Contents
Saat Cinta Menemukan Jalan
Bab 1: Tekad
"Num, apa kamu mau menikah dengan Kang Khotib? Namamu sudah hancur. Bapak tidak tahu harus bagaimana. Itu sih kalau kamu mau."
Hanum menatap sekilas lelaki setengah baya di hadapannya sebelum kembali menatap sembarang arah. Wajahnya terlihat tegang, ada raut kekecewaan terpancar, ada lara menganga dari iris mata.
"Aku tidak melakukan hal sebodoh itu, Pak," lirihku dengan nada bergetar. "Aku masih terlalu waras untuk menjatuhkan harga diriku pada putra Gus itu."
Mata Bapak menatap Hanum tajam, air mukanya terlihat keruh, tangan besarnya bergerak gusar mengusap wajah. "Lihatlah orang sekelilingmu, Num. Bapak dan Ibu tersiksa. Nama kamu sudah sangat cemar. Kamu seperti menampar wajah kami dengan kotoran hewan!"
Suara Bapak naik dua oktaf. Napas bapak memburu, dadanya naik turun dengan tempo cepat, semakin lama semakin cepat. "Kamu sudah membuat malu keluarga, Num!"
Nada bicaranya naik satu oktaf lagi. Itu bukan sebuah bentakan, Bapak hanya emosi, Bapak tidak marah padanya, tetapi saat ini Hanum rapuh, hatinya hancur, matanya tidak bisa diajak berkompromi. Air matanya merembes, deras, isakan kecil lambat laut terdengar, semakin lama temponya semakin cepat.
"Apa yang kau tangisi? Tidak ada gunanya menangis! Kau pikir dengan menangis namamu akan kembali baik?" Bapak memukul tepi dipan yang mereka duduki, lantas berdiri. "Kalau dengan menangis semua akan baik-baik saja, tangis Bapak dan Ibu harusnya sudah mampu memperbaiki semuanya tanpa sumbangan tangismu!"
Hanum mengusap mata kasar. Dia berusaha semampu mungkin menggigit bibir bawah, menahan isak agar tak kembali lolos. Menunduk dalam. Nyeri di ulu hatinya tak dapat dibohongi, sangat menyiksa hingga membuat sulit bernapas. Berulang kali Hanum mengurut dadanya naik-turun, berharap meredakan sedikit nyeri.
"Kau mau menikah dengan putra Gus Rahman, Kang Khotib?" Bapak mengulangi lagi pertanyaannya. Itu memang topik awal yang ingin dipertanyakan. "Kau mencintainya?"
Hanum menggeleng mantap meskipun tanpa menatap Bapak. Dia sangat takut melihat wajah pria itu saat ini. Alis yang bertaut, mata memerah, tatapan tajam. "Aku sudah punya Mas Fariq, Pak."
Bapak kembali mengusap wajah kasar. Dadanya naik turun, dengan tempo lebih teratur. "Ini bukan tentang Fariqmu itu! Jangankan dia, lelaki yang kamu cintai, lelaki yang sangat mencintaimu pun akan meninggalkanmu saat mengetahui berita ini dari mulut orang lain!"
Hanum memberanikan diri menatap pria itu. "Aku akan menceritakannya sebelum orang lain."
Bapak tertawa, air mukanya tampak meremehkan. "Dia akan meninggalkanmu!"
"Aku akan berusaha mempertahankan hubunganku dengannya," ucap Hanum mantap, dengan air mata yang semakin deras membasahi pipi.
"Dia tidak akan percaya," tegas Bapak, sengaja menekan pada setiap kata.
Gadis pemilik kulit kuning langsat itu menangis sesegukan. Ujung lengan bajunya sepenuhnya basah, digunakan mengelap duka yang tiada henti. "Aku akan berusaha," lirihnya dalam kepiluan.
"Fariq itu lelaki yang tampan, pintar, berpendidikan. Lihat dirimu sekarang, lihat! Mana sudi dia bertahan dengan perempuan sepertimu? Perempuan stres, gila, merendahkan diri mengajaknya menikah, merengek membangunkan lelaki yang bukan mahrammu tidur!" Isakan Hanum semakin menjadi. Bapak sengaja menekan kalimat terakhir, berniat menampar kuat-kuat putri sulungnya agar menyadari sebuah kenyataan. "Mana mau Fariq dengan perempuan sepertimu, hah? Lihat lagi dirimu, Bapak, Ibu. Kamu anak orang miskin, nama baikmu rusak pula, tanpa kelebihan, semua membencimu. Siapa yang akan mau padamu?"
