Try new experience
with our app

INSTALL

Gadis Lantai 7 

1 - Si Manis Mia

Rifki baru saja duduk di bangkunya dan bersiap mengerjakan PR, ketika seorang gadis manis tiba-tiba duduk di bangku depannya.

Rifki hanya melirik sekilas wajah asing yang menatapnya itu, lalu kembali sibuk dengan buku di hadapannya. Gara-gara semalam hujan deras dan kamarnya bocor, dia belum mengerjakan PR yang harus dikumpulkan hari ini. Jadi dia hanya punya waktu tiga puluh menit untuk menyelesaikan PR-nya.

"Kamu Rifki, kan?" tanya gadis manis berambut panjang sepinggang itu.

Rifki menoleh sejenak dan tersenyum singkat. Telinganya menangkap nada aneh pertanyaan gadis itu, tapi dia tidak tahu apa. "Iya. Ada yang bisa gue bantu?"

Sebagai Ketua OSIS, Rifki tidak boleh mengabaikan satupun siswa di SMA Rajawali. Meski gadis manis ini sudah jelas berniat mengganggunya mengerjakan PR.

"Aku Mia."

"Hm." Rifki tidak menoleh, berusaha mengerjakan soal matematika yang cukup membuat keningnya berkerut.

"Kamu bisa basket, kan?"

Mendengar kata basket, sontak Rifki teringat pada Aldino. Mantan sahabatnya yang jagoan basket, dan menjadi idola para gadis se-Rajawali.

"Lu salah orang kalau mau masuk tim basket. Maaf." Rifki menggaruk kepalanya yang tidak gatal, gadis di depannya telah sukses membuatnya tidak bisa mengerjakan soal matematika di hadapannya. Rifki melirik jam tangannya, waktunya tinggal dua puluh lima menit. Dan dia tidak yakin bisa menyelesaikan semua soal sebelum bel berbunyi. Pelajaran pertama, menit permata, semua buku PR harus sudah terkumpul di meja guru.

"Aku mau main basket sama kamu, Rif."

Rifki memukulkan pensil ke bukunya. Dia harus mengusir Mia dari hadapannya dengan cara elegan, agar gadis ini tidak mengganggunya lagi dan dia bisa menyelesaikan PR tepat waktu.

"Mia, Lu dan Gue  bisa main basket lain kali. Sekarang gue harus menyelesaikan PR Matematika ini dalam dua puluh menit."

"Matematika? Give me that!"

Tanpa persetujuan Rifki, Mia menarik buku PR Rifki dan satu per satu soal Matematika dengan cepat. Tanpa berhenti apalagi pakai garuk-garuk kepala yang cukup menghabiskan waktu. Rifki dibuat melongo melihat tingkah Mia. Dia paling tidak suka curang dalam mengerjakan PR. Meski mendapat nilai jelek, tidak masalah baginya karena hasil keringatnya sendiri. Sebagai ketua OSIS, pantang dia berbuat curang seperti ini.

“Hei, kembalikan!” seru Rifki kesal dan menarik bukunya.

Tidak diduga, ternyata Mia sangat kuat. Tarikan Rifki di buku PR-nya seolah tidak berarti apa-apa bagi Mia. Dia terus mengerjakan soal matematika itu tanpa henti. Rifki yang menarik ujung bukunya seperti menarik truk Tronton saja, sama sekali tidak bergerak.

“Siapa sih gadis ini? Kuat banget?” batin Rifki.

Tak berapa lama kemudian, Mia menghulurkan buku Rifki. Semua soal sudah dikerjakan, tulisannya rapi, tahapannya runut dan ada jawabannya, meski Rifki tidak tahu betul apa tidak.

Rifki langsung menarik buku PR dan menutupnya. “Lu gak berhak ngerjain PR gue. Emang Lu siapa?”

Mia mengembang senyum. “Aku teman baru kamu di sini. Kita belum kenalan tadi. Belum sah kalau belum salaman.”

Mia menghulurkan tangan. Rifki menyadari sesuatu. Mia gadis manis yang berbeda dari gadis-gadis lain temannya. Dia pasti bukan anak Jakarta yang biasa berucap Lu dan Gue. Sejak tadi dia hanya berkata kamu dan aku. Anak mana dia?

“Kamu anak mana?”

“Sudah kubilang tadi, aku anak baru pindah. Sudah sepekan dan kamu belum tahu aku. Makanya aku mengenalkan diri padaku, sambil mengerjakan PR-mu.” Mia mengembang senyum manis sembari merapikan anak rambut di pelipisnya. Tampaknya dia gadis yang baik-baik, dalam arti tidak genit seperti gadis lain yang biasanya berusaha menggoda ketua OSIS.

