Contents
Tuhan Kau Cinta
Kunci Jawaban Sujudku = Kamu
Kamu keluar dari pintu rumahmu. Derap langkah kakimu menuju ke pintu gerbang. Aku berusaha menyingkirkan wajahku. Aku khawatir terlihat oleh dirimu. Kini, tangan putih mulusmu dengan gesit mengunci pintu gerbang. Kamu pun pergi meninggalkan rumahmu. Kini, giliran aku yang beranjak berdiri. Aku si pengecut yang hanya berani menunggu di warung depan rumahmu.
Aku meloncati pagar rumahmu, aku berteriak memanggil “Arusa… Arusa..”. Seekor kucing lucu berwarna coklat langsung terlihat gesit menuruni anak tangga. Aku tersenyum. Aku jongkok. Aku mengelus-ngelus kepala Arusa. Arusa nampak manja padaku. Andaikan ini kamu. Tentu aku akan lebih mengelus kepalamu. Dan aku berjanji air matamu jangan terlalu banyak tumpah untuk hal-hal yang tidak perlu. Tetapi sekali lagi itu hanya bayangan dan harapanku.
Aku mengeluarkan makanan kesukaan Arusa dari balik kantong celanaku. Aku taruh makanan itu di halaman rumput rumahmu. Arusa nampak lahap memakannya. Aku kembali mengelus kepala Arusa. Arusa nama yang aku ambil dari gabungan nama aku dan kamu. Aku dan kamu sama-sama pecinta dan penyayang kucing. Dulu, aku punya kucing kesayangan yang keluargaku beri nama Barokah. Kata ayahku artinya semoga kucing itu membawa berkah dan rezeki bagi keluargaku karena keluargaku sudah merawat dan memberi makan kucing itu.
Barokah hampir sama persis dengan Arusa. Dari warna bulunya, bentuk matanya, hanya saja bulu Arusa nampak lebih lebat dari Barokah. Aku bisa tahu dan mengenal Arusa dari postingan-postingan kamu. Di situ aku bisa menyimpulkan kalau kamu juga adalah seorang penyayang dan pencinta kucing. Oh iya, sebelum lupa, Arusa adalah pemberian nama dariku. Sebenarnya aku tahu nama asli kucing ini alias nama pemberian dari majikan aslinya yaitu kamu. Tetapi dalam cerita ini sepertinya aku tidak perlu menuliskan siapa namanya. Aku ingin pembaca hanya tahu kucing ini bernama Arusa. Gabungan nama aku dan kamu.
Handphoneku berdering. Sebuah telepon masuk. Ternyata itu dari kamu. Aku angkat telepon. Kamu menanyakan diriku kenapa aku belum sampai kantor. Aku bilang masih di jalan. Dan sebentar lagi aku akan sampai. Kamu menyampaikan pesan bahwa aku sudah ditunggu oleh Ibu Rendra di rumahnya. Ibu Rendra hanya mau didatangi olehku. Kamu pun sempat menggodaku kalau aku lebih baik jadi suami ibu Rendra. Hidupku akan terjamin. Betapa semua orang kantor sudah tahu kalau aku menjadi incaran ibu Rendra. Bos ku pun hanya tersenyum. Bagaimanapun ibu Rendra adalah klien lama dan penting kantor.
Aku hanya tertawa ketika engkau mengatakan seperti itu. Entahlah. Sujudku selalu mengarahkan aku ke rumahmu. Doa-doaku pada Tuhan selalu berwujudkan bayangan wajahmu. Haruskah aku mengingkari hati dan berkhianat pada Tuhan jika aku harus mengiyakan bersama dengan ibu Rendra? .
Godaanmu ini sama persis dengan yang dilakukan oleh teman-teman kampusku dan juga keluargaku. Aku menceritakan engkau apa adanya. Teman-temanku menyangka kalau aku sedang dibutakan oleh cinta. Aku orang yang selalu melihat perempuan dari agamanya tetapi kini aku malah menjatuhkan hati dan rasaku padamu.
Aku bercerita engkau yang akrab dengan minuman-minuman beralkohol. Engkau yang hanya menjadikan mukena dan sajadah lebih banyak sebagai pemanis meja kerjamu. Dan engkau yang tidak mau kalau disebut sebagai perempuan yang baik. Engkau selalu mengatakan kalau kamu itu orang jahat. Dan aku hanya tertawa.
Aku menceritakan semua tentangmu bukan aku bermaksud membuka aibmu. Kalaupun itu aibmu, aku tetap akan bangga. Aku tidak malu. Mungkin bagi sebagian orang menganggapku aku sedang dibutakan oleh cinta. Aku pun sempat mempertanyakan itu kepada diriku sendiri. Tetapi kemudian aku mendatangi sang pemilik hati ini. Orang yang paling bertanggung jawab terhadap urusan hati, membolak-balikkan hati yaitu Tuhan. Dan seperti paragraf sebelumnya yang aku ceritakan kunci jawabannya masih kamu.
Pernah suatu waktu aku duduk termenung di 1/3 malam. Aku mempertanyakan segala isi hati dan perasaan. Tuhan seolah-olah mengajak aku untuk kembali mendengar kata-kata yang pernah kamu ucapkan. Dulu aku tahu kalau kamu membenci seorang teman kantor karena dia perempuan yang selingkuh dengan teman satu kantor. Dua orang ini mengkhianati pasangan masing-masing. Aku pun berpikir, jika kamu bukan perempuan baik-baik? Kenapa kamu perduli sekali dengan hal ini. Aku tersenyum. Kamu memang perempuan baik. Jika kamu sudah mengikat cinta nanti, kamu tentu tidak akan melakukan perbuatan ini karena ini perbuatan yang kamu kutuk.
Aku pun pernah mendengar tak secara sengaja, kamu yang melarang teman mu yang ingin pergi ke luar negeri menemui seseorang lelaki di sana. Aku masih ingat kata-katamu, “kalau dia memang laki-laki yang baik-baik, kenapa dia enggak mau kalau kamu pergi berdua bersama saudaramu? Mengapa laki-laki itu minta kamu pergi sendiri.” Aku yang sedang berjalan mendengar itu hanya tersenyum. Mungkin ini alasan Tuhan membuat aku tetap menaruh hati padamu. Karena aku tahu sebenarnya kamu memang perempuan yang baik.
“Halo.. Halo..” suaramu terdengar di ujung telepon. Aku langsung tersadar dari gumulan pikiranku yang asyik sendiri tentangmu. Seperti biasa, kamu yang selalu “jutek” padaku memintaku untuk cepat menemui ibu Rendra. Aku pun menjawab iya. Aku menaruh handphone ku kembali ke dalam saku jaket yang aku kenakan. Aku mengelus kepala Arusa sebagai tanda aku pamit hari ini. Aku meloncati kembali pagar rumahmu. Aku pandangi rumahmu. Tiba-tiba Arusa melihat kepadaku dari arah balik pagar rumahmu. Mungkin Arusa merasa kasihan padaku karena aku tidak berani menemuimu. Aku hanya berani menemui kucing kesayanganmu. Rasa sayang padaku, hanya aku berani tunjukkan kepada kucing kesayanganmu. Atau mungkin Arusa mendoakan aku semoga aku dikasih keberanian lebih untuk minimal bisa mengajakmu untuk mengobrol berdua. Terima kasih untuk doanya Arusa.