Try new experience
with our app

INSTALL

Dunia Lain Michelle 

Bab 4. Mencari jalan pulang

Rifki masih merenungi cerita yang baru saja meluncur dari bibir Michelle. Rasanya sulit dipercaya, tetapi faktanya dia melihat sendiri bagaimana Michelle bisa tidak terlihat dan juga menghancurkan mantra di kerangkeng besi tadi. 

 

"Jadi kamu bukan manusia?" Rifki seperti bergumam sendiri saat mempertanyakan itu. Matanya memindai sosok Michelle yang kini berdiri di hadapannya. Mereka sudah kabur cukup jauh dari tempat tadi Rifki disekap. 

 

Michelle hanya diam mendapat pertanyaan semacam itu. Apa dia harus mengangguk atau pun menggeleng, rasanya masih sulit untuk memutuskan. Ada sisi hatinya yang berperang antara ingin percaya dan tidak tentang informasi yang didapatkannya dari Ayoga. Rasanya masih terlalu mustahil untuk menjadi sebuah fakta, tetapi kalau itu hanya sebuah lelucon, dari mana dia bisa mendapatkan kekuatan yang tadi dipergunakannya untuk menolong Rifki? Buktinya kini mereka selamat dengan mudah dari gua gelap itu. 

 

Rifki yang pusing memikirkan tentang siapa Michelle menggaruk rambutnya, lalu mengedar ke sekitar. Kini mereka berada di sebuah hutan yang seharusnya cukup gelap dan menyeramkan. Namun, rasa itu tidak dirasakannya karena kini bulan bersinar terang di atas sana. Dan sepertinya bulan tidak pernah meredup sinarnya di tempat ini. 

 

"Terus sekarang kita ke mana?" tanya Rifki bingung. 

 

Michelle ikut mengedarkan pandang, tujuannya setelah menyelamatkan Rifki adalah bisa keluar dari dunia ini dan kembali ke alam manusia. "Kita harus bisa keluar dari sini."

 

"Caranya?"

 

Michelle tampak berpikir, lalu memandang Rifki. "Kamu masih inget tempat pertama buka mata?" 

 

Rifki mengerutkan kening, mencoba mengingat waktu itu, lalu menggeleng pelan. "Waktu aku melek aku udah ada di kurungan itu. Aku nyariin kamu." 

 

Michelle kembali bepikir, jika seperti ini dia harus mengandalkan diri sendiri. Dia harus mengingat tempat di mana dia membuka mata waktu itu. Tentu saja bukan perkara mudah karena semua pohon di tempat ini seperti sama. 

 

"Kalau gitu kita cari aja, siapa tahu nanti nemuin petunjuk." Rifki mengangguk setuju untuk usul yang baru saja Michelle katakan. Mereka pun mulai menyusuri jalan yang ada di depan mereka. Michelle sendiri berharap semoga Ayoga tidak menemukan keberadaannya. 

 

*

 

Rasanya sudah berjam-jam kedua kaki itu melangkah menyusuri hutan yang seperti tidak memiliki ujung. Malah kalau tidak salah, mereka ini seperti hanya berputar-putar di tempat yang sama. 

 

"Capek Rif," keluh Michelle sembari menjatuhkan bokongnya ke tanah yang beralaskan rumput hijau. Tempat ini sebenarnya sangat bagus, apalagi jika dilihat siang hari, mungkin kondisinya akan lebih indah. 

 

"Ya udah kita istirahat dulu," ujar Rifki ikut duduk dan meluruskan kakinya  di samping Michelle duduk. 

 

"Kamu laper nggak?" Michelle merosoh saku celananya saat menanyakan itu. 

 

Tadinya Rifki tidak merasakan lapar sama sekali, tetapi setelah Michelle menanyakannya rasa lapar itu tiba-tiba hadir. 

 

"Nih, aku bawa makanan dari tempat Ayoga tadi." Michelle sudah memikirkan aksi kabur ini, jadi sengaja menyembunyikan makanan. 

 

"Apa ini?" Rifki membolak-balik makanan gepeng yang sudah beralih ke tangannya.

 

Michelle menahan tawa geli karena roti yang seharusnya berbentuk seperti bakpao harus gepeng karena dimasukkan ke dalam saku celananya. "Udah makan aja, yang penting bisa ganjel perut."

 

Rifki pun tanpa memprotes langsung melahap makanan yang ternyata rasanya seperti bakpao berisi daging itu. Michelle pun melakukan hal sama. 

