Try new experience
with our app

INSTALL

Contents

2YM Season Cincin Panah 

53. Dinar dan Emas

53. Dinar dan Emas


 

2 Yang Mulia Season Cincin Panah.


 

Malam hari.


 

"Sayang Jenderal, apa mungkin perampok-perampok itu memiliki hubungan dengan anak kecil itu?" tanya Cendani sambil memeluk suaminya. Jenderal Sauqy terkejut dengan pertanyaan Cendani.


 

"Untuk mengetahui itu, aku harus segera menangkap para perampok itu! Sekarang juga aku akan meminta tolong para Jenderal!" Jenderal Sauqy mengecup kening Cendani dan melepas pelukannya. "Ayo, Prajurit, kau ikut aku! Assalamualaikum!" Jenderal Sauqy bergegas pergi bersama prajurit itu.


 

"Waalaikumsalam!" jawab Cendani. Cendani berpikir lagi. "Kemungkinan perampok yang berlari paling belakanglah yang ada hubungannya," batin Cendani. Cendani berpikir lagi. Cendani terkejut sendiri dengan apa yang dipikirkannya. "Ayah?" terucap sangat pelan hingga ia sendiri yang akan mendengarnya.


 

***


 

Camp Prajurit.


 

Jenderal Sauqy dan prajurit penembak langsung masuk ke camp Jenderal Prana, yang memang tidak tertutup rapat, karena hanya kain tenda. Tampak Jenderal Prana dan Raka sedang tidur.


 

"Jenderal, maaf mengganggu!" Jenderal Sauqy menggoyangkan tubuh Jenderal Prana.


 

Jenderal Prana terbangun, terkejut, dan segera berdiri menghormat


 

"Maaf mengganggu Anda, Jenderal, karena saat ini hanya Jenderal yang ada di sini, karena Anda, jenderal satu - satunya yang tinggal di camp!" Jenderal Sauqy berkata dengan tidak enak hati bercampur emosi kasus yang terjadi.


 

"Tidak apa-apa. Ada masalah apa atau tugas apa, Jenderal Pemimpin?"


 

"Begini, ada perampokan, tapi bukan sekedar perampokan masalahnya. Prajurit ini hendak menembak perampoknya, tapi seorang anak laki-laki tiba-tiba menghalangi peluru dan akhirnya anak itu yang tertembak, sedangkan para perampok berhasil kabur. Saksinya aku sendiri. Alhamdulillah anak kecil itu sudah sadar, tapi saat aku tanya ia berbohong. Cendani menduga, para perampok itu memiliki hubungan dengan anak itu. Untuk mengetahui hal itu, perlu menangkap para perampok itu. Masalahnya, jika tidak ada bukti, prajurit ini tidak bersalah, maka prajurit ini dalam masalah besar, Jenderal!" terang Jenderal Sauqy dengan emosi cemas akan keselamatan prajuritnya.


 

"Tolong saya, Jenderal Prana!" pinta Prajurit.


 

"Baik, Jenderal, dan tenanglah dirimu, aku akan mencoba membantu!" kata Jenderal Prana bersungguh-sungguh. Ia lalu menggoyang tubuh asistennya yang tidur di sebelahnya. "Raka, bagun!" Raka terbangun, terkejut segera bangkit menghormat.


 

"Perampoknya merampok di mana dan kapan?"


 

"Toko perhiasan, tadi siang seusai duhur, Jenderal!" jawab prajurit yang menembak anak kecil.


 

"Namamu siapa?" tanya Jenderal Prana.


 

"Zein, Jenderal!" jawab tegas prajurit itu, selayaknya prajurit militer jika berkata.


 

"Raka, kita ada tugas menangkap perampok, tapi bukan sekedar soal penangkapan, kita juga harus membuktikan Zein tidak bersalah. Saat Zein hendak menembak perampok, ada anak kecil sengaja menghalangi peluru, sehingga anak kecil itu yang tertembak. Bangunkan beberapa prajurit kita dan kita bergerak sekarang!" perintah Jenderal Prana.


 

"Baik, Jenderal!" jawab Raka.


 

"Terima kasih banyak, Jenderal Prana, Raka!" ucap Jenderal Sauqy dengan emosi menggebu, berharap masalah prajuritnya itu tertatasi. "Aku akan ikut menyelidiki setelah subuh, karena istriku sekarang sedang tidak baik, karena masalah ini, jadi aku tidak bisa meninggalkannya sekarang."


 

"Tidak apa-apa, Jenderal, serahkan semua pada hamba!" kata Jenderal Prana.


 

"Izinkan hamba ikut serta!" pinta Zein.


 

Jenderal Prana memandang Jenderal Sauqy. Jenderal Sauqy mengangguk.


 

"Ayo!"


 

Jenderal Prana, Zein, dan Raka menghormat lalu bergegas pergi.


 

Jenderal Sauqy kembali menemui Cendani di depan kamar rumah sakit. Cendani tampak letih dan terhuyung.


