Try new experience
with our app

INSTALL

Contents

2YM Season Cincin Panah 

55. Teruntuk Tukang Tipu

55. Teruntuk Tukang Tipu


 

2 Yang Mulia Season Cincin Panah.


 

Cendani menemukan suaminya dengan cara yang sama dengan yang dilakukan Jenderal Prana untuk menemukan jejak para perampok. Semua yang ada menoleh seketika, saat mendengar suara kereta kuda datang. Cendani turun dari kereta membawa kotak bekal. Cendani menghampiri suaminya. Setelah tahu Cendani yang datang, semua kembali bertanya mengenai ke mana arah para perampok lari, kepada warga yang jumlahnya sudah tinggal hitungan jari.


 

"Assalamualaikum!" ucap Cendani sambil meraih tangan suaminya dan mencium punggung tangannya.


 

"Waalaikumsalam!" balas Jenderal Sauqy lalu mengecup kening Cendani. "Bagaimana kamu tahu aku ada di sini, Sayang?" tanyanya kemudian.


 

"Warga menceritakan kepada hamba, tentang instruksi Jenderal Prana untuk menemukan jejak para perampok, jadi hamba melakukan hal yang sama," jawab Cendani.


 

Jenderal Sauqy kembali mengecup kening istrinya.


 

"Jenderal, sejak siang kemarin Anda belum makan. Hamba mohon makanlah ini, mumpung masih hangat!" pinta Cendani sambil memberikan kotak bekal.


 

"Baiklah, mari kita duduk di atas rerumputan itu, dan aku akan memakannya!"


 

Cendani dan Jenderal Sauqy duduk di atas rerumputan. Jenderal Sauqy membuka kotak bekal. Tampak dua buah Zuppa Toscana dan sebuah sendok. Jenderal Sauqy menikmatinya.


 

"Kamu tidak ikut makan?"


 

"Hamba sudah makan sehabis subuh tadi. Yang Mulia Sultan Singa memaksa hamba menghabiskan banyak sekali makanan. Hamba juga sudah tidur. Hamba baik-baik saja, Yang Mulia Sauqy!" terang Cendani lalu meyakinkan suaminya.


 

"Sayang, di sini aku Jenderal, jangan panggil aku Yang Mulia!"


 

Jenderal Prana menghampiri.


 

"Jenderal, kita sudah sampai di area yang jarang penduduknya, itu artinya saatnya menyebar prajurit!" kata Jenderal Prana dengan tegas.


 

***


 

Jenderal Fais datang. Ia melihat Jenderal Yusya melihat dari kejauhan. Jenderal Fais menghampirinya.


 

"Jenderal Yusya, kenapa melihat dari jauh, apa Jenderal sedang diam-diam mengawasi tuan Putri Cendani?" tanya Jenderal Fais.


 

"Sebenarnya tidak diam-diam, tapi tuan Putri Cendani memang tidak tahu aku ikuti. Menurutku, biar saja aku memperhatikan dari jauh, agar jika ada musuh, aku bisa tahu dengan lebih baik, baru aku akan muncul menyelamatkannya," jawab Jenderal Yusya.


 

"Jenderal Yusya benar, begini lebih baik. Aku ada tugas menyampaikan pesan sultan kepada Jenderal Sauqy. Aku permisi!" Jenderal Fais berseru pamit, lalu mendekati mereka.


 

***


 

Semua mata tertuju pada suara kuda yang datang. Jenderal Fais turun dari kuda.


 

"Jenderal Sauqy, Jenderal Prana, aku membawa pesan dari Yang Mulia Sultan Singa, agar segera menemukan perampok! Ada provokator, yang membuat warga, berbondong-bondong menuntut, agar Zein ditahan, dan sidang segera digelar," terang Jenderal Fais.


 

Zein mendengar dan langsung menghampiri Jenderal Fais.


 

"Siapa provokatornya?" tanya Jenderal Sauqy.


 

"Menurut Yang Mulia Sultan Singa, ibu dari anak laki - laki itu."


 

"Bawalah saya dan tahan saya, Jenderal Fais!" ucap Zein dengan tegas dan tegar.


 

Ketiga jenderal saling berpandangan.


 

"Untuk sementara ini memang menahan Zein keputusan yang tepat. Itu cukup membuat warga percaya kepada sultan," kata Jenderal Fais.


