Contents
Penetrasi Alai-belai
Penetrasi Alai-belai 1. Air Mata Ibu
Penetrasi Alai-belai 1. Air Mata Ibu
Bada isya, Watiwisam menanti kepulangan suaminya. Azkarya tidak biasanya belum pulang. Biasanya sebelum magrib sudah pulang dari toko baju milik mereka di sebuah ruko. Makanan yang sudah disajikannya sudah dingin. Ia menjadi cemas dan mencoba menelepon suaminya, tetapi tidak bisa terhubung, sepertinya sedang dimatikan. Ia menjadi lebih gelisah sehingga lekas-lekas sholat isya dan berdoa untuk keselamatan suaminya dan keluarganya. Setelah itu, ia bersiap, mematut diri untuk ke luar rumah mencari suaminya itu.
“Nduk, kamu tunggu di rumah ya? Ibu mau pergi sebentar mencari ayahmu, soalnya jam segini belum pulang.”
“Ikut, Bu,” rengek Marwah Anindyawati.
“Kamu sudah besar, sebentar lagi mau SMP, jangan ngintil ibu terus-terusan! Udah, kamu di rumah saja!” tegas Watiwisam. “Jangan lupa sholat isya! Assalammualaikum!” serunya berpamitan dan langsung pergi sebelum mendengar jawaban salam.
“Waalaikumsalam,” lirih Marwah Anindyawati. Ia pun beranjak dari duduknya di karpet lantai dan meletakkan buku pelajarannya untuk melaksanakan sholat isya.
***
Watiwisam melihat toko bajunya sudah tutup. Lalu ke mana suaminya sekarang berada? Ia mencoba bertanya ke sekitar yang memang tinggal di dekat ruko yang mengenal keluarganya. Namun, mereka tahunya Azkarya sudah pulang sebelum magrib, bahkan malah tutup lebih cepat dari biasanya sekitar satu jam lebih dari waktu ashar.
“Ya Allah, ke mana suamiku?” batinnya gelisah. Ia mencoba menelepon lagi, tetapi masih belum bisa dihubungi. Tidak tahu harus mencari ke mana, ia akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah.
Di perjalanan pulang, saat sudah jalan kaki di kampungnya, Watiwisam berpapasan dengan teman Azkarya.
“Pak Dwi! Pak, lihat suami saya tidak?”
“Oh, tadi saya lihat pak Karya sedang makan di warung lesehan lalapan di pinggir jalan. Nih, saya habis beli juga di sana.” Dwi menunjukkan bungkusannya. “Pak Karya sedang makan bareng sama bu Elisa,” imbuhnya.
“Elisa? Siapa Elisa?”
“Itu janda di kampung sebelah sana, Bu.”
“Oh, ya udah, saya ke sana dulu. Terima kasih infonya. Assalamualaikum,” pamit Watiwisam.
“Waalaikumsalam.”
Watiwisam lekas pergi menuju warung lesehan tersebut. Sepanjang perjalanan ke warung itu, hatinya menjadi was-was lantaran ada nama wanita yang disebutkan oleh pria tadi. Akan tetapi, ia lekas menghempaskan napasnya mencoba berpikir positif dan membuang pikiran negatifnya.
Sesampainya di warung itu, Watiwisam tidak mendapati suaminya, bahkan tidak ada pengunjung di warung itu. “Kok tidak ada?” batinnya. Ia bingung lagi sekarang. Ia mencoba bertanya kepada pemilik warung itu.
“Permisi!” serunya menyapa salah satu penjaga warung.
“Mau pesan lalapan, Bu?” tawar penjaga.
“Saya mau tanya, Bang. Apa tadi di sini ada yang makan, pria dan wanita?”
“Banyak, Bu.”
“Kalau yang baru saja? Soalnya saya baru saja bertemu teman saya. Dia baru saja dari sini dan temannya juga masih makan di sini.”
“Iya yang barusan juga ada. Kalau yang barusan itu mbak Elisa sama lakik barunya.”
Deg, kata lakik barunya membuat pikiran negatif itu hadir lagi di benak Watiwisam.
“Abang kenal sama yang namanya Elisa?”
“Kenal.”
“Bisa terangkan ke saya bagaimana orangnya?”
“Dia itu janda muda anaknya dua. Satu anaknya balita udah jalan, udah mau PAUD. Satu lagi baru kelas satu SD. Mantan suaminya punya banyak istri dan dia istri keberapa gitu kurang paham saya. Terus dia dicerai. Terus sekarang dia baru aja punya laki baru. Iya yang tadi makan bareng dia di sini. Tadi cerita habis dari mall, dibelanjain banyak banget sama lakiknya. Saya hitung memang tadi ada enam paper bag butik bermerek yang mbak Elisa bawa.”
