Contents
Master of Masters E 11-42
MM 11. Dalang
Master Andhika Ardan ke luar sejenak untuk istirahat, makan, dan cari angin, tentunya sembari memikirkan kasus percobaan pembunuhan terhadap Maulana Husam dan keterkaitannya dengan percobaan pembunuhan terhadap Pak Fiksi, yang dilakukan oleh Sadam Pamungkas.
"Apa mungkin Master Alexis? Jika benar Alexis yang dimaksud adalah Master Alexis, master para masters pasti para master akan melindunginya dan kekuatanku tidak akan mampu untuk melawan seorang Master Alexis apalagi ia akan dilindungi oleh para master yang level kekuatannya di atas level kekuatanku semua. Sekalian pun Maulana bergabung untuk membantuku itu jauh dari kata cukup untuk melawan mereka. Sadam harus cepat sadar agar aku bisa introgasi. Aku harus cepat kembali takutnya jika Sadam sadar dan jika benar ia yang berniat membunuh Maulana maka akan sangat berbahaya untuk Maulana," benak Master Andhika Ardan. Ia kemudian segera mempercepat makanannya. Ia tidak menghabiskan. Ia membawa minumannya pergi dan meminumnya sembari jalan karena mencemaskan nyawa Maulana karena sekamar dengan Sadam Pamungkas.
Ia masuk ke kamar gawat dengan khawatir atas keselamatan Maulana Husam. Tampak Sadam Pamungkas masih belum sadar dan ia pun lega, karena dengan begitu Maulana baik-baik saja. Ia memeriksa kondisi Master Sadam Pamungkas.
"Butuh waktu untuk update energinya, padahal sudah aku bantu dengan menyalurkan energiku," suai bibir Andhika Ardan.
Andhika baru saja masuk, tidak berselang kemudian dokter masuk bersama seorang suster. Pada saat bersamaan Maulana Husam bangun.
"Oh, Master Maulana Husam sudah sadar? Ini sungguh keajaiban!" Dokter Badar segera memeriksa Maulana. "Alhamdulillah, bahkan hari ini juga, sekarang juga sudah bisa pulang! Anda hanya perlu beristirahat!" heran Dokter Badar.
Dokter Badar beralih memeriksa Sadam Pamungkas.
"Alhamdulillah, ini juga ajaib walau masih sangat-sangat lemah. Ia sudah tidak kritis lagi. Ia sudah bisa dipindahkan ke kamar rawat inap, Sus!" kata Dokter Badar.
"Baik, Dok!" jawab Suster El.
"Dia, Master Sadam Pamungkas telah mentransfer energi masternya kepadaku, sehingga ia menjadi kritis. Akan tetapi Master Andhika Ardan telah mentransfer sebagian energinya kepada Master Sadam sehingga ia menjadi melewati masa kritisnya," terang Master Maulana Husam.
"Oh, demikian? Berarti Anda, Master Andhika harus segera dirawat sebelum kau pingsan dan kritis seperti Master Sadam." Dokter Badar segera mendekat ke Master Andhika Ardan dan memeriksanya.
"Tidak perlu Dokter Badar, saya baik-baik saja, saya hanya mentransfer sebagian saja dari energi master saya," terang Andhika.
"Hm ... ya benar Anda baik-baik saja, Master Andhika Ardan!" kata Dokter Badar setelah memeriksa kondisi Master Andhika Ardan. "Oke aku permisi mau mengecek pasien yang lain!" pamitnya kemudian.
"Aku sudah baik-baik saja tidak memerlukan kamar rawat inap!" kata Maulana. Em ... tapi menurutku untuk Sadam, pilih yang satu kamar dua tempat tidur saja, tapi dua-duanya aku sewa, agar yang menjaganya nanti bisa istirahat rebahan juga!" ujar Maulana Husam. Suster El mengangguk.
