Contents
Akulah Mantan
Chapter III: Takdir Mantan
Lima tahun kemudian…
Mantan sudah berusia dua puluh dua tahun. Siang itu, dia mengunjungi makam Arsi yang sudah dua tahun meninggal dunia. Lalu terlihat Gigi yang sudah berusia dua belas tahun mengenggam tangan Mantan.
“Bibi ngga usah khawatir, Gigi sehat. Lihat tuh bi, sejak masuk asrama dia jadi banyak makan.”
Gigi tersenyum sambil mendekap papan nama ibunya itu.
“Tapi Gigi mau pisah sama kak Tan bu. Kakak Tan mau pergi ke Jakarta cari kerja.”
Mantan menoleh sedih mendengar Gigi yang sedih akan ditinggalnya. Mantan hanya bisa memeluk Gigi, terlihat sangat sayang.
“Kamu juga harus sekolah sampai selesai, yang pinter dan rajin. Nanti ketika kamu lulus, kita ketemu lagi yah.”
“Kakak mau kerja apa sih di Jakarta? Jauh kak.”
Mantan ngga jawab hanya memeluk dan menyimpan sedihnya dalam diam.
“Mantan pamit ya bi. Tian minta maaf ngga bisa kesini, karena dia ada tes mau jadi supir orang kaya katanya.” Mantan tersenyum hanya untuk menyembunyikan kepelikannya.
Sejak Jaia meninggalkan Arsi, Mantan menjadi kepala keluarga bagi keluarga Arsi dan mencari biaya serta cara bagaimana supaya Gigi tetap sekolah dan Tian bisa melanjutkan kuliahnya. Selain berjualan kue cucur. Mantan juga suka part time di pom bensin atau jadi pelayan di restoran. Untungnya dengan kegigihan Mantan, dia bisa bekerja dengan baik.
Tian ternyata selama ini malas kuliah hingga surat drop out keluar. Mantan menekan Tian untuk bisa mengurus ibunya di rumah saat akhirnya Arsi divonis sakit kanker rahim. Tian yang awalnya sangat susah diatur, malah kena tulahnya sendiri. Tian mengalami kecelakaan dan itu membuat dia sadar kalau hanya keluarga yang dapat mendekatkannya. Tapi memang Tian sudah tidak kuat dengan tekanan keluarga yang seperti itu. Alih-alih cari pekerjaan, Tian ternyata kabur setelah Arsi meninggal dunia.
Namun ternyata Tian sendiri kabur karena banyak utang yang sudah dia buat di warnet dan juga beberapa toko juga teman-temannya. Alhasil Mantan lagi yang kedapatan harus membayar utangnya. Plus menyekolahkan Gigi.
***
Jakarta 2012
Mantan telah berdandan cantik, memakai baju pelayan seperti layaknya gaun namun agak minim. Dia memasuki sebuah ruang karaoke yang cukup besar dan mewah dengan membawa buku menu.
Mantan mendapatkan tawaran untuk bekerja di restoran sekaligus karaoke dengan gaji yang cukup besar. salah satu temannya bernama Risya yang dulunya adalah anak dari pemilik toko langganan kue cucur Arsi ini menjadi salah satu sahabat Mantan yang baik sampai sekarang. Beberapa lowongan kerja juga dia dapatkan dari Risya.
Tampak di ruangan karaoke itu ada beberapa eksekutif dari yang masih berumur dua puluh tahunan sampai sudah paruh baya. Mantan menyediakan minuman dan makanan untuk ruangan tersebut. Salah satu pria yang berumur empat puluh tahunan mendekati Mantan.
“Katanya nama kamu Mantan? bagaimana bisa kamu dapat nama itu?”
Mantan bersikap biasa saja sambil menyuguhi minumannya ke bapak-bapak itu. “Iya, saya dapet namanya dari keluarga saya.”
“Malang sekali nama kamu yah…” Bapak-bapak itu sebenarnya tidak mengejek tapi menanggapi serius nama Mantan sendiri.
“Apanya yang malang? Saya baik-baik aja tuh pak.” Mantan tampak kesal karena dia pun harus terus menyuguhinya.
“Kalo gitu saya ingin tidur dengan kamu, supaya saya merasa memiliki Mantan, ya ngga pak?.” Bapak itu kemudian malah menggoda dan mengelus tangan Mantan sambil setengah mengejek dan mengajak teman di sebelahnya tertawa. Mereka semua jadi menertawakan Mantan.