Nada suara Bapak semakin meninggi. Tangis Hanum kembali menjadi. Saat ini lengan bajunya sepenuhnya sudah basah.
"Aku tidak mau," ucap Hanum terbata-bata diantara isak. "Aku tidak mau menikah dengan Kang Khotib, sampai kapan pun itu." Hanum memejamkan mata cukup lama. "Aku tidak sudi menjadi mantu pria yang sudah memfitnahku. Hidupku akan semakin hancur jika itu terjadi."
"Dan saat kamu tidak menikah dengannya kamu yakin hidupmu tidak akan hancur?" Bapak meraih pundak Hanum, mengguncangnya hingga netra gadis itu terkunci dengan iris Bapak. "Sadar, Num, hidupmu sudah hancur! Sangat-sangat hancur." Bapak menekan kalimat terakhir, bahkan memberikan tempo sebelum melanjutkan kata sebelumnya.
"Jalan hidupku masih panjang, Pak." Hanum mengelap mata dengan punggung tangan, menghilangkan embun yang menghalanginya menatap raut keruh Bapak. "Aku akan tetap melanjutkan sekolah, lulus dengan citra baik, dan bekerja."
Sebelah bibir Bapak terangkat. Pria itu mengalihkan pandang, menyapu benda-benda di sekeliling dengan mata. Sendu tersirat, Hanum menatap Bapak dengan sorot kehancuran yang tak dapat dijabarkan. "Tidak apa-apa semua orang tidak mempercayaiku." Suaranya bergetar. "Asal, Bapak dan Ibu masih menyisakan sedikit ruang kosong untuk percaya padaku." Hanum menarik napas panjang. "Aku kuat, aku masih kuat untuk menjalani semua ini. Aku hanya butuh doa dan dukungan. Kalaupun keduanya tidak ada padaku, cukup biarkan aku berjuang atas hidupku."
Hanum menarik napas lebih panjang dari sebelumnya, berusaha meringankan sesak di dada. Kembali menatap Bapak yang masih tak Sudi menatapnya. Tangisnya kembali pecah. Harusnya saat ini dia sibuk memilih Sekolah Menengah Atas yang akan menjadi tempat belajar selama tiga tahun, sibuk berdiskusi dengan orang tua tentang jurusan apa yang akan diambil, sibuk mendengarkan wejangan agar nanti saat di sekolah baru menjadi murid yang baik, sopan, dan berprestasi. Namun, kali ini Hanum sangat berbeda, jangankan mendapat satu dari sekian banyak hal itu, dia malah berada di ujung tanduk memperjuangkan dirinya untuk tetap melanjutkan sekolah.
"Aku akan membuktikan, meskipun aku perempuan, namaku sudah hancur sejak remaja, aku bisa membuat Bapak dan Ibu bangga." Hanum menatap deretan genting yang membuat rumah ini terlindung dari panas dan hujan. Setelah dirasa air matanya tak akan merembes lancang, dia kembali memandang wajah Bapak yang masih membuang muka. "Suatu hari nanti akan kubuktikan meskipun semua orang menganggapku perempuan stres, gila, merendahkan diri mengajaknya menikah, merengek membangunkan lelaki yang bukan mahrammu tidur, aku layak mendapat pekerjaan bagus dan memiliki pasangan lebih baik dari Kang Khotib." Hanum mengangguk kecil. "Aku yakin itu. Karena aku bukan perempuan seperti Gus Rahman ucapkan, aku waras, sangat-sangat waras, dan aku tidak serendah itu mengemis cinta."
Hanum kembali menatap deretan genting. "Iya, aku yakin. Yakin Allah melihat semua dengan jelas. Yakin Allah tidak akan terkecoh dengan fitnah Gus Rahman. Kalaupun aku ditinggalkan Mas Fariq karena hal ini, aku ikhlas, Mas Fariq bukan jodohku. Allah akan mengirimkan lelaki yang jauh lebih baik dari Mas Fariq."
Hanum tersenyum kecut saat Bapak belum juga sudi menatap wajahnya. "Setidaknya kalau memang Bapak sangat malu memiliki aku sebagai anak, jangan biarkan aku membenci Allah karena menciptakanku hingga ada di keluarga ini." Hanum tak berhasil melapisi tembok pertahanan. Tembok itu malah hancur menjadi butiran debu. Air mata kembali merembes, deras. "Cukup aku membenci diriku sendiri. Jangan sampai berlanjut membenci Allah dan semua ciptaan-Nya."
Bersambung ....