Contents
Saat Cinta Menemukan Jalan
Bab 2: Rido Guru
Hanum mengurung diri dalam kamar. Tidak ada air mata yang membasahi pipi, pun isakan kecil yang lolos diantara rongga mulut. Tatapan matanya kosong. Gadis pemilik netra sipit itu duduk di sudut ranjang, tubuhnya bersandar pada tembok dengan posisi memeluk lutut.
Jendela kamar yang biasa terbuka, Siang ini luput dari jangkauan tangan. Kamar yang selalu rapi tampak berantakan. Bantal, guling, dan selimut memenuhi ranjang. Tumpukan buku paket di di rak sudut ranjang ambruk. Bukan karena Hanum terlalu tak rapi meletakkan buku, tetapi karena sandaran ranjang semalam dia hujani dengan tendangan, melampiaskan amarah.
Suara perut keroncongan mengisi kesunyian ruangan ini. Matahari di luar sudah cukup menyengat.
"Hanum, makan! Siapa yang akan merawatmu kalau sakit? Jangan mempersulit keadaan!" Suara Ibu menariknya kuat dari lamunan, lamunan yang tanpa ujung dan tujuan.
Hanum menoleh ke kanan ke kiri bertempo cepat, wajahnya terlihat bingung. Ibu berteriak mengulangi kalimat yang sama. Bedanya kali ini suaranya naik satu oktaf dengan suara langkah kaki mendekat. Kelambu kemar terbuka. "Makan tidak makan terserahmu! Aku tidak peduli!"
Hanum mengangguk kecil, sekali, lantas menyembunyikan wajah di antara lutut.
"Num, cepat makan!" pekik Ibu lagi, sebelum langkah kakinya terdengar menjauh.
Hanum beranjak menuju dapur kali ini. Namun, sebelum itu dia merapikan bantal, guling, dan selimut yang tak karuan di ranjang, lantas membuka jendela kamar.
Nasi putih, tempe goreng, sambal tomat. Ini menu seperti biasanya. Bedanya, jika biasanya Hanum akan nambah berulang kali saat makan, saat ini sedikit nasi pun dia berusaha sekuat mungkin untuk menghabiskan.
Suara orang berbicara dari luar rumah mengusik aktivitas Hanum. Gadis itu tak langsung keluar karena penasaran, tetapi lebih memilih menghabiskan makanan terlebih dahulu. Karena jika ditinggal dan dilanjut nanti makannya, besar kemungkinan tidak akan dilanjutkan. Karena, untuk menghabiskan ini saja sudah sangat memaksa.
"Kasihan orang tuanya. Orang tak punya, anaknya minim harga diri."
Kalimat itu menyapa indra pendengaran gadis pemilik rambut hitam panjang. Hanum semakin mendekat, tidak keluar rumah, tetapi suara Mak Tik yang berbicara dengan Ning Fatimah terdengar sangat jelas. Mungkin karena keadaan pintu rumah Hanum tertutup tak terlalu rapat.
Hanum menyimak dengan saksama. Gadis itu tak langsung menyimpulkan jika yang dibicarakan dua wanita itu dirinya. Dia masih mengingat jelas penjelasan Ning Fatimah tentang keharusan berhusnuzon. Dia berusaha menerapkan hal itu.
"Anak orang miskin, kebanyakan gaya. Sok cantik sekali dia." Hanum masih terheran-heran dengan seseorang yang dibicarakan, tetapi dia tidak berpikir dangkal.
Terlihat Ning Fatimah tersenyum pada Mak Tik. Mak Tik merupakan saudara dekat Hanum, tepatnya adik kandung neneknya Hanum dari Bapak. "Sudahlah, Mak. Bagaimana lagi? Yang penting anakku sudah berbaik hati menolaknya halus. Dia sendiri saja yang lupa diri sampai ngeyel minta dinikahi putra Gus."
Deg. Jantung Hanum seolah maraton, detaknya tak bisa dikendalikan. Nyeri itu kembali datang. Namun, gadis lima belas tahun itu tetap melanjutkan menyimak.
"Dia memang anak yang tak tahu malu. Tak punya harga diri. Sebagai perempuan aku juga ikut malu," ucap Mak Tik menggebu-gebu.
Sedari dahulu Mak Tik memang tidak suka dengan keluarga Hanum. Namun, karena merasa harus hormat kepada orang yang lebih tua, terutama masih saudara dekat, Bapak dan Ibu selalu baik kepada keluarga Mak Tik, mengajarkan Hanum dan Nina, adik Hanum, seperti itu juga.