Suster dibantu Master Andhika memindahkan Sadam Pamungkas ke kamar rawat inap sesuai permintaan Maulana Husam.
Di ruang rawat inap Sadam Pamungkas masih belum sadar. Maulana dan Andhika berada di dalam kamar itu menunggunya. Andhika sembari menanyai mengenai hal buruk yang telah menimpa Maulana.
"Master Maulana, bisa kau ceritakan kejadian yang telah menimpa dirimu semalam?" tanya Master Andhika Ardan. Maulana mengangguk serius lalu ia mengingat-ingat apa yang terjadi kepadanya semalam.
"Waktu aku jalan pulang, ada sekelebat bayangan. Ia sepertinya mengarahkan aku untuk sampai ke sebuah tempat. Tempat itu gudang terbengkalai. Tampak pintunya sedikit terbuka cukup untuk bisa dilalui. Aku masuk dan aku merasakan beberapa kali hantaman dan terakhir tusukan. Serangan itu begitu cepat tidak memberikan aku kesempatan sedikit pun untuk bisa melawannya. Setelah itu aku gelap tidak tahu apa-apa lagi," terang Maulana sembari mengingat-ingat.
"Kau melihat pelakunya?" tanya Andhika.
"Tidak, tempat itu sangat gelap, tapi aku dapat merasakan jika pelakunya adalah seseorang yang memiliki kekuatan master dengan level cukup tinggi di atasku," jawab Maulana Husam.
"Itu berarti sudah pasti pelakunya adalah Sadam Pamungkas, karena level kekuatannya berada di atasmu, Master Maulana!" tegas Andhika Ardan.
"Bukan, master itu level kekuatannya di atas dirimu, jauh di atas dirimu, Master Andhika. Di samping itu pada leher Master Sadam Pamungkas telah aku pasangkan kalung yang aku isi dengan energiku, sehingga ia bertekuk lutut kepadaku, menjadi budakku, jadi sangat tidak mungkin dia pelakunya" terang Maulana Husam. Andhika cukup terkejut dengan keterangan Maulana itu.
"Kalung? Dia budakmu? Bagaimana ceritanya? Bagaimana bisa ia bersama denganmu dan sejak kapan?" tanya Andhika Ardan beruntun karena heran penasaran.
"Sejak pagi kemarin saat aku bermain bola dengan anak-anak jalanan. Aku tidak sengaja bertemu dengannya dan kami sama-sama merasakan kekuatan master lalu sama-sama tertarik untuk mencoba. Kami bertarung dengan deal yang kalah menjadi budak yang menang dan peraturannya boleh menggunakan senjata apa pun. Aku tahu levelku di bawahnya jadi aku menggunakan akal untuk menang dengan cara menggunakan kalung yang aku isi energiku," cerita Maulana. "Kau bisa cek leher Sadam Pamungkas!" imbuhnya. Andhika Ardan mengecek leher Sadam dan benar ada kalung yang telah diisi energi Maulana. Kapan pun di mana pun dengan mudah Maulana bisa mengendalikan dan mengalahkan Sadam.
"Lalu bagaimana ia menolongmu?" tanya Andhika Ardan.
"Tentunya yang tahu Sadam. Em ... tapi menurutku mungkin Sadam mendapatkan gambaran yang terjadi kepadaku. Ia aku tinggalkan sendiri di kontrakanku. Aku berpesan kepadanya kalau aku akan kembali pukul sepuluh. Ya mungkin karena pada pukul sepuluh aku belum kembali jadi ia mencariku, dan menemukan aku," kata Maulana. Andhika mengangguk-angguk karena cerita Maulana masuk akal.
"Maulana siapa pun pelakunya yang jelas dia master berlevel kekuatan tinggi. Menurutku percobaan pembunuhan terhadap Pak Fiksi yang dilakukan Sadam juga ada benang merahnya dengan percobaan pembunuhan terhadap dirimu. Artinya dalang dua wayang master adalah satu orang yang sama," kesimpulan Andhika Ardan.