“Ssssudah memenikah dddengan pria itu?” Watiwisam menjadi terbata.
“Kayaknya belum deh. Baru ada dua bulan tiga bulan lakik barunya itu.”
Ada sedikit lega di hati Watiwisam mendengar jawaban itu.
“Alamatnya tahu?”
“Tahu.”
“Boleh minta alamatnya?”
“Bentar saya tulis dulu ya.” Abang itu menuliskan alamat Elisa. “Nih!” Abang itu memberikan secarik kertas pangsit bertuliskan alamat Elisa ke Watiwisam. “Masih satu kampung dengan saya. Jadi, saya tahu,” terangnya.
“Oh ....” Watiwisam merasa harus membalas budi atas informasinya itu. Selain itu, dia juga ingat putri satu-satunya senang dengan ikan, lalapan, dan sambal. Walaupun Marwah tadi sudah makan, pasti dengan lahap akan memakannya lagi. “Bang, saya pesan lalapannya yang ikan dibungkus.”
“Nasi?”
“Uduk ada?”
“Ada.”
“Iya, pakai nasi uduk.”
“Tunggu sebentar, silakan duduk!”
***
Selesai dari warung itu Watiwisam lekas pergi menuju alamat yang tertulis di bagian kasar secarik kertas pangsit. Ia pergi dengan perasaan kacau tidak karuan. Ia berharap dugaan negatif itu salah. Informasi dari abang warung itu salah.
“Ya Allah,” suai bibirnya berulang-ulang sembari jalan.
Ia menemukan rumah itu. Rumah itu dua lantai. Ia melihat pintu pagarnya sedikit terbuka, cukup untuk melipir memasuki halamannya. Ia masuk dan ia melihat di halaman rumah itu ada teras kecil dan di teras itu tertata sepasang alas kaki suaminya selain alas kaki-alas kaki yang lainnya. Deg, deg, deg, perasaan kacaunya semakin menjadi-jadi. Ia sampai menutupkan telapak tangannya ke mulut dan hidungnya. Ia lantas melihat pintu rumah juga sedikit terbuka, tetapi harus lebih dibuka untuk bisa masuk. Ia mau mengetuk pintu itu, tetapi ragu. Ia khawatir dugaan itu benar. Selain itu, ia juga berpikir kalau benar, kalau ia ketuk bisa saja mereka berkelit. Dengan rasa takut yang sangat ia mengintip dari celah pintu dan jendela depan rumah itu. Tidak ada siapa pun. Ia memberanikan diri membuka pintu itu pelan-pelan, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara.
Di dalam rumah nampak sepi. Di atas terdengar suara ramai dua anak kecil laki-laki sedang bermain. Kemudian ia melangkah semakin masuk ke dalam di lantai dasar itu. Di depan sebuah ruangan yang tertutup ia mendengar suara desau-desau napas yang saling beradu. Seketika itu hatinya hancur berkeping-keping. Ia memandangi gagang pintu, mau membuka pintu, tetapi menggeleng. Ia tidak mau membuka dan melihatnya sendiri. Ia perlu orang lain sebagai saksinya, menangkap basah bersama-sama. Ia lekas ke luar dan mencari orang sekitar rumah itu.
Kebetulan sekali beberapa warga melintas. Ia melambaikan tangannya memanggil setiap warga yang melintas. Warga yang merasa terpanggil mendekat dan bertanya.
“Ada apa?”
Ia menempelkan telunjuknya ke bibirnya. “Ada mesum,” terangnya berbisik. Warga ternganga saling pandang. Ia lantas segera melambaikan tangannya lagi mengajak mereka masuk. Semua masuk dan menangkap basah.
Watiwisam hanya berdiam diri sementara warga ribut dengan suaminya dan Elisa. Anak-anak Elisa juga menjadi turun dan melihat keributan itu. Mereka menjadi menangis melihat Elisa dan Azkarya dibentak-bentak warga. Salah satu warga yang memergoki lekas pergi melaporkan ke RT dan ke RW.
“Kami sudah menikah siri!” lantang Azkarya.
“Jangan bohong!” bentak warga.
RT datang dan berkata, “Iya, mereka memang sudah menikah siri di rumah orang tua mbak Elisa. Kalau tidak percaya, tanya saja tentangga kanan kirinya. Pak RW juga tahu. Memang belum diinformasikan ke seluruh warga kampung ini, hanya yang dekat-dekat sini saja. Kanan kiri saja. Saya, Pak RW, dan tetangga kanan kiri turut hadir di rumah orang tua mbak Elisa sebagai saksi.” Keterangan RT itu membuat Watiwisam bagai tersambar petir kesekian kalinya.
Kemudian RW datang menerangkan, “Siapa yang bilang mereka mesum? Mereka sudah menikah. Ini pak Azkarya namanya. Panggilannya pak Karya.”
