Contents
Dunia Lain Michelle
Bab 2. Dunia Lain
Hal pertama kali yang Michelle lihat saat membuka mata adalah pepohonan rimbun yang kini mengelilinginya. Suasana sepi, tetapi anehnya dia tidak merasa takut sama sekali. Malah seperti ada rasa familier yang kini menyambangi perasaannya. Seperti dia pernah berada di tempat ini, dan di sinilah seharusnya dia berada.
"Rifki," gumam gadis yang mengikat rambut panjangnya menjadi satu ke belakang itu sembari mengedar pandang. Suasana gelap, tetapi masih ada cahaya rembulan yang membuatnya mudah untuk melihat sekitar. Akan tetapi, apa yang dicarinya tidak ada. Rifki tidak ada di mana-mana. Michelle sudah hendak berteriak, tetapi tiba-tiba saja sebuah tangan membekapnya dari belakang, dan menarik tubuhnya untuk merunduk.
"Ssst, jangan berisik," ujar suara asing di belakang. Michele mencoba untuk melihat siapa orang yang masih membekap mulutnya, tetapi tidak berhasil. Namun, dia tahu jika orang yang ada di belakangnya adalah seorang pemuda.
"Lihat ke depan!" ujar pemuda yang berbicara menggunakan bahasa aneh itu. Namun yang lebih aneh, Michelle memahami bahasa tersebut.
Michelle mengikuti perintah tersebut, dan melebarkan mata saat melihat sosok Rifki kini berada di dalam kotak kayu seperti kandang, dan diangkat oleh empat orang laki-laki berbadan besar. Penampilan mereka aneh, baju yang dikenakan berwarna hitam dan semuanya mengenakan penutup kepala dengan warna sama.
"Temen kamu masih aman dua malam ke depan," ujar pemuda di belakang Michelle lagi.
Michelle yang sudah tidak tahan karena mulutnya terus dibekap berusaha memberontak. Dan akhirnya bisa lepas saat pemuda dengan penampilan tidak kalah aneh itu melepaskannya. Michele langsung beringsut mundur, mencari jarak aman agar pemuda dengan penampilan serba cokelat itu tidak mampu menjangkaunya.
"Siapa kamu?" Michele terkejut dengan bahasa yang dipakainya sendiri. Sejak kapan dia bisa berbicara dengan bahasa asing seperti ini? Entah bahasa apa yang sedang dirinya gunakan. Seumur hidup, sepertinya baru sekarang Michelle mendengarnya.
Pemuda itu malah tersenyum, memerhatikan Michelle seolah-olah mereka adalah teman yang sudah lama tidak berjumpa.
"Kamu tidak mengingatku?" Pemuda dengan rambut panjang yang digerai itu tampak menelengkan kepalanya. Bandana berwarna merah yang kini terpakai di kepala cukup menarik perhatian.
Michelle langsung menggelengkan kepalanya karena merasa yakin tidak mengenal pemuda asing ini.
Pemuda itu malah mengangguk-anggukan kepalanya, seolah-olah paham betul kenapa Michelle melupakannya.
"Ramuan itu memang bisa membuat kamu kehilangan ingatan kamu. Tapi aku bersyukur kamu masih hidup." Pemuda itu kembali tersenyum, kulit kecokelatannya seolah-olah bersinar di bawah cahaya rembulan.
Michelle mengerutkan kening karena tidak paham dengan apa yang pemuda di depannya ini bicarakan.
"Simpan pertanyaan kamu, lebih baik kita pergi dari sini," bisik pemuda itu saat sadar mereka masih berada di sarang musuh.
"Tapi—"
"Kita pikirkan cara untuk menyelamatkan teman kamu. Dan kamu juga harus tahu siapa kamu sebenarnya."
Michele bingung, tetapi dia percaya pemuda yang belum dirinya ketahui namanya ini bukan orang jahat. Entah apa yang sebanarnya terjadi, untuk saat ini yang dia tahu dia hanya bisa mengandalkan pemuda berwajah manis ini untuk bisa menyelamatkan Rifki.
*
"Itu desa kita," ujar pemuda yang akhirnya memperkenalkan diri sebagai Ayoga itu sembari menunjuk dikejauhan. Di mana sekumpulan rumah terlihat dari atas bukit tempat kini mereka berdiri.