"Maksud Pak Andhika, aku hampir mati dibunuh dengan alasan karena aku mengetahui transaksi narkotika malam itu?" tanya Maulana memperjelas. Andhika Ardan mengangguk dengan pasti. "Jika demikian Pak Andhika, itu artinya ada mata-mata dalang itu di kepolisian, di kantor Anda!" duga Maulana kemudian. Andhika terkejut mendapati kesimpulan Maulana yang ada benarnya itu.
"Jika demikian aku perlu memberitahukan kepada Pak Fiksi segera!" Andhika segera mengeluarkan smartphonenya untuk menghubungi Pak Fiksi, tetapi data dan pulsanya telah habis. "Pulsaku habis, aku akan keluar sebentar, kau jaga diri baik-baik, berhati-hatilah dengan Sadam!" kata Andhika Ardan.
"Aku yakin Sadam tidak akan mungkin mencelakai aku yang sudah ia tolong dengan hampir mengorbankan nyawanya!" ujar Maulana. Andhika Ardan mengangguk sambil memandang Sadam yang belum sadar. "Gunakan saja WiFi rumah sakit!" saran Maulana kemudian. Andhika kembali mengangguk dengan menatap Maulana.
"Kau benar, aku akan meminta passwordnya ke Dokter Badar!" Andhika bergegas ke luar.
Setelah ke luar dan mendapatkan password WiFi rumah sakit dari orang admin rumah sakit, Andhika tetap memutuskan ke luar ke mini market untuk membeli pulsa karena pasti ia akan sangat memerlukannya. Setelahnya ia kembali ke rumah sakit. Sesampainya di halaman rumah sakit ia pun menghubungi seorang polisi menggunakan WiFi rumah sakit.
"Pak Fiksi bisa datang ke rumah sakit kawasan pantai sekarang juga sendiri saja?" tanyanya. "Saya tunggu!" katanya setelah mendapatkan jawaban positif.
Beberapa polisi anggotanya yang sebelumnya tadi ia hubungi telah datang. Mereka menghampiri Andhika dan menghormat.
"Pak tolong kalian cari dan periksa gudang terbengkalai yang ada di kawasan pantai ini yang letaknya kemungkinan antara restoran Pantai dengan kontrakan Master Maulana. Kalian langsung saja meluncur aku akan tanyakan letak pastinya kepada korban. Kalau sudah mendapatkan informasinya akan aku hubungi kalian!"
"Siap, Pak!" Para anggotanya segera bergegas pergi mencari gudang itu. Andhika masuk kembali ke rumah sakit.
Saat Andhika masuk ia melihat Maulana sedang ke luar. Ia segera membuntuti Maulana.
"Maulana, tunggu!" seru Andhika. Maulana berhenti melangkah dan menoleh ke Andhika. "Mau ke mana? Kau masih lemas, lebih baik istirahat!" seru Andhika sembari bergegas mendekat.
"Mau ke administrasi!" jawab Maulana kepada Andhika yang sedang berjalan mendekatinya.
"Oh, administrasi, untukmu dan Sadam sudah aku tanggung, Maulana!" terang Andhika Ardan.
"Oh, jika begitu, aku akan mengganti uangmu!" ujar Maulana.
"Tidak perlu, kita ini sudah lama berteman, kau seperti tidak tahu aku saja!" kata Andhika.
"Kalau begitu terima kasih!" ucap Maulana. "Em ... jika demikian aku izin akan pergi dahulu!"
"Mau ke mana?" tanya Andhika.
"Ada yang harus aku lakukan untuk Sadam!" kata Maulana.
"Apa yang akan kau lakukan untuk Sadam?" tanya Andhika.
"Aku akan membuat soup yang bisa mempercepat pemulihan kondisinya. Selain itu aku juga harus ke restoran, mereka pasti kerepotan karena aku tidak datang" terang Maulana.
