Contents
Gadis Lantai 7
7 - Kesepakatan Demi Rifki
Aldino sengaja datang lebih pagi dari biasanya. Dia harus menangkap basah Rifki yang pernah dilihatnya bersama Mia. Berani-beraninya Rifki dekat dengan Mia, anak IPA baru alias gadis manis yang diincarnya. Hanya anak IPA yang boleh jalan dengan anak IPA. Anak IPS dilarang keras mendekatinya.
Belakangan ini, Aldino mendengar kabar kalau Rifki sering datang pagi–sebelum anak-anak datang. Bahkan lebih pagi dari Petugas Kebersihan. Katanya, dia mengerjakan PR di sekolah. Sepertinya dia tidak sempat mengerjakan PR di rumah–entah kenapa.
Aldino memarkir motornya, satu-satunya motor di tempat parkir yang lengang. Dilihatnya di kejauhan, Petugas Kebersihan baru saja memarkir sepeda pancalnya di dekat ruang guru. Biasanya memang sepeda Petugas Kebersihan selalu ada di sana, karena dia harus selalu siap sedia bila disuruh untuk belanja sesuatu di luar sekolah.
“Hm, petugas kebersihan baru datang. Itu artinya, Rifki sudah datang. Kalau belum, berarti sebentar lagi.”
Rumah Rifki tidak jauh dari SMA Rajawali. Jalan kaki cuma sepuluh menit. Aldino kerap melihatnya berjalan santai saat berangkat dan pulang sekolah, namun akhir-akhir ini dia memang jarang melihat Rifki.
Aldino menyandang ranselnya dan menuju wilayah IPS. Dia harus menegaskan kembali dengan Rifki perihal IPA dan IPS. Bahwa sampai kapanpun, keduanya tidak bisa disatukan. Dan hal itu dimulai dari Mia. Sebagai bintang di IPA, Aldino harus bisa menunjukkan bahwa Mia adalah milik IPA, bukan IPS.
Aldino baru saja berbelok ke selasar tempat kelas Rifki berada, ketika dia menangkap ada suara dua orang tertawa. Laki-laki dan perempuan. Dia sangat yakin, ini adalah suara Rifki dan Mia. Sepagi ini, bisa-bisanya Rifki mulai menggoda Mia.
Aldino bergegas menuju pintu kelas. Dan ternyata dugaannya benar. Rifki duduk di kursi, dan Mia berada di depannya, mereka mengamati sebuah buku dan sesekali tertawa. Sepertinya mereka sangat kompak, terbukti bisa tertawa bareng, bahkan tertawanya serempak.
Aldino mendehem, membuat dua anak yang sedang seru-serunya tertawa itu sontak menghentikan tawanya dan menoleh ke arah Aldino. Rifki menatap Aldino dengan tatapan aneh–tatapan anak IPS pada anak IPA selain Mia yang masuk ke wilayah IPS.
Rifki sudah bisa menduga bila Aldino mencari Mia. Dia tak hendak bertanya, meski Aldino berjalan mendekat dan hanya mengarahkan tatapannya ke arah Mia.
Setelah Aldino berdiri di dekat Mia, tahu-tahu tangannya menarik tangan Mia dan menyeretnya untuk berdiri. Mia memekik pelan, dan tampak kesakitan dengan perlakuan kasar Aldino.
“Hei!” Rifki tidak terima Mia diperlakukan kasar oleh Aldino. “Lepaskan, dia tidak suka!”
Mia mengibaskan tangannya, hingga terlepas dari Aldino. Namun Aldino kembali menarik tangan Mia hingga menjauh dari Rifki. Mia meronta, tapi Aldino lebih kuat, hingga mau tak mau Mia pun mengikuti langkah Aldino menuju pintu–namun dia menoleh ke arah Rifki dengan tatapan minta tolong.
Yang menjadi pertanyaan kilat Rifki ketika mendapat tatapan Mia adalah kenapa gadis itu tak kuasa melawan kekuatan Aldino. Padahal saat Rifki hendak menarik buku PR yang dikerjakan Mia–gadis itu seperti besi baja yang bisa menahan dengan kuat hingga buku PR itu tidak bergeming.
Namun kali ini, kekuatan itu seolah hilang.
“Lepaskan dia!” gertak Rifki, lalu bangkit dari tempat duduk dan menghampiri Aldino yang langkahnya terpaksa berhenti. “Dia mau di sini.”
“Mia anak IPA, Lo mau apa, hah?” balas Aldino tak kalah garang.
Mia hanya terdiam di antara dua lelaki yang saling bermusuhan itu.
“Lo maksa dia,” ujar Rifki. “Mia bisa jalan sendiri, gak usah Lo paksa kayak anak kecil.”
