Contents
E11-40 Ayam Jantan Berkokok Cinta
16. O Bulat
Pak Buyung pulang cepat sebelum mahgrib.
"Iip ayo pulang!" ajak Pak Buyung.
"Loh ini belum bada Isya kok sudah wangsul toh Tuan?" tanya Iip heran nian.
"Iya sudah tidak ada kerjaan lagi bisa, selebihnya bisa ditangani sama Pak Werkudara bawahan saya," terang Pak Buyung.
"O ... bulat," kata Iip.
"Ya masak O persegi Iip?" tanya Pak Buyung sambil tersenyum.
"Hehehe ... ," kata Iip.
"Tidak hihihi ... ?" tanya Pak Buyung.
Mereka segera naik ke mobil terus pulang.
Rumah Tuan Buyung.
"Assalamualaikum!" ucap Tuan Buyung.
"Assalamualaikum!" ucap Iip Setiawan.
"Baguslah, Papa udah pulang!" kata Lisita dengan nada kesal.
"Ada apa sih, Sayang?" tanya Tuan Buyung sambil mengusap puncak kepala Lisita. "Ada salam jawab dulu dong!" tegur Tuan Buyung.
"Waalaikumsalam!" ucap Lisita.
"Nah sekarang baru cerita!" perintah Tuan Buyung.
"Itu Suci kan tadi siang Lisita lapar, Lisita minta dia masak. Dia, Suci, kasih Lisita makan daging mentah yang hanya dikucurin bumbu, Pa!" cerita Lisita. Tuan Buyung tidak percaya. Iip tidak percaya tapi percaya jika Nona Lisita tidak mungkin berbohong.
"Mana mungkin Lisita," kata Tuan Buyung.
"Kalau Papa tidak percaya, Papa bisa lihat CCTV dapur! Ayo lihat, Pa!" ajak Lisita. Lisita, Tuan Buyung, dan Iip ke ruang monitor CCTV. Lisita memutarnya dan terlihatlah.
"Mana Suci sekarang?" tanya Tuan Buyung.
"Aku kurung di atas di kamarnya! Pecat dia Pa!" kata Lisita.
"Papa lihat dahulu Sucinya! Ayo Iip ikut ke atas!" kata Tuan Buyung. Tuan Buyung ke atas. Iip ikut ke atas. Lisita mengikuti dari belakang.
Tuan Buyung membuka kunci kamar dan masuk bersama Iip dan Lisita. Tampak Suci sedang menangis.
"Air mata buaya!" kata Lisita.
"Suci kenapa kamu lakukan hal itu pada Putri saya?" tanya Tuan Buyung baik - baik.
"Sasaya belum pernah memasak daging Tuan saya tidak tahu saya pikir langsung di masak sama seperti menumis sayuran. Sayakan orang miskin tidak pernah masak daging apa lagi makan daging," alasan Suci.
"Bohong! Papa lihat sendiri kan vidionya?" kata Lisita.
"Suci sayang sekali kamu baru sehari di sini tapi kamu sudah melakukan hal fatal," kata Tuan Buyung.
"Maafkan saya Tuan, saya mohon maafkan saya!" ucap Sofi memohon - mohon.
"Saya juga kasihan sama kamu tapi terserah Putri saya masih mau kamu ada di sini atau tidak," kata Tuan Buyung.
"Tidak! Nih duit baru satu hari gue kasih satu juta!" kata Lisita sambil melemparkan uang satu juta ke Suci.
"Nona Lisita maafkan saya, tolong jangan pecat saya, saya butuh pekerjaan ini, saya punya adik yang harus sekolah agar tidak putus sekolah seperti saya," kata Suci memohon.
"Nona Lisita kasihan Suci. Kasilah kesempatan kedua. Setiap tiang punya salah dan berhak dapat kesempatan kedua Nona. Kasihan orang tuanya sama adiknya," kata Iip.
Lisita jadi ikut kasihan.
