Try new experience
with our app

INSTALL

Kasih Tak Sampai 

Kasih Tak Sampai

“Pernahkah kau menyesali sesuatu? Mengenang dan berharap masa itu bisa terulang kembali. Walau kau tahu waktu tlah berganti”

Anaya masih duduk melamun di meja kerjanya. Pandangannya menatapi hujan yang membasahi jendela. Ditemani secangkir teh hangat, ia seakan larut dalam suasana kala itu. 

- BUAH MANGGA -

Bali, Februari 1997 

  Aku Anaya Putri Sandatya, seorang gadis bungsu dari dua bersaudara. Kini aku telah memasuki bangku SMA. Namun, tetap saja masih manja dan susah bergaul karena sikap pemalu ku ini. Kakakku, Agas, ia baru saja masuk perguruan tinggi jurusan Ilmu Biologi. Memang sejak SMP dulu ia selalu saja tertarik dengan segala hal-hal yang berbau biologi, termasuk mempraktekan teknik mencangkok bunga hingga buah. Semua ia jelajahi karena rasa penasarannya itu. Sementara aku ya hanya mengikut saja. Tiba saatnya sore ini ia memanen buah mangga yang telah dicangkoknya dari berbulan-bulan lalu. Tak sabar rasanya ku mencobanya. Agas tidak sendiri. Ada Lastri, dan Kurnia teman kecilnya yang selalu tertarik dengan segala macam percobaan kakakku yang satu ini. 

 

“Ambilkan bambu di dekat pagar, Ana” sahutnya dari kebun belakang. 

 

“Iya, sebentar” kataku.

 

Lalu dengan spontan akulangsung menuju halaman depan mengambilkan bambu untuknya. Ku lihat Lastri dan Kurnia sudah menunggu pula. 

 

“Nah, ini dia” teriak Agas sembari berhasil memetik sebuah mangga. 

 

“Wah, ngga sabar ingin ku coba. Ayo kita cari lagi” sahut Lastri. 

Saat itu, Kurnia mengambil alih mengupas mangga yang baru saja diperoleh Agas. Sementara Lastri dan Agas sibuk mencari buah mangga yang sangat lebat berbuah. Ku pandangi Kurnia sangat telaten dalam mengupas buah mangga yang telah ranum masak di pohonnya itu. 

 

“Memangnya harus sepelan itu?” tanyaku penasaran. 

 

“Buah ini sama seperti cinta yang telah dikandung beberapa waktu oleh si pohon. Aku tidak ingin merusak bentuknya sedikit pun. Lagi pula kulitnya sangatlah tipis. Jadi aku harus berhati-hati” jawab Kurnia dengan senyum. 

  Baru kali ini aku menemui pria selembut dan sepeka dirinya. Setahuku, Kurnia dan Agas memang sudah berteman dari semasa kecil dulu. Mereka berdua tidak pernah membeda-bedakan mana laki, mana perempuan, semua sama saja berteman. Sikap Kurnia yang ramah pun membuatnya digandrungi oleh beberapa teman perempuannya. Namun, Kurnia tidak pernah menganggap lebih semua itu. Tanpa ku sadari, bertahun-tahun sudah ku mengenal Kurnia. Aku merasakan ada sesuatu di dalam hatiku. Serasa setiap sore ku selalu menantikan pertemuan mereka. Kurnia, pria ramah yang tingginya semampai itu juga memiliki kemampuan lain, selain menyelami jurusan biologi yang tengah ia tekuni –memasak. 

 

“Kau masih belum bisa memasak juga? Ku dengar Agas selalu mengeluh karena adiknya yang sudah sebesar ini belum bisa masak juga” tawanya memecah lamunanku. 

 

“Ah? Hehehe.. iya..” jawabku terkejut. 

 

“Kau harus mencobanya, Ana. Di dapur, kau bisa meracik apa saja yang kau mau. Percayalah” balasnya mantap. 

 

  Tidak pernah ku pikir sebelumnya ia akan menyeletuk soal itu. Seraya aku tertegun, buah mangga yang dipetik Agas dan Lastri telah cukup. Agas dan Lastri pun turut duduk bersama kami sembari menikmati buah mangga madu, hasil cangkok Agas dari pohon kakek di kampung.