“Berani bayar berapa Pak, setelah menghina nama saya?” Pertanyaan Mantan sontak membuat mereka jadi menatapnya. Apalagi suaranya membentak hampir mengalahkan suara musik yang disetel di karaokean.
“Heh kamu, berani membentak saya? Inget kerjaan kamu disini cuma Pemandu Lagu, paling juga lulusan SMA. Kalo kamu berurusan dengan saya, saya bisa adukan kamu ke manajer kamu!” Bapak itu kemudian bales nyolot.
Mantan kemudian menyiram bapak itu dengan es batu yang berada di tangki kaleng karena kesal. Semuanya terkejut. Risya yang baru masuk bawa makanan langsung menaruhnya di meja. Mantan dan bapak itu berhadapan seakan mau berantem namun rekan-rekannya mencegah. Risya juga mencegah Mantan melawan lagi. Mereka hanya saling beradu mulut.
“Saya serius dengan perkataan saya! Kamu punya nama aneh aja bertingkah! Ingat kamu masih punya hidup yang kamu tanggung, jangan songong!”
“Apa urusannya dengan nama saya? Kalau nasib saya sudah buruk, yaa itu takdir saya. Bapak yang jangan macam-macam. Ingat ada keluarga pak!
Risya langsung merasa bingung melihat itu. Hingga kemudian manajer karaoke datang. dia menengahi semuanya dan Mantan diusir seketika.
***
Mantan berjalan pulang dengan lesu. Pakaiannya sudah berganti dengan pakaian yang lebih lusuh. Dia baru saja masuk ke rumah kosannya. Namun ibu kosan langsung berhadapan dengannya.
“Sudah ada belum uangnya bulan kemarin sama bulan ini?” Bu kosan benar-benar judes sambil menjulurkan tangannya meminta uang.
“Maaf bu, saya ingkar. Saya mohon kasih saya—” Sebelum Mantan meneruskan kata-katanya, Bu kos memotong dengan lantang.
“Kalau begitu, bereskan semua barang kamu dan pergi dari sini. Saya sudah tidak terima alasan lagi.”
Mantan tidak punya pilihan dan menurutinya. Setelah membereskan barang-barangnya, dia pergi entah kemana arahnya. Namun Mantan tetap tegap berjalan walau langkahnya sangat berat. Di sebuah perempatan, Mantan melihat Risya yang ternyata berada disana untuk membeli makan. Mereka saling melihat dengan tatapan yang sama-sama ngga enak. Keduanya menuju sebuah halte kosong dan duduk disana.
“Maaf sya, soal tadi. Aku pikir aku bisa memperbaiki kelakuanku. Tapi ternyata ngga bisa.”
“Aku ngerti Ndah. Tapi hidupmu selalu ngga ada pilihan. Tadi itu pilihannya. Mau ngga mau kamu harus bisa.”
“Memang hidupku ngga pernah ada pilihan. Kalo ngga susah, ya susah. Tapi memangnya aku ngga bisa menyelamatkan kehidupanku sendiri sebagai pilihannya?”
Risya menghela nafas, “Maaf ndah, aku juga harusnya ngga menjerumuskanmu. Apalagi kamu tidak terbiasa.”
“Sya, aku ngga pernah mengeluh dalam hidupku. Aku bahkan ngga pantas mengeluh karena itu sama saja membuat hidupku makin hancur. Tapi apa aku harus memakai tubuhku supaya orang lain senang? Dua belas tahun, aku melakukan semuanya sendiri untuk almarhumah bibi, bahkan pamanku yang selingkuh, Tian yang bahkan sampai kemarin di Jakarta masih meminta atau mencuri uangku. Aku capek Sya, bahkan aku ngga bisa membahagiakan diriku sendiri.”
Mantan kemudian menangis sesenggukan, tas ransel dan kantung yang dibawanya masih dipegang hingga terlepas karena dirinya sudah tidak kuat lagi menahan beban hidup. Risya pun merangkul Mantan yang sangat terguncang dan mendekapnya.
“baru aku lihat akhirnya air matamu berjatuhan lebih deras daripada kamu menangisi bibimu sendiri. Tapi ngga apa-apa ndah, menangis lah biar lega.”
Dalam lima belas menit Mantan menangis dipelukan sahabatnya itu, bahkan tidak bisa berkata lagi. Hingga Risya pun menangis dengan Mantan yang dia panggil Indah itu.
***