"Ya sudah karena Iip aku maafkan untuk kali ini! Awas saja kalau sampai tidak tahu diri!" kata Lisita. Suci mengembalikan satu jutanya. "Ambil saja!" kata Lisita.
"Terima kasih Nona Lisita!" ucap Suci.
"Iip, tapi gantinya nanti malam setelah isya, kamu ikut saya, antarkan saya ke mananpun saya pergi!" kata Lisita.
"Oke Iip siap, Nona Lisita!" jawab Iip.
"Ajak ajak tuh gebetan kamu!" kata Lisita.
"Boleh?" tanya Iip memastikan.
"Iya boleh, sekalian kasihkan baju yang tadi!" jawab Lisita.
"Oke top markotop!" kata Iip.
Tuan Buyung hanya geleng - geleng tersenyum lalu turun ke bawah hendak ke kamarnya.
"Oh iya Iip! Tadi Suci juga memukul Werkudara pakai sapu, cuma gara - gara makan jagung yang tadi di beli di supermarket!" cerita Lisita.
"Werkudara abdi, apik - apik ora?" tanya Iip khawatir dengan ayam jantannya.
"Alhamdulillah, untungnya saya melihatnya Iip, jadi masih bisa saya tegur, jadi Werkudara selamat" kata Lisita
Iip tidak mendengar Lisita. Ia segera berlari ke halaman belakang menerobos Tuan Buyung yang sedang menuruni tangga.
"Buset, ada apa Iip?" tanya Tuan Buyung terkejut tapi Iip cuma berhenti menoleh sejenak.
"Werkudara!" kata Iip lalu lari lagi.
Lisita ikut turun.
"Werkudara kenapa tuh sampai Iip kayak kesurupan?" tanya Tuan Buyung.
"Habis dipukul pakai sapu," jawab Lisita.
"Kamu pukul ayam, Lisita?" tanya Tuan Buyung tidak percaya putrinya tega. Tuan Buyung bergegas ke halaman belakang.
"Lak kok jadi Lisita dituding sama Papa? Tidak mungkin lah Pa, mana tega Lisita memukul Werkudara," gerutu Lisita di anak tangga. Lisita juga bergegas ke halaman belakang.
Iip melihat ayamnya menutup mata di sudut halaman belakang. Iip berdiri memandanginya sambil berkaca - kaca lalu bulir - bulir terjatuh. Tuan Buyung datang dan menghampiri Iip. Tuan Buyung memperhatikan Iip menangis. Lisita juga udah sampai di halaman.
"Mati, Ip?" tanya Tuan Buyung.
Iip hanya menangis sambil menunjukkan dengan telunjuknya Werkudara menutup mata meringkuk di sudut.
"Maafkan Lisita, nanti akan saya ganti berlipat," ucap Tuan Buyung.
"Bukan Lisita Papa tapi Suci!" tegas Lisita.
"O Suci?" perjelas Tuan Buyung. Lisita mengangguk. "Iya walau Suci yang melakukan nanti tetap akan saya ganti berlipat!" ujar Tuan Buyung.
"Bukan masalah uangnya Tuan Buyung, Werkudara teh mboten saget digantikan," kata Iip lalu menghampiri tubuh Werkudara dan menggendongnya. Werkudara membuka matanya.
"Kukukukukukuk ... !" Werkudara Bumi Legawa.
"Urip, Tuan!" pekik Iip terkejut senang.
"Itu tadi berarti hanya tidur Werkudaranya!" kata Tuan Buyung.
"Hehehehe ... !" tawa Iip.
"Lah kan tadi Lisita sudah bilang selamat, Iip," kata Lisita gemas.
Iip mencium Werkudara gemas kangen. Tuan Buyung dan Lisita bengong melihat Iip menciumi Werkudara. Werkudara di lepaskan lalu berlarian dan mengepak - ngepakkan sayapnya.
"Kukurikuuuuk ....! Kukurikukurikukukuk ... !" Werkudara Bumi Legawa.
Tuan Buyung langsung menengadah ke langit mengangkat ke dua telapak tangannya dan menutup matanya.