 

"Zein, aku akan berusaha keras agar hari ini juga para perampok dan bukti kau tidak bersalah ditemukan!" ujar Jenderal Prana bersungguh-sungguh dan meyakinkan Zein kalau dia akan baik-baik saja.


 

"Terima kasih, Jenderal Prana!" ucap Zein yakin dengan Jenderal Prana.


 

"Ambilah kuda dan ikutlah bersama Jenderal Fais!" perintah Jenderal Sauqy.


 

"Baik, Jenderal!" Zein dan Jenderal Fais menghormat sejenak, lalu Zein segera mengambil kuda, dan pergi bersama Jenderal Fais.


 

"Kita sebar prajurit sekarang juga!" kata Jenderal Sauqy.


 

"Aku ikut!" kata Cendani.


 

Jenderal Sauqy melihat Cendani tidak membawa panah tapi ia melihat Cendani memakai cincin panah. Jenderal memegang tangan kanan Cendani.


 

"Cincinnya kamu pakai, tapi panahnya mana?"


 

"Hamba lupa membawa, Jenderal."


 

"Jika demikian, sebaiknya kamu tidak usah ikut!"


 

Cendani menunduk sedih.


 

"Jika mau pakai saja, tapi hanya ada dua anak panah!" seru Raka yang posisinya agak jauh dari mereka, sambil mengulurkan panahnya.


 

Cendani mengangkat wajahnya dan tersenyum melihat panah lalu memandang ke suaminya.


 

"Jika kamu berani menciumku di depan semua, aku izinkan, jika tidak, tidak aku izinkan!" ujar Jenderal Sauqy. Cendani merasa syaratnya berat.


 

"Ayo, Jenderal Prana, kita tidak ada waktu!" Jenderal Sauqy hendak bangkit. Cendani bergegas mengecup pipinya. "Raka, berikan panahnya!"


 

Raka mendekat dan memberikan panahnya ke Cendani.


 

"Semua menyebar! Cepat! Cepat!" perintah Jenderal Prana.


 

Semua prajurit Jenderal Prana bergerak dengan cepat ke segala penjuru yang sudah bisa dikatakan area hutan atau perbatasan antara desa dengan hutan. Cendani juga ikut menyebar. Jenderal Yusya mengikuti sehingga bertemu dengan Jenderal Sauqy dan Jenderal Prana.


 

"Jenderal Yusya?" tanya heran Jenderal Prana.


 

"Tugas ku mengawal tuan Putri Cendani, Jenderal!" tegas Jenderal Yusya.


 

"Iya, Yang Mulia memerintahkan Jenderal Yusya agar Cendani tidak lepas dari pengawasan Jenderal Yusya atau Jenderal Yunan," terang Jenderal Sauqy. "Mulai sejak pernikahan kami, Jenderal Yusya dan Jenderal Yunan tugasnya hanya untuk mengawal Cendani dengan ketat," imbuhnya.


 

"Apa Jenderal Yusya mengikuti Cendani diam-diam?" tanya Jenderal Prana.


 

"Sebenarnya tidak, Jenderal Prana, tapi memang kebetulan tuan Putri Cendani sedang tidak mengetahui jika aku ikuti," jawab Jenderal Yusya.


 

"Jenderal Yusya, lakukan tugas mu, aku dan Jenderal Prana akan ke sisi yang lain dari Cendani!" kata Jenderal Sauqy dengan tegas lalu bergegas bergerak masuk ke hutan.


 

Jenderal Prana bergerak ke sisi lain. Jenderal Yusya dan para prajuritnya bergerak ke sisi Cendani dengan menjaga jarak dari Cendani.


 

***


 

Aula istana Rubi.


 

"Yang Mulia, mana prajurit itu? Kenapa Yang Mulia tidak menahannya?" kata warga.


 

"Yang Mulia, Anda tidak bisa tidak adil kepada rakyat biasa seperti kami!" kata warga yang lain.


 

"Kami mau sekarang juga prajurit itu ditahan!" kata yang lain lagi.


 

"Kami juga mau, kalau bisa, sekarang juga sidangnya digelar!" kata Tedysah.


 

"Kami harus menyusun bukti dulu, baru sidang akan digelar!" jawab Sultan Singa membalas dengan nada keras juga.