“Kapan nikahnya? Harusnya diumumkan biar tidak salah paham begini!” kesal salah satu warga yang menangkap basah.
Pelan-pelan Watiwisam melangkah mundur dan pergi. Azkarya melihatnya dan ia menjadi terhenyak hingga menelan ludah. Ia lekas berpakaian lengkap dan mengejar Watiwisam.
“Eh, mau ke mana?” tanya warga heran.
***
Watiwisam masuk ke dalam rumahnya dengan menahan sesak lantaran luka hati. Napasnya tersengal-sengal dan terdengar terisak-isak.
“Ibu sudah pulang? Ibu kenapa?” tanya Marwah yang mendapati ibunya sudah pulang tetapi tidak mendengar suara salam hanya suara pintu yang terbuka lalu tertutup lagi. Selain itu, ia juga melihat deru napas ibunya yang tidak karuan. Akan tetapi, ia berpikir pasti karena letih habis berpergian.
Watiwisam terdiam menatap putrinya dengan mata yang berkaca-kaca menahan air matanya. Kemudian ia ingat bungkusan sedang dibawanya. Ia memberikan bungkusan itu ke Marwah, tapa kata keterangan sedikit pun. Marwah menjadi melihat kejanggalan berikutnya berupa mata merah ibunya. Akan tetapi, lagi-lagi Marwah berpikir mungkin karena berpergian terkena debu dan udara. Marwah menerima bungkusannya dan memeriksanya.
“Apa ini, Bu?” tanya Marwah sembari memeriksa. Watiwisam tidak bisa menjawab karena mulutnya telah keluh oleh apa yang ia dapati. Akan tetapi, dari aromanya, Marwah sudah bisa tahu apa itu. Ia pun tersenyum senang. “Wah, lalapan ikan ya? Hm ... asyik!” Marwah lekas duduk di lantai, membukanya, dan menyantapnya. Wajah ceria putrinya itu sedikit menghiburnya. “Ibu, mau juga?” tawar Marwah. Watiwisam menggeleng dengan senyuman tipis lantaran senyum putrinya.
Akan tetapi, rasa sakit itu menghujam dalam. Ia lekas masuk ke dalam kamarnya sebelum air matanya tumpah di depan Marwah Anindyawati. Setelah di dalam kamar, ia menangis sesenggukan. Air matanya memang tidak terlihat Marwah, tetapi suara tangisnya lirih terdengar oleh putrinya itu.
“Kok kayak ada yang menangis?” batin Marwah sembari makan.
Marwah Anindyawati tidak begitu hiraukan sampai ia selesai makan lalu membuang bungkusannya di tempat sampah dapur. Saat itulah ia mendengar suara tangis itu lebih jelas dan berasal dari kamar ibunya.
“Ibu menangis?” batin Marwah. Ia mendengarkan dengan menempelkan daun telinganya ke pintu kamar orang tuanya. “Ih, iya, ibu menangis,” batinnya terhenyak merasa sangat tidak nyaman mendapati hal itu.
Ia mengetuk pintu kamar itu dengan pelan karena ragu dan takut mengganggu. “Bu ... Ibu! Ibu, kenapa?” tanya Marwah sedikit berseru lantaran jarak dan terhalang dinding dan pintu yang bisa meredam suara.
Mendengar pertanyaan putrinya, Watiwisam berusaha mengontrol tangisnya. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya agar putrinya tidak tahu apa-apa. Ia pun bingung mau menjawab apa, mau bicara apa untuk mengalihkan perhatian putrinya agar tidak menyadari apa yang terjadi.
Saat itu Azkarya masuk ke rumah. “Marwah, masuk kamar belajar atau tidur sana!” bentak Azkarya datang-datang, tiba-tiba. Marwah sampai terhenyak dan ketakutan. Ia menjadi mematung di depan pintu kamar orang tuanya karena takut. “Cepat sana!” bentak Azkarya lebih kasar sembari mendorong Marwah agar lekas jalan. Marwah cepat-cepat jalan ke kamarnya. Azkarya lalu masuk ke dalam kamarnya dengan membuka kasar lalu menutup dengan membanting.
Sementara itu, Marwah Anindyawati ketakutan di dalam kamarnya dengan benak penuh tanya dan hati yang terluka lantaran tangis ibunya juga bentakan ayahnya kepadanya yang begitu mengerikan dan tanpa alasan. Ia duduk di atas tempat tidur sembari memeluk lututnya.
“Apa yang terjadi, Ya Allah?” lirihnya lalu ia meraih bantalnya, memeluk bantalnya, dan kemudian saat matanya berkaca-kaca ia membenamkan wajahnya ke bantal itu.
Bersambung
Terima kasih
:) :) :)
DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)