Contents
Tentang Cinta yang Tidak Pernah Tersesat
Tiga
"Saya baru keluar dari gerbang panti dan melihat seorang gadis berdiri sendirian di pinggir danau. Kamu baik-baik saja?"
Mendengar nada khawatir pada suara berat itu, Andin mendongak. Sekali lagi sisa-sisa kesadaran yang hampir berhasil ia kumpulkan buyar ketika retinanya mendapati pemuda jangkung berpakaian dokter berdiri di hadapannya. Tangan kekarnya masih mencengkram erat lengan Andin yang tampak kesulitan mengatur napas. Beradu pandang, keduanya sama-sama terkejut.
"Whoa!" seru si pemuda kemudian. "Entah kebetulan atau takdir yang membuat kita bertemu lagi di sini.”
Andin melongo, butuh waktu bagi otaknya untuk benar-benar yakin bahwa yang berdiri di hadapannya saat ini adalah pemuda yang sama yang akhir-akhir ini memenuhi kepalanya.
“Nah, kamu masih berhutang perkenalan pada saya.” Pemuda di hadapannya kembali bersuara. “Saya harap sekali ini kamu tidak kabur tiba-tiba.”
Andin menggeleng, masih belum bisa bersuara.
“Al,” Pemuda di hadapannya mengulurkan tangan dengan percaya diri. “Aldebaran Alfahri.”
Ada jeda panjang sampai Andin berhasil membuka mulut, mengulangi nama si pemuda dengan terbata. "Al ... de ... baran."
Gadis itu masih ingat dengan jelas beberapa menit yang lalu ia melafaskan nama yang sama. Jantung Andin sekali lagi dipaksa bekerja keras. Ia kebingungan memproses semua hal yang terjadi. Tentang pria tua yang menghilang dan lelaki yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Berusaha menyingkirkan kepanikan yang melanda, Andin diam-diam membenarkan perkataan si pria tua. Ya, semesta memang selalu mengejutkan manusia dengan cara yang unik. Mengenai siapa pria tua itu sebenarnya, mungkin cukup menjadi pertanyaan yang tidak perlu ia ketahui jawabannya. Yang jelas, Andin tidak akan menyia-nyiakan uluran tangan si pemuda. Pria tua itu benar, setiap orang berhak jatuh cinta.
"Andin." Kali ini gadis itu menyambut tangan si pemuda dengan antusias.
TAMAT