"Sudahlah, Mak. Sudah terlanjur juga. Yang penting sekarang anakku tak diganggu," ucap Ning Fatimah seraya tersenyum. "Assalamualaikum," lanjutnya sebelum berlalu.
Hanum bingung harus bertindak bagaimana menghadapi masalah ini. Ning Fatimah merupakan guru ngajinya. Tak hanya ngaji Alquran, tetapi juga kitab. Sedangkan Kang Khotib juga merupakan guru ngajinya kitab kuning. Gus Rahman termasuk orang yang sedari dirinya kecil sering membagikan gemblengan-gemblengan ilmu agama.
Ini sulit. Sangat sulit. Ingin berontak, tidak ada yang percaya dengan penjelasannya. Masyarakat menganggap remaja seusia Hanum sudah sangat lihai untuk berbohong. Juga, bagi mereka tak mungkin Gus Rahman memfitnah orang, terlebih dia anak sulung Kiai kondang di daerah ini. Alumninya di mana-mana, berbagai daerah, mulai Jawa, Lampung, Sumatra, bahkan Sulawesi. Dulu, saat Hanum masih kecil, santri putra dan putri berjumlah kurang lebih seribu orang. Meskipun sekarang santri di sini tidak seramai dulu, tetapi tetap, acara alumni rutin dilakukan setiap tahun. Alumni sering berkunjung ke mari. Hampir setiap hari tak pernah sepi dari kunjungan. Lantas, saat mulut sang Gus berujar, siapa yang akan percaya pada manusia seperti Hanum?
"Ya Allah, tolong aku," lirih Hanum dengan suara bergetar. Air mukanya keruh, sorot matanya sendu.
"Nasibku, aku belajar ilmu agama bertahun-tahun, berusaha keras mengabdi agar mendapatkan rido guru berakhir sama sekali tidak akan diridoi," tutur Hanum dengan nada miris. Terdengar sangat miris.
Selama mengaji di kediaman Gus Rahman, Bapak selalu memintanya tetap di sana meskipun bukan waktunya mengaji. Kata Bapak, "Yang lebih utama dari mencari ilmu adalah rido guru. Rido guru tidak bisa dibeli dengan uang. Rido guru itu istimewa, bisa mengantarkanmu selamat dunia akhirat. Kalau kamu mau rido gurumu, mengabdilah padanya."
Masih teringat sekali kalimat Bapak saat itu, saat pertama kali Hanum menginjakkan kaki mengaji di kediaman Gus Rahman, tepat di depan rumahnya. Rumah Hanum menghadap kamar mandi belakang rumah Gus Rahman.
Saat itu Hanum yang bingung dengan maksud penuturan Bapak, lantas bertanya. "Mengabdi? Maksudnya?"
"Bantu semua pekerjaan yang bisa kamu kerjakan saat berada di sana. Jangan pernah membuat gurumu kecewa padamu. Dengan begitu rido sang guru akan mengalir padamu." Hanum berusaha keras menelaah penuturan Bapak. Saat itu dirinya masih berusia tiga belas tahun. "Iya, seperti membantu mencuci menyapu saat baru datang di sana. Saat ada acara membantu mengelap piring. Pokoknya semua pekerjaan yang kamu bisa. Kalau gak bisa, bertanya. Banyak ilmu yang akan kamu dapat."
Hanum mengangguk. Dia baru paham dengan maksud Bapak. "Baik, Pak. Aku usahakan." Hanum mencium punggung tangan Bapak sebelum berangkat mengaji, "Assalamualaikum, Pak."
Kenangan itu bak kaset yang diputar ulang dalam iris mata. Hanum masih mampu mengingat semua suasana saat percakapan itu terjadi. Bahkan, dia menerima nasihat Bapak dengan rasa bahagia. Tujuan utamanya, rido guru, bukan lagi prestasi gemilang yang seperti selalu dia dapat saat menghadapi ujian semester. Saat itu Hanum seperti menemukan tujuan baru dalam hidupnya, tujuan yang dalam hatinya sangat yakin akan membawanya pada kebaikan. Namun, tanpa dia sadari, tidak ada kebaikan yang benar-benar baik di semesta ini. Allah selalu punya cara untuk menguji umatnya, melalui hal yang menjadi tujuan utama, seperti Hanum. Rido guru yang membawanya pada masalah besar. Masalah yang membuatnya menangis tersedu-sedu tanpa mampu bersuara. Masalah yang membuat hidupnya hancur, berkeping-keping bersama nama baiknya.
Bersambung ....