Contents
Tentang Cinta yang Tidak Pernah Tersesat
Satu
Bagi Andin, tidak ada yang lebih menyenangkan dari kegiatan bersantai di tepian danau. Ia senang memikirkan banyak hal di dalam hidupnya sambil menikmati malam yang perlahan merangkak naik dalam keheningan. Namun, ada satu hal yang akhir-akhir ini selalu memenuhi kepala gadis itu. Satu hal yang ketika terlintas, tanpa sadar membuat tersipu.
Malam itu, manik cokelatnya sedang asyik berkelana di langit malam ketika seorang pria tua dengan tubuh setengah bungkuk muncul, berjalan tertatih-tatih dengan bantuan tongkat di atas rerumputan.
Gadis itu masih belum hapal semua wajah penghuni panti, apalagi ketika sedang tidak mengenakan kacamata. Tapi dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat teras panti werdha bergaya klasik di seberang jalan tampak sepi. Tadi ia menyempatkan diri untuk membantu para lansia bersiap menyambut jadwal kunjungan dokter baru yang akan melaksanakan pemeriksaan kesehatan rutin. Pria tua yang berhenti di sisinya itu pastilah keluar diam-diam.
“Saya punya anak perempuan seperti kamu.” Suara serak pria tua itu membelah udara malam. "Dia suka menyendiri dan melamun begitu kalau sedang memikirkan masalah cinta."
Pria tua itu benar! Gadis berambut karamel itu menghela napas dengan lembut. Pikiran Andin mengawang, pada suatu peristiwa yang diam-diam masih terpatri jelas dalam memorinya. Pagi itu ia mengajak beberapa lansia yang mogok makan untuk berkeliling taman kota, saat dirinya tidak sengaja menabrak tubuh tegap seorang pemuda, menyebabkan paper cup berisi kopi hangat yang dipegangnya tumpah dan ponselnya terjatuh. Andin siap menerima makian atas kecerobohannya, namun tiba-tiba pemuda itu malah menyodorkan secarik tisu padanya.
"Maaf,” kata ajaib itu keluar pertama dari bibir si pemuda. “Saya terlalu fokus bermain ponsel.”
Andin buru-buru menggeleng. "Nggak, aku yg minta maaf, Mas." ujarnya.
Pemuda jangkung di hadapannya memungut benda yang terjatuh di trotoar taman, lalu beralih menatap Andin, mempertemukan bola mata hitam tajamnya dengan manik cokelat Andin yang terbingkai kaca persegi. Seutas senyum kemudian mengembang di wajah pemuda itu.
Andin tidak tahu pemuda itu tersenyum untuk apa, namun sejurus kemudian tangannya terulur ke hadapan Andin. "Kalau begitu sebagai permintaan maaf kamu, boleh … berkenalan?" Pemuda itu berkata ragu-ragu.
Mengingat momen itu lagi-lagi membangkitkan senyum Andin. Meskipun hanya momen klise seperti di dalam serial televisi, tapi ia tidak akan melupakan hari ketika untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan ada ribuan kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya. Hari itu Andin merasa sangat malu, sehingga alih-alih menyambut uluran tangan itu, gadis itu malah berlari pergi.
Berminggu-minggu kemudian, Andin baru memahami apa yang membuatnya begitu malu. Gadis itu menyadari dirinya telah jatuh cinta pada manik hitam dan senyum manis si pemuda. Andin menurunkan pandangan pada pantulan wajahnya di permukaan air danau. Perlahan, jemarinya bergerak menyisir kulit pipinya. Ada bercak putih dan kerutan-kerutan di sana. Ia dapatkan dari kebakaran yang menghanguskan rumah dan keluarganya bertahun-tahun silam. Mengingat si pemuda dan ketidaksempurnaan dirinya, senyum gadis itu tiba-tiba luntur.