"Papa lagi apa? Doa?" heran Lisita. Iip juga memandang heran.
Tuan Buyung tidak menjawab ia terus berdoa sampai suara kokok ayam berhenti. Tuan Buyung membuka matanya lalu mengusap telapak tangannya ke wajahnya.
"Aamiin!" ucap Tuan Buyung.
"Papa doa?" tanya Lisita ulang. Tuan Buyung mengangguk. "Doa apa, Pa?" tanya Lisita penasaran.
"Ada deh, pokonya kalau ada suara ayam berkokok jangan lupa berdoa, karena sedang ada malaikat lewat. Siapa tahu ada malaikat lewat beneran. Doa, keinginan kita biar cepat terwujud," kata Tuan Buyung.
"O ... !" kata Lisita.
"O bundar!" kata Iip.
"Tidak kotak!" kata Tuan Buyung.
"Tidak segitiga!" kata Lisita ikut - ikutan. "Aduh kenapa Papa baru bilang sekarang sih kalau ada ayam berkokok ada malaikat lewat, Lisita kan juga pingin berdoa terus dikabulkan!" protes Lisita. "Iip suruh tuh Werkudara berkokok lagi saya mau berdoa!" perintah Lisita.
"Wah iya saya teh juga mau dungo biar diterima dan bisa bersatu kalian Neng Geulis Sofi!" ujar Iip lalu mengejar Werkudara. Tuan Buyung geleng - geleng lalu pergi masuk ke dalam rumah.
Di balkon Suci memperhatikan dan mendengar pembicaraan mereka.
"Akan aku sate, biar tidak bisa berkokok, biar Iip tidak bisa bersatu sama Sofi!" batin Suci sambil menatap horor ke Werkudara. Werkudara bertemu pandang dengan mata Suci. Werkudara bisa merasakan.
"Kukukuk ... !" Werkudara lari terbirit - birit panik. Iip mengejarnya.
"Weladalah kok lari kenceng banget kamu, Wer!" keluh Iip. "Jangan lari Wer! Kamu kok kayak panic at de disco Wer? Sini Wer! Abdi Iip yang I lap you pull metro mini Wer! Oh pull taxi saja biar kerenan saketik!" kata Iip sambil terus mengejar Werkudara.
"Iip sudah nolongin aku lagi tadi. Oke fix Iip punya aku!" batin Suci.
Iip, kamu udah telepon si itu si ini itu ini ibu Budi belum?" tanya Lisita.
Iip jadi berhenti mengejar Werkudara.
"Si ini itu ini ibu Budi?" tanya Iip. "O bundar!" kata Iip paham.
"O tidak segitiga!" kata Lisita.
Iip menelepon Sofi sambil jalan - jalan di halaman belakang. Suci mrengut di balkon.
Smartphone Sofi berdering bergetar. Sofi ragu mau mengangkatnya.
"Angkat tidak ya? Diakan sudah ada bidadari Nona Lisita yang turun dari kayangan ke tujuh," kata Sofi minder dan cemburu. Akan tetapi ia tidak mau kehilangan Iip. "Halo Kak Iip!"
"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Halo halo Bandung Neng Geulis Ayu Sofi!" sapa Iip antusias luar biasa.
"Waalaikumsalam, ibu kota Periangan, Kak Iip, tapi ini Sofi di Jakarta, Kak Iip!" jawab Sofi senyum - senyum crazy love.
"Hehehe ... Iip teh guyon, Neng Geulis Ayu Sofi!" kata Iip.
"Siapa juga yang bilang Kak Iip lagi ngegombal pel lantai," kata Sofi.
"Neng Geulis Sofi sepertinya jadi ketularan abdi ya atau memang juga sami rawon sami mawon?" tanya Iip.
"Tergantung Kak Iip sukanya sama rawon apa sama soto," jawab Sofi.
"Kalau di Jakarta ya soto Betawi mawon deh!" ujar Iip.