 

"Jangan banyak alasan, Yang Mulia! Bukti apa lagi? Semua sudah jelas, anak laki-laki miskin dari kalangan kami yang miskin ini, ditembak prajurit itu. Banyak orang yang melihat. Apa lagi yang harus ditunggu? Gelar sekarang juga sidangnya!" kata Tedysah penuh emosi.


 

Sultan menatap mata Tedysah dan Sultan bisa melihat ia adalah provokatornya.


 

"Apa hubunganmu dengan ibu Rina?" tanya Sultan Singa.


 

"Kami, kami keluarga, Yang Mulia!" jawab Tedysah mencari alasan.


 

Sultan bisa melihat jika itu bohong. "Kau tidak bisa membohongiku pembohong," batin Sultan Singa.


 

"Cepat tahan prajurit itu!" kata warga lagi.


 

"Tahan prajurit itu! Tahan prajurit itu! Tahan!" seru warga bersahutan.


 

Jenderal Fais datang membawa Zein.


 

"Zein sudah ditahan, dia hanya sedang diperiksa atas perampok yang gagal ia tangkap dan malah menembak anak kecil!" ucap Jenderal Fais dengan lantang dan membuat warga terdiam.


 

"Bagus, jika demikian sekarang juga gelar sidangnya!" seru Tedysah.


 

"Gelar sidangnya! Gelar sidangnya!" seru warga bersahutan.


 

"Untuk menggelar sidang harus mengumpulkan semua bukti dahulu!" kata Jenderal Fais.


 

"Bukti apa lagi? Ada banyak pasang mata melihat dan ada korban jelas, bahkan sedang di rawat di rumah sakit istana ini! Jadi gelar sekarang sidangnya!" kata Tedysah. "Jangan banyak alasan, gelar sidangnya sekarang!" pekiknya kemudian.


 

"Jangan banyak alasan, gelar sidangnya sekarang! Jangan banyak alasan, gelar sidangnya sekarang!" ucap warga bersahutan.


 

"Gelar saja, Yang Mulia, hamba tidak mengapa," kata Zein.


 

Sultan mengajak keluar Jenderal Fais dari aula lalu membisikkan sesuatu pada Jenderal Fais.


 

"Selidiki pria yang sejak tadi memaksa itu, namanya Tedysah, dan apa hubungannya dengan Rina, ibu dari anak itu!" Sultan Singa memerintah tegas penuh emosi kesal dengan berbisik.


 

Jenderal Fais mengangguk dan pergi. Sultan Singa kembali ke aula.


 

"Baik, aku akan menggelar sidangnya bada duhur atau bada ashar di aula ini!" kata Sultan Singa. "Prajurit, bawa Prajurit Zein ke ruang interogasi!" perintah Sultan Singa.


 

Dua prajurit langsung datang menghormat sejenak, kemudian membawa Zein.


 

"Kalian jika mau silakan tunggu di aula ini atau kalau mau pulang dahulu juga silakan! Tapi aku harus meninggalkan kalian karena pekerjaanku sangat banyak tidak hanya kasus ini!"


 

"Kami akan menunggu di aula ini!" kata Tedysah.


 

"Silakan!" Sultan Singa pergi dari aula istana Rubi.


 

***


 

Sultan Singa pergi ke ruang kerjanya dan dengan santai mengerjakan laporan-laporan dari para menterinya.


 

"Allah SWT tidak tidur, semoga Allah berkenan menolong Zein," ucap lirih Sultan Singa sambil bekerja. "Ada Allah SWT, Allah Maha Adil," katanya lagi dengan lirih.


 

***


 

Prajurit Jenderal Prana menemukan bangunan sarang perampok sekaligus para perampoknya. Para perampok kabur berpencar. Sebagian ada yang lari ke arah area Cendani mencari. Sebagian lari ke arah yang lain. Sedangkan yang terhubung dengan Rian bersembunyi dalam tumpukan barang di bangunan itu. Para prajurit segera mengejar mereka.


 

***


 

Yang lari ke arah Cendani, salah seorangnya bertemu dengan Cendani dalam jarak dekat bertatap muka, sehingga Cendani tidak bisa memanahnya. Cendani dengan berani menghalangi langkah lari perampok yang bertemu muka dengannya itu. Perampok itu mengayunkan pedang ke Cendani. Cendani reflek menangkis dengan telapak tangan kanannya.