Aldino mendorong bahu Rifki hingga Rifki nyaris menabrak meja. Mia hendak menolong Rifki, tapi Aldino menarik tangannya menjauh. Melihat tingkah Aldino yang arogan seolah Mia adalah pacarnya yang kepergok selingkuh–membuat Rifki kesal bukan kepalang. Dia dan Mia tidak ada hubungan apapun, jadi Aldino tidak berhak marah tanpa alasan.
“Tanya dia, mau gak dia Lo bawa!” Rifki menunjuk ke arah Mia.
Aldino menatap Mia, lebih tepatnya mendelik. “Lo balik ke kelas, atau …”
Mia menunduk, tampak bingung dan takut mau menjawab apa. Rifki tahu, Mia masih ingin bersamanya–tertawa bersama melihat gambar punggungnya yang hanya dipenuhi oleh rambut panjangnya. Mia menyebutnya seperti cucuran air selokan dan mereka terbahak bersama.
Melihat Aldino hendak menyeret Mia pergi, entah kenapa Rifki tiba-tiba merasa akan kehilangan Mia. Gadis manis yang selalu menungguinya tiap pagi. Bila ada PR Matematika dia akan menyerobot untuk mengerjakan, tapi kalau ada PR Geografi dia manyun tak mengerti. Gadis itu menyukainya, bukan Aldino.
“Lo liat kan, dia anak IPA. So she doesn’t belong here. Ngerti gak Lo! Dasar otak udang!”
Aldino tahu-tahu mengarahkan telunjuknya ke kening Rifki cukup keras dan kali ini Rifki terjengkang hingga jatuh ke atas meja dan menimpa kursi.
“Rifki!” teriak Mia terkejut dan berlari hendak menolong. Tapi sekali lagi, Aldino menarik tangannya.
“Lo balik ke IPA!” teriak Aldino. “Jangan sampai Gue tahu Lo deket-deket sama dia lagi. Bisa ketularan bego Lo!”
Mia menarik tangannya cukup keras hingga terlepas dari tangan Aldino, lalu berlari menuju Rifki. Membantunya bangun dari atas meja yang sudah terguling bersama kursinya.
“Mia!” bentak Aldino marah.
Mia tak peduli, dia malah memeluk pinggang Rifki untuk membantunya berdiri. Dan tanpa diduga oleh Rifki dan Mia, Aldino kembali mendorong bahu Rifki hingga nyaris terjengkang lagi ke meja. Tapi untung saja Mia menahan pinggang Rifki hingga badan anak itu hanya melenting saja. Tidak berhenti di situ, Aldino menendang kaki Rifki, dan Rifki pun sukses jatuh ke lantai.
Rifki yang semula tak membalas, kini sudah tersulut emosi. Dia sontak berdiri lalu balik men-sliding kaki Aldino. Aldino bertahan untuk tidak terjungkal dengan menarik baju Rifki. Yang terjadi kemudian adalah Mia menahan pinggang Rifki dan Aldino berpegangan pada baju Rifki agar tidak terjatuh.
Satu, dua, tiga detik dan …. Kreeek!
Baju Rifki sobek dan Aldino terjatuh berdebam di lantai.
Mia hanya menganga melihat kejadian di depannya. Baju Rifki yang sobek pun menjuntai-juntai dan Aldino terkapar di lantai.
“Sialan, Lo!” bentak Aldino. Bergegas dia bangun dan hendak melayangkan pukulan ke arah Rifki, tapi tiba-tiba Mia berada di antara mereka berdua sembari membentang tangan.
“Berhenti!” teriaknya.
Teriakan Mia seolah menggema ke seluruh penjuru kelas. Bahkan Rifki menangkap suara Mia seolah memakai pengeras suara sekolah dan menggetarkan kaca jendela. Rifki menarik diri, mundur beberapa langkah. Sementara Aldino dengan tatapan mata penuh kebencian berusaha menyingkirkan Mia dari hadapannya.
“Minggir Mia! Gue gak terima …”
“Tidak!” teriak Mia. “Aku ikut kamu!”
Aldino sontak berdiri mematung, menatap Mia tak percaya. Mia mengangguk padanya.
“Aku ikut kamu, aku tidak akan ke sini lagi. Kalau kamu mau pacaran sama aku, ayo kita jalan.”
Aldino mendelik tak percaya. Semudah itu dia mendapatkan Mia dari Rifki, meski sempat terjengkang ke lantai.
Rifki tak kalah terkejut mendengar ucapan Mia. Dia menatap Mia yang memunggunginya. Lukisan tampak punggung gadis itu akan menjadi lukisan pertama dan terakhirnya. Dan dia tak akan menyimpannya.