Contents
Gadis Lantai 7
2 - Nomor Hape Mia
Aldino mengamati Mia yang sejak tadi duduk sendirian di kantin. Semua anak sudah pulang ketika hujan sudah berhenti, dan Mia masih ada di kantin, menikmati minumannya. Aldino sengaja belum pulang, karena sore ini ada latihan basket untuk persiapan pertandingan dengan sekolah lain. Namun dia tidak yakin latihan akan jadi dilaksanakan, karena beberapa anggota tim basket sudah tidak dilihatnya di sekolah.
Saat mendung tebal sebelum turun hujan tadi, sebagian anak basket sudah berlarian pulang.
Aldino mengeluarkan ponsel dan mengambil gambar Mia beberapa kali. Setelahnya, dia bangkit dari duduk dan mendekati Mia. Alih-alih latihan basket yang tidak jadi, sebaiknya dia mendapatkan keuntungan dengan mendekati Mia. Sudah mendapatkan candid fotonya, kini tinggal nomor ponselnya. Gadis baru di kelas sebelah yang selama sepekan ini menarik perhatiannya. Mia si gadis manis berambut panjang ini sepertinya tidak punya teman dekat, karena Aldino sering melihatnya seorang diri. Di kelas pun dia hanya duduk di belakang dan tidak berbicara dengan siswa lain. Selalu datang lebih dulu dari siswa lain dan pulang belakangan.
“Hai, Mia,” sapa Aldino, langsung duduk di hadapan Mia. Gadis itu tampak tidak terkejut dengan kedatangannya, karena sejak tadi mereka memang berdua saja di kantin–menunggu hujan reda dan duduk berjauhan. Mia pasti sudah mengira kalau Aldino pasti akan mendekatinya, karena sejak tadi sudah menyadari kalau Aldino memperhatikannya.
“Hai,” balas Mia pendek, lalu mengalihkan pandangannya ke luar pagar. Dia tampak kurang suka didekati Aldino. Hujan masih gerimis, dia pun bersiap hendak pulang.
“Lo pasti sudah tahu siapa gue,” ucap Aldino percaya diri–meski Mia tampak tidak merespon baik kedatangannya. Siapa yang tidak mengenal Aldino, Raja Basket SMA Rajawali. Selalu mengharumkan SMA Rajawali dalam setiap invitasi basket di SMA se-Jakarta.
“Aku sudah tahu.”
Aldino mengembang senyum menawannya. “Baguslah. Lo bisa basket?”
Mia melirik Aldino, sama sekali tidak ada tatapan kagum seperti halnya gadis-gadis SMA Rajawali lainnya. Membuat Aldino sedikit heran mendapat tatapan tanpa antusias dari gadis manis di hadapannya. Anak baru lagi.
“Maaf, aku tidak bisa apa-apa.”
Aldino mengamati Mia dari ujung kepala hingga siku tangannya. Gadis ini tidak tampak seperti gadis lemah yang hanya bisa berkutat dengan buku. “Lo pasti bo’ong. Kalau tidak bisa basket, setidaknya Lo cocok buat jadi cheerleader.”
Mia bangkit dari kursi dan menyandang tas sekolahnya. “Maaf, aku tidak tertarik.”
“Hei …”
Mia meninggalkan kantin begitu saja, dan menembus hujan gerimis dengan langkah santai–seolah hujan bukan masalah besar baginya, seperti halnya gadis-gadis lainnya.. Meninggalkan Aldino yang membelalak tak percaya, bahwa si Cowok Idaman SMA Rajawali dicuekin dan ditinggalkan dengan tidak hormat oleh anak baru, manis lagi.
Dan Aldino belum mendapatkan nomor hapenya.
Tapi sejurus kemudian, justru Aldino tersenyum-senyum melihat Mia melintasi halaman sekolah menuju pintu gerbang. Rambut panjangnya seolah berayun mengikuti gerakan tubuhnya, meski gerimis sudah pasti membuat basah sebagiannya. Gerak gerik dan ayunan tubuhnya saja sudah meyakinkan Aldino bahwa Mia bukan gadis biasa.
Dan sikap cuek Mia justru membuatnya penasaran.
“Awas Lo Mia, lihat saja Lo pasti yang akan memohon untuk menjadi pacar Gue.”
