Try new experience
with our app

INSTALL

Dunia Lain Michelle 

Bab 1. Mimpi

"Firasat aku nggak enak, mending balik aja yuk, Ki." Michele menarik-narik lengan jaket yang Rifki pakai sembari memandang ngeri rumah tua yang menjulang tinggi di depan mereka. 

 

"Tanggung, Chel. Perjalanan ke sini jauh tahu." Berbeda dari Michele yang enggan melanjutkan niat mereka untuk memeriksa rumah tua—yang memang tampak mengerikan itu, Rifki lebih penasaran dengan apa yang sebenarnya ada di dalamnya. 

 

Michele bercerita mengalami mimpi yang sama tentang rumah ini, dan mimpi tersebut terus mengganggu selama tujuh hari berturut-turut. Hal itulah yang membuat Rifki penasaran dan segera mencari tahu tentang rumah tua yang Michele maksud. Tidak mudah untuk bisa menemukan keberadaan rumah ini karena letaknya memang cukup jauh dari kota, dan rumah ini berdiri kokoh sendiri di lahan kosong jauh dari penduduk lain.

 

"Tapi rumahnya serem banget, Ki," ujar Michele lagi sembari mengedar pandang ke sekitar. Suasana tiba-tiba saja berubah mendung, dan sepertinya akan turun hujan. Jangan sampai mereka terjebak di tempat ini. 

 

"Kita masuk bentar, liat apa ada pintu seperti yang kamu liat di mimpi. Kalau ternyata nggak ada, udah kita balik." Rifki berujar enteng, seperti masuk ke rumah tua dengan bangunan dua lantai itu adalah perkara mudah yang tidak memiliki risiko. 

 

Bagaimana jika mereka bisa masuk, tetapi tidak bisa keluar? Ditawan oleh hantu penunggu rumah ini misalnya, seperti yang sering terjadi di film-film. Segala hal buruk memang terus terpikirkan di kepala Michele. 

 

"Kalau ada?" Michele benar-benar menyesal telah menceritakan mimpinya kepada Rifki, seharusnya dia pendam saja cerita mimpi itu sendiri, dan menganggapnya sebagai bunga tidur. 

 

"Ya, kita liat," ujar Rifki lagi masih dengan nada santai. Seperti tidak ada rasa takut sedikit pun di benak pemuda itu.

 

Michele yang merasa percuma mendebat Rifki akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah itu. Meninggalkan sepeda motor Rifki di depan pintu gerbang, keduanya melangkah secara perlahan.

 

"Gerbangnya pasti dikunci." Michele masih berharap mereka tidak bisa masuk, lalu secepatnya pergi dari tempat ini. Tempat yang terasa seperti uji nyali baginya.

 

"Kita coba du—" Kalimat Rifki tidak selesai karena gerbang tinggi dengan warna keemasan yang sudah memudar di depan mereka tiba-tiba saja terbuka. 

 

"Duh, Ki." Michele mengeratkan genggamannya di lengan Rifki yang mendadak merasa ngeri juga. Namun, rasa penasaran lebih mendominasi pemuda itu, maka setelah menenangkan Michele dengan tepukan di punggung tangan gadis itu, keduanya kembali melangkah. 

 

"Untuk rumah tua, ini tempatnya bersih banget loh," gumam Rifki sembari mengedar pandang. Memang rumah tua itu terlihat cukup terawat. Tidak ada ilalang yang tumbuh di halaman rumahnya, tidak ada juga daun kering yang berserakan. Padahal ada beberapa pohon yang tumbuh rimbun. Seperti, setiap harinya halaman rumah tua ini terus dibersihkan entah oleh siapa. 

 

Michele yang memiliki pemikiran sama hanya diam. Hal ini justru membuatnya bertambah ngeri. Siapa orang yang akan membersihkan rumah kosong mengerikan ini? Kalau tidak—gadis itu menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus pemikiran mengerikan yang terus muncul di kepalanya. 

 

"Terasnya juga bersih," kata Rifki lagi. Merasa yakin jika rumah ini tidak dibiarkan terbengkalai begitu saja, tetapi ada yang merawatnya. Tidak banyak informasi yang didapatnya tentang rumah ini. Hanya ada satu informasi yang mengatakan jika rumah ini pernah dihuni oleh satu keluarga, dan selebihnya tidak ada informasi tambahan apa-apa lagi. 