Rifki mengernyit kening. Ada anak baru, kenapa dia tidak sampai tahu?

“Kamu anak mana? IPA apa IPS?”

“IPA.”

Rifki menelan ludah. Itu artinya Mia telah melanggar batas teritorial dengan masuk ke wilayah anak IPS, bahkan mengerjakan PR Rifki si Ketua OSIS? Apa jadinya bila Aldino tahu, dia pasti akan mengejek Rifki habis-habisan.

Rifki mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas. Kelas masih sepi, belum ada yang datang. Hanya dia dan Mia berdua di kelas ini. Rifki menarik napas lega, untung saja belum ada yang melihat mereka berdua–apalagi melihat Mia mengerjakan PR-nya. Dan dia harus mengusir Mia dari hadapannya, dari wilayah anak IPS.

Rifki menghulurkan tangan dan menjabat tangan Mia. Mia tersenyum senang, lalu meraih tangan Rifki.

“Rifki, Ketua OSIS. Selamat bergabung di SMA Rajawali.”

“Mia, anak baru di kelas IPA. Senang berkenalan dengan kamu. Jadi, kita bisa main basket akhir pekan ini?”

Rifki bangkit dari duduknya. Sebagai ketua OSIS dia bisa menyuruh Mia pergi begitu saja. Tapi, dia tidak ingin Mia menjadi gadis ember yang membocorkan rahasia pagi ini ke semua orang, atau pamornya sebagai Ketua OSIS akan jatuh. Bagaimanapun juga, Rifki merasa terbantu dengan sepuluh soal matematika yang membuat kepalanya pusing semalaman–meski dia tidak menyukainya. Tapi bila dihukum berdiri di luar kelas, akan lebih membuat Aldino bersemangat mengejeknya.

“Aku akan memenuhi janji, tapi tidak sekarang. Apa kau belum tahu kalau IPA dan IPS di sini seperti Pandawa dan Kurawa?”

Mia ikut-ikutan berdiri dan menatap Rifki lekat-lekat. Rifki sampai harus mengalihkan tatapannya dari gadis semanis Mia. Gadis ini tidak berusaha menggodanya, tapi tatapannya benar-benar menghujam sampai ke dalam dadanya.

“Jadi?” tanya Mia dengan sepasang mata mengerjapkan bulu mata lentiknya.

“Di luar sekolah.”

“Oke.” Mia menghulurkan jali kelingkingnya, dan Rifki terpaksa menyambutnya dengan mengaitkan jari kelingking Mia dengan jari kelingkingnya.

“Sebaiknya kau kembali ke kelasmu, sebelum anak IPS mengusirmu.”

Mia menggerak-gerakkan kepalanya, sehingga rambut hitam legamnya berayun ke sana ke mari. Dia tampak sangat senang. “Mereka tidak akan berani mengusirku. Oke, terima kasih, Rifki.”

Mia melenggang meninggalkan Rifki. Rifki mengamatinya hingga menghilang di balik pintu. Bertepatan dengan Mia sudah tidak tampak lagi, seorang anak lelaki teman sekelasnya masuk dengan terburu-buru–membuat Rifki seketika menarik napas lega. Meski dia was-was temannya telah bertemu dengan Mia. 

Temannya bergegas duduk tidak jauh dari Rifki, dan mengeluarkan buku matematika. “Duh, aku belum mengerjakan PR!”

Rifki mengamati temannya. Sebentar lagi bel pasti berbunyi, temannya tidak akan punya banyak waktu mengerjakan PR. Terbersit di benaknya, untuk memberikan buku PR-nya, toh dia tidak mengerjakannya sendiri. Tapi kemudian diurungkannya, demi melihat temannya tampak sibuk berkonsentrasi mengerjakan.

“Lu sudah ngerjain PR, Rif?” tanya temannya tanpa menoleh.

“Udah,” jawab Rifki garing. Dia kembali duduk di bangkunya, menanti bel berbunyi. Sedikit heran karena teman-temannya belum ada yang datang. Padahal bila pelajaran matematika di jam pertama dan ada PR, kelas bisa penuh sesak dalam lima belas menit sebelum bel berbunyi. Saling mencontek mengerjakan PR. Tapi, kali ini, kenapa cuma mereka berdua?

Rifki melirik jam tangan. Masih dua puluh lima menit lagi? Seingatnya, Mia tadi bersamanya cukup lama sehingga dia mengira sekarang sudah jam tujuh, saat bel berbunyi. Rifki mengetuk jam tangannya, ternyata jarum jamnya tidak bergerak. Itu artinya mati.

Tapi, kenapa teman-temannya belum datang juga?