Aldino meraih ranselnya, lalu bergegas menuju tempat motornya diparkir. Halaman sekolah sudah sepi, hanya ada Mia melintas dengan santai. Aldino melirik ke arah lapangan basket yang biasanya dijadikan lapangan upacara. Lapangan itu tampak becek, sudah pasti tidak akan ada latihan sore ini–meski hujan sudah berhenti.
“Sebaiknya Gue mengejar Mia, dan mengantarnya pulang ke rumahnya. Hujan begini, mana ada angkot lewat.”
Beberapa hari mengamati Mia, Aldino yakin bahwa gadis itu selalu datang dan pulang sendiri–tanpa teman. Sepertinya tidak ada yang mengantar atau menjemputnya–Aldino kurang begitu yakin. Karena gadis itu selalu sudah ada di sekolah ketika dia datang dan belum pulang ketika Aldino hendak pulang.
Baru kali ini mereka bisa pulang berbarengan–itu pun karena hujan.
Bergegas Aldino mengambil motor dan menghidupkannya dengan tergesa. Dia harus bisa menyusul Mia. Akan dilihatnya, gadis itu sanggup menolaknya apa tidak dengan motor yang dikendarainya. Semua gadis di SMA ini bermimpi duduk di boncengannya, dan baru kali ini Aldino akan dengan senang hati memberikan tumpangan untuk Mia.
Aldino melihat Mia hampir sampai di pintu gerbang, dia memacu motornya melintasi lapangan basket. Bila satpam sekolah melihatnya, pasti peluit panjang akan berbunyi nyaring untuk menghentikannya–dan memberi hukuman. Tapi kali ini, tak ada satpam sekolah di pos depan gerbang.
Set!
Aldino menghentikan sepedanya tepat setelah melewati pintu gerbang. Menghiraukan kubangan air yang mengenai celananya. Tapi dia tidak mendapati Mia.
“Ke mana dia?”
Aldino mengedarkan pandangan ke segala arah. Kanan dan kiri sekolah sepi, tidak ada seorangpun yang lewat. Bahkan tidak angkutan atau kendaraan yang baru saja berhenti dan membawa Mia.
Hujan perlahan kembali lebat. Aldino tak percaya, Mia bisa lenyap begitu saja, padahal jalanan sepi–tidak ada kendaraan lewat.
Aldino benar-benar kesal. Sampai di rumah, dia basah kuyup karena sengaja menembus hujan. Sudah tidak latihan basket, dicuekin Mia lagi. Bayangan manis wajah Mia menari-nari di pelupuk matanya. Dia menjadi tidak tenang sebelum bisa membuat Mia tertarik padanya.
Setelah berganti baju kering dan mendapat omelan panjang Mama-nya, Aldino melempar badannya di atas tempat tidur. Udara begitu dingin, dia hanya ingin berada di balik selimut hangat di kamarnya.
Aldino mengeluarkan ponsel dari tas ranselnya, lalu mencari foto Mia yang tadi diambilnya di kantin.Kekesalannya bertambah, karena ternyata tidak ada satupun gambar Mia yang tampak jelas. Tentu saja karena dia mengambil dari jarak yang agak jauh dengan memperbesar tangkapan layar. Dan cuaca mendung, membuat pencahayaan sangat minim.
Gambar Mia hanya tampak blur putih dan abu-abu.
“Sialan, dia benar-benar membuat Gue penasaran.” Aldino melempar ponselnya ke balik selimut. Wajah manis Mia kembali menari-nari di pelupuk matanya. Sepertinya malam ini dia bakal mimpi bersama Mia. Kecuekan gadis itu justru membuatnya merasa semakin tertantang untuk berhasil menaklukannya.
“Bukan Aldino jika tidak bisa membuat anak baru jatuh cinta.” Aldino mengembangngempiskan hidungnya dengan bangga.
Anak IPA dilawan.
Eh, Mia kan juga anak IPA. Sudah pasti akan sangat mudah ditaklukannya, meski berbeda kelas.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk, dari nomor asing. Aldino membuka pesan itu dan terkejut mendapati sebuah nomor hape dikirim oleh nomor asing itu. Dan sebuah pesan susulan kemudian.
Itu nomor Mia.
Tak percaya dengan pesan asing itu, Aldino bergegas menelpon nomor itu. Namun tidak ada nada dering. Dia melompat dari tempat tidur, mendekati jendela–mengira sinyal pasti sedang buruk karena cuaca, tapi tetap tidak ada nada sambung.
Aldino lalu membalas pesan si Nomor Asing. “Siapa Lo?”
Centang satu.