"Kamu bisa melihat ada yang aneh dari tempat itu?" Ayoga menoleh ke arah Michelle, memerhatikan gadis itu yang tampak sedang mencari keanehan. Lalu tersenyum maklum saat Michelle menggelengkan kepalanya.
"Desa kita disihir," ujar Ayoga lagi. Kali ini Michelle tampak terkejut dan juga bingung. "Tidak ada seorang pun yang bisa keluar dari tempat itu, mereka semua diperintah dengan semena-mena oleh Ratu Adora."
Michelle mengernyitkan kening saat merasa seperti tengah mendengar dongeng seorang peri jahat.
"Aku akan jelaskan pelan-pelan. Tapi sebaiknya kita kembali ke tempat persembunyian, tidak aman di sini."
Michele hanya bisa mengangguk, memasrahkan semua yang akan mereka lakukan pada Ayoga. Gadis itu mengikuti langkah Ayoga yang kini menuju ke tempat gelap.
"Tidak usah takut, kita hanya perlu menyeberangi tempat gelap itu dan sampai ke tempat persembunyian," ujar Ayoga saat sadar Michelle memelankan langkah dan memasang ekspresi ngeri.
Lagi-lagi Michelle hanya bisa mengangguk, mencoba menyingkirkan rasa takutnya gadis itu terus mengikuti langkah Ayoga. Benar saja, tempat gelap yang dilihatnya ternyata hanya seperti sebuah pintu dan kini mereka berada di tempat di mana banyak bunga bermekaran. Terdapat satu pondok kecil yang Michelle yakini sebagai tempat persembunyian untuk mereka.
"Kita yang menemukan tempat ini dulu, hanya kita yang tahu tempat ini, dan ternyata ini kegunaan tempat ini," ujar Ayoga sembari mendorong pintu kayu di depannya.
Michelle hanya diam mendengarkan sembari mengedar pandang. Rumah kayu ini sangat nyaman, udara di sini juga sangat sejuk. Tidak panas, dan juga tidak dingin.
"Kamu duduk dulu, aku ambilkan makanan, kamu pasti lapar." Ayoga melangkah ke dalam, sementara Michelle memilih untuk duduk di sebuah bangku kayu yang berada di pinggir jendela.
"Hanya ada makanan ini, semoga lidah kamu masih cocok." Ayoga kembali dengan sepiring makanan dan juga gelas kayu. Michele seperti berada di alam lain, di mana semuanya masih serba tradisional. Atau, dia kembali ke zaman dulu di mana teknologi belum ada? Entahlah, yang pasti saat ini dia sangat lapar dan segera menyantap makanan yang entah terbuat dari apa. Namun, saat mengunyahnya rasanya seperti roti.
"Bagaimana kehidupan kamu di alam manusia?" tanya Ayoga sembari memerhatikan Michelle yang tengah mengunyah makanannya. Dan tersenyum saat gadis itu tampak terkejut dengan pertanyaannya.
Alam manusia? Kenapa Ayoga harus menyebut dunianya sebagai alam manusia? Jadi, tempat ini bukan alam manusia? Jika bukan, lalu apa? Tiba-tiba saja rasa takut itu datang, makanan yang terasa enak di mulutnya pun mendadak menjadi hambar.
"Tenang saja, kita bukan bangsa hantu." Ayoga mengikik saat mengatakan itu, seperti paham dengan apa yang Michelle pikirkan saat ini.
"Lalu? Jika bukan manusia, kalian apa?" Michelle memberanikan diri untuk bertanya.
"Kalau aku jawab kita bangsa peri, apa kamu percaya?"
Michelle sampai terbatuk-batuk saat mendengar jawaban itu. Sepertinya dia sedang gila, atau kini dirinya tengah bermimpi? Jika ini memang mimpi, bolehkah dia bangun saja sekarang? Sungguh, Michelle tidak tahan untuk menahan logikanya agar tidak tumpul secara mendadak.
"Dan asal kamu tahu, kamu juga sama denganku. Kita bukan dari alam manusia. Kamu di sana hanya semntara. Dan sekarang, sudah waktunya kamu kembali. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan desa dan juga orang tua kita."
Michelle tidak hanya terbatuk, tetapi juga menyemburkan minuman yang belum berhasil ditelannya.