 

Sring....! 


 

“Akh!" Telapak tangan kanan Cendani terluka.


 

Jenderal Yusya langsung memanah tangan perampok yang memegang pedang hingga pedangnya jatuh. Jenderal Yusya dan para prajuritnya segera berkuda mendekat dan menawan perampok itu. Para prajurit juga melawan perampok yang lain dan meringkusnya.


 

***


 

Jenderal Prana, Jenderal Sauqy, dan para prajurit lainnya juga berhasil meringkus para perampok. Mereka berkumpul dan mengumpulkan para perampok di depan markas para perampok. Cendani dan Jenderal Yusya juga ikut berkumpul. Jenderal Prana menghitung jumlah perampok.


 

"Menurut keterangan, jumlahnya lima belas, tapi ini kok ada empat belas?" kata Jenderal Prana merasa janggal.


 

"Jangan-jangan, yang bersembunyi adalah yang punya hubungan dengan anak laki-laki itu? Jika benar, maka buah tidak jauh dari pohonnya. Jika anak berbohong, ayahandanya juga bisa sama. Bohong sama dengan pengecut dan itu artinya sembunyi dari kesalahan. Itu artinya satu perampok sedang bersembunyi. Tempat yang aman tak terduga adalah markas mereka yang telah ditemukan. Jika sudah ditemukan, artinya tidak akan ada lagi yang memeriksanya, karena sudah diperiksa. Itu artinya, dia bersembunyi di markas mereka," analisa Cendani.


 

Dari arah pintu belakang markas mereka, tampak seseorang ke luar dan mengendap-endap mau lari. Semua melihat. Cendani segera melesatkan panahnya ke kaki laki-laki itu dengan menahan perih di tangannya. Laki-laki itu jatuh tersungkur.


 

"Lekas bawa semua perampok dan penjarakan!" pekik Jenderal Sauqy.


 

Akhirnya mereka bisa pulang ke istana Rubi, sambil membawa para perampok. Jenderal Fais juga sudah mendapatkan informasi tentang Tedysah.


 

***


 

Ruang introgasi.


 

Zein sudah ada di ruang interogasi. Datang Jenderal Prana dan Jenderal Sauqy membawa para perampok itu. Oleh sebab itu, Zein dipindahkan dahulu ke ruang Jenderal Sauqy. Sultan Singa juga mendengar berita itu dan bergegas menemui para perampok. Yang Mulia hendak menginterogasi sendiri para perampok itu. Jenderal Sauqy, Jenderal Prana, dan Cendani juga ada di ruang interogasi itu. Sebelum diinterogasi, Sultan Singa memerintahkan untuk mendatangkan para medis dahulu, untuk mengobati setiap luka para perampok. Setelah itu interogasi dimulai.


 

"Rian ada bersamaku di rumah sakit istana, " kata Sultan Singa. Selang beberapa detik kemudian lanjut berkata,” "Dia hampir mati tertembak karena melindungi perampok, sekarang kondisinya tidak baik." Sultan Singa melihat reaksi dan ekspresi wajah para perampok. Perampok yang terluka kakinya tampak gelisah.


 

"Jika anak laki-laki itu sekarang sekarat, maka jika sekarang membuang waktu, akan sangat terlambat," tambah Cendani yang mengerti arah pertanyaan Yang Mulia. Mendengar kata - kata Cendani, perampok yang merasa ayah anak itu tidak mau menyesal.


 

"Di mana anak laki - laki itu? Aku ayahandanya!" aku perampok yang kakinya terluka terkena panah Cendani. "Izinkan hamba menemui anak hamba, Yang Mulia!" mohonya dengan baik-baik, dengan emosi cemas, dan penuh harap.


 

"Kau harus mengaku dahulu di pengadilan, jika kau ayahanda dari anak kecil itu, baru aku akan mempertemukan kamu dengan putramu!" kata Sultan Singa dengan tegas.


 

"Baik, tapi kapan pengadilannya? Aku, hamba, tidak mau menyesal dan berlomba dengan waktu!"


 

"Bada duhur hari ini!" jawab Sultan Singa.


 

"Baik, akan aku akui jika aku ayahanda anak laki-laki itu!" ujarnya dengan emosional ingin segera melihat putranya.