"Oh soto Betawi dicampur Rawon," kata Sofi semakin senyum crazy love.
"Wah rasanya piye, ya apa itu, Neng Geulis Sofi?" tanya Iip.
"Hihihihihihihi ... !" suara tawa geli Sofi kayak kunti gara - gara hatinya sedang crazy love.
"Neng Geulis Ayu Sofi nanti malam bada Isya bisa jalan tidak? Abdi teh bade ajak Neng Geulis Ayu Sofi jalan, kalian enten hadiah buat Neng Geulis Ayu Sofi," terang Iip.
"Bisa Kak Iip, tapi boleh ajak teman Sofi, Lisa yang tadi di Mall GKM?" tanya Sofi.
"Bisa bisa!"
"Tempatnya?"
"Nona Bidadari Lisita ten pundi tempatnya?" tanya Iip berteriak.
"Cafe Rona rona merah pipimu!" jawab Lisita berteriak juga. Sofi mendengar dan manyun.
"Cafe Rona rona merah pipimu," jawab Iip di telepon.
"Tidak pakai rona merah pipimu Iip!" teriak Lisita. Sofi mendengarnya.
"Oh Cafe Rona!" ulang Iip di telepon.
"Iip awas ... !" pekik Lisita. Sofi mendengarnya.
Byurrrrrrrrrrrr. Iip tercebur ke kolam renang.
Sofi yang di sana, di kamarnya dag dig dug, khawatir.
"Rasain syukur tidak bisa teleponan sama si Sofi obat oles anti nyamuk yang wangi itu!" batin Suci yang lagi melihat di balkon.
"Yah rusak deh smartphone kamu!" keluh Lisita. "Kamu udah simpan belum nomor si itu si ini itu ini ibu Budi?"
"Udah tapi di uang kertas itu, uangnya di dalam dompet dan dompetnya di dalam saku abdi dan kulonya di dalam air," kata Iip.
"Baguslah, semoga nomornya cling, bersih hilang musnah!" batin Suci.
"Yah basah juga dong! Buruan naik dan lihat!" kata Lisita.
Iip segera naik dan melihat dompetnya dan juga semua surat, uang, dll isi dompet.
"Jemur semua tuh mumpung dikit ada matahari!"
"Mataharinya saketik banget ini bentar lagi hilang, mboten saget mengeringkan," kata Iip.
"Aha, saya punya ide!" seru Lisita.
"Aha! Apa Nona Bidadari Lisita?" tanya Iip penasaran.
"Coba pakai hairdryer!" jawab Lisita antusias. "Yuk!"
Mereka pergi ke dalam rumah.
"Yah Iip basah semua lantainya!" protes Lisita melihat air di baju Iip menetes semua di lantai rumah gedongnya.
"Maaf, ngapunten, Nona Bidadari Lisita," ucap Iip lirih tidak enak hati.
"Biarlah jadi kerjaanya si Suci itu biar mensucikan lantainya!" kata Lisita. "Dah sana kamu ganti baju dulu baru ke kamar saya!"
"Oke deh!" Iip bergegas ke kamarnya.
"Suci ........... !" pekik Lisita.
Suci bergegas turun.
"Iya Non!" jawab Suci sambil turun menghadap.
"Suci, suci kan lantai rumah dari air dengan air juga dengan gombal pel!" perintah Lisita.
"Baik, Nona!" jawab Suci.
"Yang bersih! Awas kalau tidak bersih suci, nama kamu akan aku ganti bukan Suci lagi!" ancam Lisita. Lisita hendak pergi ke atas.
"Iip sebenarnya malaikat atau malaikat pencabut nyawa?" gerutu Suci melihat ceceran air karena Iip. Lisita mendengarnya.
"Malaikat Malik!" jawab Lisita lalu bergegas naik ke atas.
"O bulat! Tahu bulat digoreng dadakan kayaknya enak," kata Suci salah tingkah karena ketahuan ngeluh sama Lisita. Ia pun bergegas ambil alat pel dan membersihkan.