 

"Sayang!" Jenderal Sauqy segera menangkap Cendani sehingga dalam pelukannya. "Kamu letih dan juga perutmu kosong. Sebaiknya istirahat dan makan sesuatu!"


 

"Hamba sedang tidak ingin, Jenderal!"


 

"Baiklah, kita duduk saja!" Jenderal Sauqy mengajak Cendani duduk di bangku depan kamar rumah sakit.


 

"Jenderal, Anda tidak jadi menyelidiki?"


 

"Jenderal Prana yang menangani! Aku akan pergi menyusul jika kamu sudah baik - baik saja!" ujarnya dengan tegas.


 

"Hamba baik-baik saja, Jenderal, pergilah menyusul sekarang!" tegas istrinya meyakinkan.


 

"Bersandarlah kepadaku dan tidurlah!" tegas Jenderal Sauqy. Cendani menurut dan terlelap. Akan tetapi tidak berselang terdengar suara adzan subuh.


 

"Bagaimana ini, sudah subuh, tapi aku tidak tega membangunkannya?"


 

Cendani terbangun sendiri.


 

"Sayang, sudah subuh, izinkan aku ke masjid sebentar!" kata Jenderal Sauqy.


 

"Hamba ikut, Sayang!"


 

"Baiklah, ayo!"


 

Di depan masjid istana, mereka bertemu Sultan Singa.


 

"Assalamualaikum!" ucap Sultan Singa kepada mereka berdua.


 

"Waalaikumsalam!" jawab Jenderal Sauqy dan Cendani sambil menunduk sejenak.


 

"Kalian ada di sini, tidak pulang ke istana Kapur? Tapi aku tidak melihat kalian di kamar taman juga di meja makan? Kalian juga kelihatan letih, dan Ananda Cendani wajahmu tampak sedikit pucat?" Sultan Singa heran.


 

"Akan kami ceritakan setelah subuh!" kata Jenderal Sauqy bersungguh-sungguh dan mimik serius.


 

"Baik, mari sholat dahulu!" kata Sultan Singa. Mereka segera masuk ke masjid.


 

***


 

Setelah beberapa saat mereka keluar dari masjid.


 

"Ceritakan kepadaku!" perintah Sultan Singa.


 

"Ada kasus perampokan, tapi bukan sekedar perampokan masalahnya," jawab Jenderal Sauqy.


 

"Apa masalahnya?"


 

"Saat Prajurit bernama Zein hendak menembak perampok, Zein sudah memperingatkan warga untuk menepi. Semua menepi, tapi seorang anak laki-laki berlari ke arah peluru, dan menjadi korban. Akhirnya perampok lari dan tentunya Zein sekarang akan mendapatkan masalah besar. Hamba sebagai saksi yang melihat dengan mata kepala hamba sendiri, sangat jelas, anak itu sengaja, Yang Mulia. Jadi bukan kesalahan Zein, Yang Mulia!"


 

"Bagaimana keadaan anak laki - laki itu?” tanya Sultan Singa.


 

"Sekarang sudah sadar, Yang Mulia, Alhamdulillah. Akan tetapi saat hamba bertanya ia berbohong. Cendani menduga para perampok ada hubungannya dengan anak laki-laki itu. Hamba tadi sudah memerintahkan Jenderal Prana untuk segera menangkap mereka dan sebentar lagi hamba juga akan ikut menyusul Jenderal Prana. Sebelum itu hamba mau memastikan Cendani baik-baik saja. Sejak pagi, sebelum sidang kasus Zulia, ia tidak sarapan dengan baik. Lalu dari siang hingga sekarang, perutnya masih kosong, dan belum istirahat, Yang Mulia."


 

"Sekarang pergilah menyusul Jenderal Prana, Cendani biar aku yang mengurus!" kata Sultan Singa.


 

"Terima kasih, Yang Mulia!" Jenderal Sauqy mencium kening Cendani. "Assalamualaikum!" ucapnya sambil menunduk ke Sultan Singa.


 

"Waalaikumsalam!" jawab Sultan Singa dan Cendani.


 

Jenderal Sauqy pergi menyusul Jenderal Prana.


 

"Ada lagi Yang Mulia, tapi hamba belum menyampaikan pada suami hamba!"


 

"Apa itu?"


 

"Hamba menduga, perampok yang berlari paling belakang, adalah yang memiliki hubungan dengan anak itu. Selain itu, hamba menduga kemungkinan adalah ayahnya!" tegas Cendani dengan yakin.


 

"Jika demikian, anak itu akan selamanya menutupi, demi ayahnya! Biar aku yang akan bertanya padanya, aku akan bisa melihat dari matanya."


 

"Sungguh, Yang Mulia? Terima kasih, Yang Mulia!" Cendani merasa senang, karena merasa tertolong, meskipun bukan kesulitan dirinya.


 

"Tapi nanti, setelah Ananda Cendani mau makan, dan istirahat dengan benar!" tegas Sultan Singa memberikan syarat.