 

Terdengar suara adzan duhur.


 

"Mari sholat dahulu sebelum sidang!" ajak Sultan Singa.


 

Para Jenderal, Sultan Singa, Cendani ke luar. Jenderal Prana mengunci pintu ruang interogasi. Mereka pergi sholat ke masjid istana.


 

***


 

Beberapa saat kemudian sidang di mulai. Sultan Singa membahas para perampok terlebih dahulu.


 

"Masukkan para perampok ke penjara kecuali Handi!"


 

Para perampok digiring para prajurit ke penjara.


 

"Sekarang kasus salah tembak Prajurit Zein!" kata Sultan Singa.


 

Sultan mendengarkan kesaksian warga yang melihat langsung dan semuanya berkata jujur.


 

"Prajurit sudah berteriak memperingatkan menepi, anak laki-laki itu juga ada di sana, dan aku pastikan mendengar, kecuali ia tuli!" kata warga dengan tegas dan yakin akan pernyataannya. Begitu juga warga yang lainnya yang melihat langsung, jawabannya sama.


 

Sultan beralih ke perampok yang mengaku ayah korban.


 

"Apa hubungannya dirimu dengan anak laki-laki yang sengaja lari ke arah tembakan?" tanya Sultan Singa.


 

"Hamba ayahandanya," jawab perampok itu.


 

"Sekali lagi aku tanya, siapa namamu?"


 

"Handi."


 

Rina baru datang dan masuk ke aula tepat saat suaminya mengaku.


 

"Jadi anak itu benar sengaja, menghalangi peluru demi melindungi ayahandanya?"


 

"Benar, Yang Mulia! Yang Mulia, aku mohon, hamba mohon, izinkan aku, maksudnya hamba, bertemu dengan putra hamba!" pinta Handi yang sudah tidak sabar karena sudah cemas memuncak. Berusaha berkata dengan baik sesuai tingkatan sosial, meskipun sesekali salah kata menyebutkan dirinya. Sesungguhnya Sultan Singa tidak mempermasalahkan sebutan status sosial itu. Berkata menyebut aku atau hamba kepadanya, tidaklah penting baginya.


 

"Jenderal Prana, tolong bawa dia ke rumah sakit istana untuk menjenguk putranya!"


 

"Baik, Yang Mulia!" ucap Jenderal Prana lalu menunduk sejenak dan membawa pergi Handi.


 

"Habis sudah aku tidak jadi memiliki Dinar dan emas!" batin Rina sangat kesal dan kecewa dengan suaminya itu.


 

Tedysah juga kecewa dengan jawaban Handi.


 

"Tidak jadi Dinar dan emasnya," gerutu Tedysah dalam batinnya.


 

"Semua warga sudah dengar? Jika Zein tidak bersalah sama sekali! Maka dari itu, Zein dibebaskan dengan hormat." Palu diketuk. "Selain itu aku memiliki laporan tentang adanya pelaku penipuan, yang memang biasa menipu, untuk mendapatkan uang. Tedysah, kamu akan kami tahan atas tuduhan provokasi dan penipuan. Kamu bukan keluarga ibu Rina. Aku punya buktinya!"


 

Prajurit segera membawanya pergi.


 

"Ampun, Yang Mulia! Ampun!" pekik Tedysah.


 

"Ibu Rina, kau juga berbohong kepada seorang sultan. Kau juga harus ditahan!"


 

Prajurit hendak membawa pergi Ibu Rina.


 

"Ampun, Yang Mulia! Ampun!"


 

"Tunggu, sebelum ditahan, aku akan memenuhi janjiku dahulu! Jenderal Sauqy, ambilkan satu kotak Dinar dan satu kotak emas!"


 

Jenderal Sauqy menunduk sejenak lalu bergegas pergi. Tidak lama kemudian kembali dengan dua buah kotak seperti yang diminta oleh Sultan Singa.


 

"Berikan kepada ibu Rina!" perintah Sultan Singa.


 

Jenderal Sauqy memberikan.


 

Rina membuka satu kotak dan matanya berbinar. Rina membuka kotak kedua dan matanya semakin berbinar.


 

"Silakan bawa, sambil mendekam di penjara!" kata Sultan Singa.


 

Prajurit kembali membawa Rina.


 

"Ampun, Yang Mulia! Ampun, Yang Mulia!"