Contents
Gadis Lantai 7
3 - Syarat dan Ketentuan
“Hai Rifki …”
Rifki tersentak. Mia si Manis Berambut Panjang sudah ada di sebelahnya, menjajari langkahnya. Rifki menoleh ke kanan kiri, depan belakang–tidak ada siapa-siapa. Tentu saja karena Rifki sengaja datang lebih pagi dari biasanya, karena harus mengerjakan PR lagi. Hujan yang menderas semalam–dan genteng rumah yang belum sempat diperbaiki, membuat dia kembali kerja bakti semalaman.
Dan PR-nya belum dikerjakan lagi.
“Ngerjain PR lagi?” tanya Mia sembari mengembang senyum ramah. Meski tidak mendapat jawaban dari Rifki, Mia sama sekali tidak terlihat kesal.
Entah kenapa, Rifki merasa harus menjauhi Mia. Dia anak IPA, manis dan masih baru pula. Mustahil Aldino bisa luput perhatian pada gadis bermata bening dan berbulu mata lentik yang selalu memakai celak mata ini.
“Sebaiknya Lo jangan masuk wilayah IPS,” ucap Rifki sembari melangkah lebih cepat, berusaha meninggalkan Mia. Mia malah menjajarinya dengan kecepatan yang sama. Gadis ini pantang menyerah sebelum tujuannya tercapai.
“Memangnya kenapa? Ini SMA Rajawali, kan? Aku tidak salah pindah sekolah, dan aku berhak berada di mana saja di sekolah ini, termasuk di atas genteng.”
Mia tahu-tahu berada di depan Rifki, menghadang langkah pemuda itu sembari membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Rifki terpaksa menghentikan langkahnya. Sebelum dia bisa memenuhi keinginan gadis ini, dia akan terus dikejar. Jadi sebaiknya, untuk membuatnya berhenti mengejar, dia harus memenuhi apa keinginannya.
“Lo mau apa sih?”
“Aku mau main basket sama kamu. Kan kemarin sudah aku kerjakan PR-mu. PR Matematika yang sama dari tahun ke tahun.”
Rifki mengernyit kening. PR Matematika yang sama dari tahun ke tahun? Tentu saja dari dulu matematika ya itu-itu saja, ilmu pasti yang tidak berkembang seperti ilmu sosial. Itulah bedanya IPA dan IPS–seperti anak IPA dan IPS juga. Anak IPA kaku dan menetap, sedangkan anak IPS sangat fleksibel dan mudah menyesuaikan.
“Gue gak sempat, maaf.”
Rifki berusaha melewati Mia dari arah samping, tapi gadis itu malah menyandar ke tembok, menghalangi langkahnya.
“Lo mau apa sih sebenarnya?” Rifki mulai kesal.
“Sekali aja main basket, kita berdua. Habis itu, aku tidak akan mengganggumu lagi.”
Rifki terdiam. Masalahnya bukan sekali atau berkali-kali main basket bareng. Tapi pada main basketnya itu, di lapangan basket yang sudah pasti dikuasai anak IPA. Aldino apalagi. Dan Rifki sedang malas berseteru akhir-akhir ini dengan Aldino, meski beberapa pekan terakhir suasana sedang mereda. Tidak lagi tegang, karena pekan depan sudah ujian tengah semester. Setiap anak lebih memikirkan akademis daripada perseturuan mereka.
“Gue mau, asal di luar sekolah.”
Mia menggeleng. “No no no, tidak di luar sekolah. Aku hanya bisa main di sekolah ini.”
Rifki menepis tangan Mia yang masih menghalanginya. “Kalau begitu, ya sudah. Perjanjian batal.”
“Eit … tidak semudah itu.”
Mia kembali menghadang Rifki. Kali ini bahkan mereka berdua saling bertatapan cukup lama. Rifki dengan tatapan kesal dengan tingkah Mia, dan Mia dengan tatapan penuh harap. Dalam hati Rifki mengakui, ternyata Mia gadis yang manis. Bahkan teramat manis untuk diabaikan begitu saja. Apalagi Mia sudah menolongnya mengerjakan PR.
“Ternyata benar, kamu ketua OSIS paling cakep yang pernah kulihat. Apalagi kalau marah.”
Rifki sontak membuang muka ke arah lain. Dan seperti yang dikhawatirkannya, ada Aldino di kejauhan–masih berada di atas motornya–sedang menatap ke arah mereka berdua. Rifki bergegas meninggalkan Mia. Tidak hanya karena Mia menyanjungnya sebagai Ketua OSIS paling cakep, tapi juga karena Rifki malas berurusan dengan Aldino–si anak IPA.