 

"Baiklah, Yang Mulia!" tegas Cendani menyetujui.


 

"Ayo, ke kamar taman!"


 

Sultan Singa dan Cendani ke kamar taman. Cendani makan dalam pengawasan Sultan Singa, untuk memastikan Cendani makan dengan benar. Sultan menidurkan Cendani, hingga Cendani benar-benar tertidur. Setelah itu, Sultan Singa pergi sendiri ke kamar rumah sakit, tempat anak laki-laki itu dirawat.


 

***


 

"Bismillahirrahmanirrahim!" ucap Sultan Singa sebelum masuk ke kamarnya.


 

Sultan Singa masuk. Tampak anak itu tidak tidur.


 

"Assalamualaikum, Ananda!"


 

Anak itu terkejut. "Waalaikumsalam!"


 

"Ananda, siapa nama Ananda?" tanya Sultan Singa sambil menatap dalam ke mata anak laki-laki itu. Anak laki-laki bingung mau menjawab atau tidak.


 

"Jika aku beri tahu namaku, sama saja menunjukkan identitas ku dan ayahku juga akan ketahuan," batin anak itu, sehingga anak itu diam saja.


 

"Anak ini pintar, dia sepertinya berpikir, kalau ia beri tahu namanya, identitasnya akan terungkap, dan sama dengan mengungkap identitas orang tuanya, yang akhirnya akan ketahuan jika orang tuanya adalah perampok," batin Sultan Singa saat menatap mata anak laki-laki itu. "Perkenalkan, aku Sultan Badar Saifulah Husam!" ucap Sultan Singa dengan tegas.


 

Anak laki-laki itu ssanga-sangat terkejut dan ketakutan, hingga hendak bangkit untuk melarikan diri, tapi Sultan Singa memegang erat kedua lengannya dan kondisinya sendiri sangat lemah, sehingga ia tidak bisa ke mana-mana.


 

"Ayahmu yang kamu lindungi?" tanya Sultan Singa.


 

Anak laki-laki terkejut dan ketakutan. Seorang ibu datang, masuk ke kamar dan mengaku sebagai ibu dari anak laki-laki itu.


 

"Permisi, saya ibu anak itu!"


 

Sultan Singa menghampiri ibu itu.


 

"Siapa nama anak Anda, Ibu?"


 

"Rian!" seru ibu itu dengan nada seperti wanita yang suka sinis.


 

Anak kecil terkejut ibunya menjawabnya dan takut ayahnya akan ketahuan.


 

"Siapa nama Anda, Ibu?"


 

"Rina!" seru kasar wanita itu.


 

"Siapa nama suami Anda, Ibu?"


 

"Ayahku telah tiada!" seru anak itu kemudian, sebelum ibunya menjawab. "Ibu, prajurit telah menembakku saat aku bermain siang kemarin," adu sang anak.


 

"Ibu sudah mendengar dari warga, maka dari itu ibu ke sini. Aku akan menuntut agar Sultan Singa menghukum berat prajurit itu! Tuan, Anda siapa? Di mana aku bisa membuat laporan tentang putraku yang dizalimi prajurit?"


 

"Akulah Sultan Singa!"


 

Ibu itu terkejut tapi ia tidak mau melewatkan kesempatan.


 

"Yang Mulia, Anda harus bertanggung jawab atas kesalahan prajurit Anda, Yang Mulia!" Yang Mulia harus menghukum berat prajurit itu!" lalu ia mendapat ide mengikuti cerita putranya. "Selain itu, putraku adalah anak yatim, dan karena yatim, putraku adalah pencari nafka di keluarga kami. Sekarang putraku sedang terbaring parah dan perlu waktu untuk sembuh. Untuk itu, Yang Mulia, Anda juga harus menggantinya dengan Dinar dan emas, sampai putraku sembuh dan bisa bekerja kembali!"


 

"Sepertinya, ibunya ini, memanfaatkan keadaan putranya, dan kebohongan putranya. Apa aku boleh, menyebut mereka keluarga penipu?" batin Sultan Singa.


 

"Jika Yang Mulia tidak berbuat adil, maka aku akan mengatakan, ketidak adilan Yang Mulia ini, ke seluruh negeri!" ancam Rina. "Selain itu, nyawa putraku sangat berharga. Jadi, Yang Mulia, juga harus bertanggung jawab. Yang Mulia harus membayarnya, dengan Dinar dan emas, yang sangat banyak, untuk mengganti penderitaan putraku, yang terkena peluru dan mempertaruhkan nyawanya!" tambah Rina.


 

"Hanya Dinar dan emas dipikiran ibu ini!" batin Sultan Singa sangat kesal. Bukan tidak mau keluar harta, tapi perangai penipu dan maruknya yang bikin gedek. "Baik, aku akan memberi ibu, Dinar dan emas!" ujar Sultan Singa dengan meluapkan rasa gedeknya.