh bukan, sebagai pengamatmu saja, aku tidak mau dikatakan gombal jika aku memakai diksi sebagai pencintamu. Oke lanjut ya, ke topik cerita. Aku berusaha mencari tahu sesuatu hal yang membuatmu berubah. Aku mulai bertanya kepada teman dekatmu. Aku berusaha sebisa mungkin menyusun pertanyaan untuk menghindari kecurigaan kalau aku menaruh perhatian padamu. 


  Dan betapa hatiku ikut larut dalam kesedihan ketika aku tahu engkau sedang patah hati. Aku memang tahu kalau engkau menyukai seorang pria yang sering datang ke kantor kita. Terkadang kamu berusaha cari cara setengah mati untuk bisa bertemu dengannya atau minimal melihatnya saat sedang datang ke kantor. Hingga akhirnya kini kamu bisa dekat dengannya dan sering menghabiskan waktu dengannya.


  Cemburu? Aku hanya bisa tersenyum jika dikatakan seperti itu. Ketika engkau tersenyum karenanya aku sudah bahagia. Karena belum tentu bersamaku engkau akan tersenyum seperti itu. 


  Kini seakan senyuman itu hilang. Wajahmu seakan langit yang gelap. Mendung. Air mata itu mungkin kau tahan. Kau takkan biarkan itu terjatuh di tempat seperti ini. Mungkin air mata itu tumpah ruah di seprai bantalmu. Seprai kasurmu. Atau boneka-boneka kesayanganmu yang engkau pajang berjejer di kasurmu.


  Untuk itulah, di malam ini aku datang ke rumahmu. Aku membawakan segelas kopi kesukaanmu. Aku tahu ini kopi kesukaanmu karena aku suka melihat merk kopi ini di meja kerjamu. Aku tahu ini rasa kesukaanmu karena engkau senang berteriak-teriak kepada yang lainnya kalau ini adalah kopi kesukaanmu. Engkau tidak pernah rela sedikitpun berbagi. Meski mungkin setetes. 


  Aku tidak tahu apakah kopi ini mujarab walaupun hanya sedikit sebagai obat hatimu. Membuat garis senyuman walau tipis di wajahmu. Kecemasanku akan kesedihanmu yang akhirnya memaksakan diriku untuk melangkah ke rumahmu. Tapi kini aku bingung, bagaimana kopi ini untuk bisa sampai kepadamu? 


  Bodoh. Aku memang bodoh. Berusaha memaksakan diriku untuk berani mengantarkan kopi ini kepadamu. Kamu tahu kan? Aku orang yang seperti terkena sindrom gugup akut ketika berada di depanmu. Kapan aku pernah berani lama berbicara denganmu? Kapan aku pernah berani bercanda denganmu? Aku tak pernah kuasa. 


  Hingga akhirnya mau tidak mau aku mengeluarkan HP ku. Aku memesan kopi kembali. Tetapi kali ini kopi kesukaanku. Aku tulis alamat dengan alamat rumahmu. Aku pun menunggu. Sambil sesekali aku melihat jendela kamarmu yang sedikit terbuka. Semoga engkau tidak melihat aku yang sedang bersembunyi pengecut di warung depan rumahmu. 


  Sambil menunggu jasa online yang mengantarkan kopiku, aku sibuk memainkan catur yang disediakan oleh warung depan rumahmu. Permainan catur yang berjalan tentu semuanya di bawah kendaliku. Aku memainkan permainan ini seorang diri. Bidak hitam dan bidak putih, dua-duanya aku yang jalankan. Andaikan bidak hitam ini perasaanku dan bidak putih itu perasaanmu tentu akan kubuat tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Seri. Aku mengartikan seri itu berarti kita sama-sama cinta. Tidak ada perasaan yang berkorban atau mengalah. Kita sama-sama saling menerima dengan kekurangan masing-masing.


  Tapi nampaknya hal itu hanya dapat kubayangkan tidak berani kuungkapkan padamu. Terdengar bunyi mesin motor. Pesanan kopiku sudah tiba. Aku tersenyum. Aku hampiri pengantar kopiku. Jangan sampai pengantar kopi ini lebih dahulu masuk ke dalam rumahmu. Aku bayar dan kemudian aku tukar kopi tersebut. Si pengantar nampak  bingung. Aku berbisik pelan padanya. Pengantar kopi itu tersenyum. Ia pun melangkah masuk ke dalam rumahmu. Sementara aku si pecundang kembali ke dalam warung. 


  Aku kembali sebagai pengamat. Nampak engkau yang kebingungan di depan pintu menerima kopi dari sang pengantar. Tetapi bersyukurnya, kamu masih mau menerima kopi pemberianku. Eh, maaf lupa, kamu tidak tahu kalau kopi itu dariku. Ketika aku merasa tugasku sudah selesai semua. Aku hendak menyalakan motorku, tiba-tiba tetes-tetes air hujan bergantian membasahi kepalaku. Kepalaku menengadah ke langit. Gelap. Bintang-bintang tak ada. Pertanda hujan turun. 


  Aku pun kembali masuk ke dalam warung depan rumahmu. Nampak aku tersipu malu kepada pemilik warung depan rumahmu tersebut. Namun, dia pun maklum. Dia tahu maksudku kembali untuk berteduh. Seandainya aku berani, mungkin aku berteduh di rumahmu. Tapi sudahlah, aku pun menusukkan sedotan ke dalam kopiku. Aku seruput kopi dingin itu meski dalam suasana hujan. 


  Ketika aku terduduk, terhenyak dalam larutan cairan kopi yang nikmat, aku terkaget ketika engkau keluar dari kamarmu. Engkau pun berdiri di balkon kamarmu. Engkau sengaja membiarkan air hujan menerpa dirimu. Beberapa rambutmu terkibas oleh kencangnya angin. Sebagian rambutmu juga sudah basah tersapu oleh air hujan. Nampak engkau kini merentangkan kedua tanganmu. Satu tanganmu memegang gelas kopi yang kukasih padamu. Kepalamu menengadah ke atas. Tak berapa lama kepalamu kini beranjak ke depan. Menatap ke depan. Engkau tak kuasa menahan air mata itu. Air matamu tumpah bersama dengan air hujan. 


  Dan aku pun bersedih. Seakan aku bisa merasakan betapa sakit hatinya engkau melihat laki-laki itu bersama perempuan yang dia pilih. Engkau tak dipilih. Aku ikut merasakan sakit. Entahlah. Mungkin pada umumnya, aku harusnya bahagia. Aku masih punya kesempatan untuk mendapatkanmu. Tetapi aku tidak yakin dengan diriku sendiri. Bukan aku tidak yakin aku bisa membahagiakanmu. Bukan aku tidak yakin aku bisa membuat tawa dan suka dalam hidupmu. Tapi aku tidak yakin jika engkau bahagia dengan yang aku lakukan itu?


  Maafkan aku. Maafkan. Aku yang masih menjadi pengecut. Aku yang masih menjadi lelaki yang tak berani menghapus air matamu. Aku mencintaimu dari awal ku melihatmu. BREEEEEK. Kata-kata itu terucap bersamaan dengan gelas kopi yang aku remukkan. Seolah aku kesal itu tidak bisa aku ucapkan padamu.