Urusan IPA dan IPS tidaklah pelik, tapi menghabiskan energi bagi Rifki. Jadi, mending dia berhemat energi selama musim hujan ini karena genteng bocor belum diperbaiki oleh orang tuanya. Dan dia akan lebih sering mengerjakan PR di sekolah.
“Hei, tunggu!”
Mia mengejar langkah Rifki dan mengikutinya masuk ke dalam kelas yang masih sepi. Kembali, hanya mereka berdua.
“Mia, Lo kembali saja ke wilayah Lo.”
“Wilayah apa maksudmu? Aku baru pindah ke sekolah ini dan sedang mencari teman baru. Jangan mengusirku dong.” Mia merajuk sembari melipat tangan di depan bangku Rifki. Rifki tak mengindahkan dirinya, sibuk mengeluarkan buku PR dan alat tulisnya.
“Wilayah Lo di IPA, bukan di IPS. Gue lagi malas cari gara-gara sama anak IPA.”
Mia duduk di bangku, menghadap Rifki yang tak mau menatapnya. “Hm, ini baru menarik. Ada apa dengan anak IPA dan anak IPS? Tidak ada yang memberitahuku soal permusuhan dua ‘wilayah’ ini. Sepertinya ada cerita seru, nih?”
Rifki membuka halaman tugas di buku paket. Namun sedetik kemudian, Mia sudah menyambar buku PR-nya.
“PR-nya halaman berapa? Nomor berapa?”
“Mia!”
Rifki mendelik. Tapi Mia tak peduli. Dia langsung membuka halaman buku paket sesuai dengan tulisan di buku PR. Rifki menarik buku PR-nya, namun kejadian yang sama seperti kemarin kembali terulang. Buku PR itu sama sekali tak bergeming di tangan Mia.
Rifki menyandar punggung di sandaran bangku. Hanya bisa menatap Mia yang mengerjakan PR-nya dengan cepat, tanpa berhenti. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa tiba-tiba jadi punya asisten anak IPA untuk mengerjakan PR-nya. Anak IPA memang terkenal pandai, tapi tidak begini juga caranya.
“Mia …”
“Hmm. Sebentar lagi selesai.”
Gerakan tangan Mia di atas buku PR itu benar-benar membuat Rifki takjub. Dia sama sekali tidak berhitung atau berpikir sedetik pun. Tangannya menulis dengan lancar seolah semua jawaban sudah dihapalnya.
“Gue bersedia menjadi teman Lo.”
Mia menghentikan pekerjaannya, menutup buku PR dan menatap Rifki dengan mata berbinar-benar. “Benarkah? Jadi pacarku juga mau?”
“Haisshhh …” Rifki menepuk meja. Mia ternyata tidak bisa dikasih hati, dia seketika meminta lebih. Padahal Rifki baru dua kali bertemu dengannya. Jatuh cinta saja enggak. “Teman! Ingat itu!”
Mia mengembang senyum. “Oke, gak masalah buatku. Asal selalu bersama kamu.”
Rifki menarik sudut bibir, antara mencibir dan tersenyum. Bahkan dia sulit membedakan cara melakukannya di depan Mia. “Jika sampai Lo datang lagi ke wilayah IPS, gue gak akan mau berteman lagi sama Lo.”
“Hm, terus yang ngerjain PR kamu?”
“Siapa yang minta Lo ngerjain PR Gue? Lo sendiri yang maksa!” Rifki mendelik, membuat Mia tambah senang.
“Kamu tambah cakep kalau marah.”
Rifki menjambak rambutnya sendiri. Gimana cara mengusir cewek manis di hadapannya ini, agar tidak lagi datang ke wilayah IPA. Tatapan mata Aldino tadi sudah terasa aneh baginya. Aldino pasti mengenal Mia–gadis baru di wilayah kekuasaannya.
“Dengar, Mia. Kita berteman dengan syarat dan ketentuan berlaku. Ingat itu. Kalau tidak, batal.”
“Oke, aku setuju,” ucap Mia senang. “Apa syarat dan ketentuannya?”
Rifki berpikir sejenak. “Jangan lagi masuk wilayah IPS, jangan kerjakan PR Gue, jangan deket-deket Gue.”
Mia melotot. “Mana bisa seperti itu? Lalu basketnya?”
“Ada lapangan basket tidak jauh dari sini. Tapi kita harus nyewa. Gimana?” Rifki tersenyum senang melihat Mia melotot–tanda tidak sepakat. Tapi dia harus menerima syarat dan ketentuan bila ingin berteman dengan anak IPS, ketua OSIS, cakep lagi.