"Tidak, soal restoran aku akan menelpon mereka dan memberitahukan kepada mereka soal kondisimu. Aku yakin mereka akan mengerti.
"Em ... baiklah aku setuju soal itu, karena aku juga ingin menemani Sadam, tapi izinkan aku pergi sejenak untuk membuatkan soup bagi Sadam!" ujar Maulana.
"Maulana kau masih belum pulih!" kata Andhika.
"Ayolah, aku tidak bertarung hanya membuat soup!" kata Maulana.
"Bagaimana jika pembunuh yang mencoba membunuh dirimu semalam ada di luar sana masih mengecek kondisimu, masih mengincar nyawamu, dan ia melihatmu masih hidup? Kau membahayakan dirimu!" kata Andhika.
"Aku akan sangat berhati-hati!" kata Maulana.
"Em ... baiklah, tapi kau harus menyamarkan dirimu!" kata Andhika. Maulana mengangguk setuju. "Em ... selain itu maaf, sepertinya aku akan memberitahukan restoran Pantai, jika kau telah mati, untuk mengecoh pembunuh itu, karena aku yakin, ia saat ini sedang mengecek apa kau sudah mati atau belum," kata Andhika.
"Iya, oke, tidak masalah, itu ide bagus." Maulana menyetujui. "Em ... bisa tolong jaga Sadam sebentar sampai aku kembali?" tanya Maulana kemudian.
"Ya, tentu! Aku juga tidak mau buronanku yang sudah lama aku incar kabur lagi!" ujar Andhika. Maulana sedikit terkekeh.
"Em ... aku pasti akan membuatkan soupnya untuk dirimu juga!" ujar Maulana. "Assalamualaikum!" Maulana pergi.
"Waalaikumsalam!" jawab Andhika Ardan. Andhika segera kembali ke kamar Sadam dirawat.
Di perjalanan menuju kamar Sadam smartphone Andhika berbunyi.
"Assalamualaikum Pak Fiksi!" seru Andhika sembari terus melangkah ke kamar Sadam.
"Waalaikumsalam, di mana, Pak?" tanya Pak Fiksi langsung.
"Kamar Melati dua puluh, Pak!" jawab Andhika tepat saat telah berada di depan kamar itu. Ia pun masuk ke dalamnya. Pada saat itu sambungan telepon dari smartphonenya juga telah terputus.
Andhika menghapiri Sadam dan memeriksa kondisinya. Ia merasakan kondisi Sadam terus meningkat menjadi lebih baik.
"Bagus, cepatlah sembuh dan sadar agar aku bisa mengintrogasimu, Sadam!" Andhika tersenyum. Ia teringat restoran Pantai dan segera menghubungi restoran itu untuk memberitahukan kondisi Maulan.
"Selamat pagi, saya Andhika Ardan dari kepolisian! Saya mau menginformasikan jika chef restoran Pantai atas nama Maulana telah dibunuh seseorang. Untuk kondisi Maulana, mohon maaf, telah tiada dan pelakunya sedang kami cari! Oke, hanya itu yang ingin saya sampaikan, saya turut berduka! Sekian, selamat pagi!" kata Andhika Ardan dengan tegas.
Rekan-rekan Maulana di restoran Pantai menjadi shock. Berita itu pun sampai terdengar kepada para pelanggan yang sedang makan di restoran mereka.
Pak Fiksi masuk ke kamar Melati dua puluh. Ia pun melihat Pak Andhika sedang berdiri baru selesai menelepon.
"Pak Andhika, kenapa di rumah sakit?" heran Pak Fiksi.
"Lihatlah!" seru Andhika.
"Siapa?" tanya Pak Fiksi. Mata Pak Fiksi dari melihat Andhika segera mengarah ke ranjang rumah sakit. Ia mengamati dengan benar.
"Pingsan, belum sadar sejak semalam!" terang Andhika.