 

"Gimana buka pintunya?" Mengabaikan perkataan Rifki, Michele memilih untuk memandang pintu kayu yang menjulang di depannya. Baru saja dia berpikir apakah pintu ini akan terbuka sendiri seperti pintu gerbang, pintu cokelat itu secara perlahan membuka sendiri. 

 

Rifki dan Michele saling berpandangan dengan pemikiran waswas yang sebenarnya terus mengerogoti. Namun, karena sudah merasa tanggung jika harus kembali, keduanya pun memutuskan untuk masuk. 

 

"Permisi," bisik Rifki sembari melongok ke dalam rumah yang dia pikir kondisinya akan gelap. Namun, ternyata lampu mnenyala meski tidak terang benderang. Meski lampu redup itu malah menambah kesan mistis rumah ini, tetapi setidaknya mereka masih bisa melihat sekeliling. 

 

"Kok, lampunya nyala, ya?" Michele menelah salivanya sembari mengedar pandang. Dari luar, tidak menunjukkan jika lampu rumah ini menyala, dan ini cukup aneh. 

 

Belum sempat Rifki menyahut, keduanya dikejutkan dengan suara debum pintu yang cukup keras. Ternyata pintu besar di belakang merekalah yang tertutup dengan sendirinya. Rifki yang sejak tadi berusaha berani, akhirnya merasa ciut juga. Akan tetapi pemuda itu tidak menunjukkannya karena takut Michele akan bertambah tidak tenang. 

 

"Ki, ini beneran ada orang apa gimana, ya?" Michele yang selama ini merasa tidak akan takut pada apa pun, kali ini benar-benar terasa diuji nyalinya. 

 

"Nggak tahu, udah kita cari pintu yang kamu liat aja."

 

Michele mengangguk, dan berharap tidak menemukan sesuatu yang berbahaya setelah ini. "Di mimpi aku, pintunya ada di bawah tangga."

 

Rifki mengangguk paham, dan mengayunkan kakinya ke bawah tangga. Melawan rasa takut yang terus saja bertambah. 

 

"Ada," bisik pemuda itu sembari menoleh pada Michele yang juga ikut melihat ke arah sama. Di mana, ada sebuah pintu kayu dengan warna biru di bawah tangga tersebut. Benar-benar sama persis dengan apa yang ada di mimpinya. 

 

"Kita buka," ujar Rifki lagi. Michele hanya menganggukkan kepalanya karena kini bukan hanya rasa takut yang mendominasi, tetapi juga rasa penasaran yang ikut menyerobot masuk. Kira-kira apa yang ada di dalamnya? 

 

"Kalau nggak ada apa-apa kita langsung pergi, ya?" pinta Michele berharap tidak akan menemui apa pun, dan juga tidak akan terjadi hal yang tidak diinginkan menimpa mereka. 

 

Rifki hanya mengangguk, dan berusaha mendorong pintu kayu yang kini sudah berada di depan mereka. Namun, pintu itu sama sekali tidak terbuka. 

 

"Dikunci yang ini," kata pemuda itu sembari menoleh pada Michele yang tampak mengingat sesuatu. 

 

Gadis itu lalu membuka bandana di kepalanya saat mengingat sesuatu. Tanpa bersuara, diikatnya bandana berwarna merah di tangannya ke gagang pintu. Keduanya lalu saling melempar tatap dalam diam saat tidak terjadi apa pun. 

 

"Kuncinya—" Kalimat Rifki tertahan saat tiba-tiba saja pintu di depan mereka mengeluarkan sinar, lalu perlahan terbuka. Gelap, hanya itu yang keduanya lihat setelah pintu terbuka sepenuhnya.

 

"Ki." Michele menahan lengan Rifki yang sudah berniat untuk melangkah masuk. Kali ini, apa yang dirasakannya melebihi sekadar rasa takut. Ada perasaan asing yang tidak Michele mengerti. 

 

"Kita liat sebentar aja, lalu pergi."

 

Michele tidak langsung mengangguk karena yakin tidak akan bisa keluar jika mereka sudah melewati pintu ini. Namun, untuk pergi di waktu seperti ini juga rasanya tidak mungkin. Maka, gadis itu pun mengangguk dan keduanya melangkah masuk. 

 

Michele berteriak saat merasakan tubuhnya seperti tersedot masuk ke sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Hanya gelap yang dia lihat dan tidak tahu apa yang akan ditemuinya setelah membuka mata. Dan satu lagi, apakah Rifki masih akan ada di sampingnya jika dia membuka mata setelah ini?