 

"Minumnya nggak ada?" tanya Rifki saat merasa haus setelah menghabiskan makanannya. Lalu pemuda itu segera berdiri saat mendapat gelengan kepala dari Michelle.

 

"Mau ke mana?" tanya Michelle sembari menahan jemari Rifki dengan menggenggamnya. 

 

"Mau cari air, harusnya ada sumber mata air kan di hutan. Kayak di film-film gitu." Rifki mencoba mengedar pandang untuk mencari tempat yang kiranya bisa membawanya ke sebuah mata air. 

 

"Aku ikut." Michelle yang sebenarnya masih lelah memutuskan untuk berdiri karena tidak mau lagi terpisah dari Rifki. Apa pun kondisinya mereka tidak boleh lagi terpisah karena tempat ini sungguh-sungguh tidak bisa dianggap remeh. Terlihat seperti tidak berbahaya, tetapi siapa yang bisa menjamin itu? Ini tempat asing, dan bisa saja ada mata yang melihat ke arah mereka dari berbagai sudut tanpa mereka sadari, bukan?

 

*

 

Tidak membutuhkan waktu lama untuk keduanya menemukan sumber mata air. Sebenarnya cukup aneh karena sejak mereka berputar untuk mencari jalan keluar tadi, tidak ada tanda-tanda ada mata air di sekitar. Namun karena sudah terlalu haus, keduanya tidak memedulikan keanehan yang ada. 

 

"Airnya jernih banget," ujar Michelle sembari membasuh wajahnya dengan air danau di depannya. 

 

"Kita ini udah kayak lagi berpetualang di dunia fantasi nggak, si, Chelle?" celetuk Rifki sembari berdiri, mengedar pandang ke sekitar. Mencoba menikmati pemandangan indah di sekkitar mereka. Sebenarnya tempat ini cukup aneh karena meski hanya ada cahaya bulan, tetapi sinarnya mampu menerangi tempat mereka berpijak. 

 

"Kamu ngerasa aneh nggak, si, Ki?" Michelle baru menyadari sebuah keanehan yang ada di tempat ini. 

 

"Anehnya?"

 

"Kenapa malam nggak juga berakhir? Udah berjam-jam dari kita keluar dari gua tempat kamu disekap."

 

Rifki yang baru menyadari hal itu langsung melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Benda itu mati, entah habis baterai atau tidak berfungsi di tempat asing ini. 

 

"Mungkin karena kita ada di tempat asing, jadi waktu terasa lama. Kalau kita nunggu lebih sabar lagi, bisa jadi matahari bakalan terbit."

 

Meski sebenarnya ragu dengan apa yang Rifki katakan, Michelle memilih untuk menyetujuinya. Setidaknya kalimat itu mampu menghiburnya walaupun untuk waktu singkat. 

 

"Mendingan kita cari tempat istirahat dulu sambil nunggu pagi." Rifki menuntun Michelle untuk kembali berjalan. Mencari sebuah tempat yang kiranya aman untuk mereka tidur sebentar.

 

*

 

Keduanya akhirnya berlindung di bawah pohon besar. Jika di alam manusia, pohon besar seperti ini mungkin akan menjadi tempat angker. Banyak makhluk halus yang menjadi penghuninya. Namun di tempat ini auranya terasa berbeda. Seperti tidak ada makluk tak kasat mata. Ada bahaya, tetapi sepertinya bukan semacam hantu. Entah bahaya apa yang akan mereka hadapi nanti. 

 

"Kamu tidur dulu aja, biar aku yang jaga." Rifki menarik kepala Michelle agar mau bersandar di bahunya. "Aku udah tidur sebentar pas dikurung tadi," lanjut Rifki berbohong saat sadar Michelle akan mendebat. Lalu tersenyum saat gadis itu mengangguk patuh, dan segera memejamkan mata setelah menyandarkan kepala pada pundakmya. 

 

Sementara Rifki terus berusaha untuk menjaga matanya agar tidak ikut terpejam. Namun, rasa lelah tidak dapat dikalahkannya, matanya tidak bisa diajak untuk berjaga. Yang Rifki ingat sebelum menutup mata dengan penuh, seperti ada sesosok manusia yang mendekatinya. Lalu, tidak ada hal lain yang diingatnya karena rasa kantuk yang menyambanginya terlalu kuat dan Rifki terjatuh dalam tidur lelap.