Try new experience
with our app

INSTALL

Penetrasi Alai-belai  

Penetrasi Alai-belai 2. Hanya Alasan

Penetrasi Alai-belai 2. Hanya Alasan


Marwah ingin tahu apa yang terjadi. Ia ke luar dari kamarnya. Takut-takut ia tirilik sampai berada sedikit dekat dengan kamar kedua orang tuanya. Mencoba menguping, bahkan berharap bisa mengintip.


Watiwisam bertemu muka dengan Azkarya di dalam kamar mereka. Watiwisam dalam keadaan sedih dan hancur sedangkan Azkarya dalam keadaan marah. Sungguh aneh yang menyakiti malah yang marah.


“Semua karena kamu! Kamu yang tidak bisa memberikan aku anak laki-laki dan tidak kunjung juga memberikan aku anak laki-laki!” murka Azkarya membuat Watiwisam terhenyak. Marwah yang menguping dengan menjaga jarak juga menjadi mendengar jelas, ikut terhenyak, bahkan bergetar ketakutan.


Watiwisam menatap heran suaminya lalu menarik napasnya. “Harusnya aku yang ngamuk, Mas! Kok, kamu?” ucapnya tidak membentak, tetapi tegas, artikulasi sangat jelas.


“Karena semua yang terjadi karena kamu!” bentak Azkarya lagi.


“Hah?” Watiwisam tidak habis pikir dengan alasan itu. “Ya sudah, jika memang begitu, tidak apa-apa. Kembalikan kunci tokoku, Mas! Pergilah ke janda itu! Kita berpisah!”


Deg, Azkarya gentar mendengar Watiwisam meminta toko. Ia tidak mau kehilangan penghidupannya. Toko itu memang milik Watiwisam sedangkan dia tidak punya apa-apa saat menikahi Watiwisam. Azkarya lekas berpikir dan lekas terbesit pula alasan.


“Kuncinya tidak aku bawa.”


“Di janda itu? Akan aku ambil!”


“Tidak perlu, besok kan bisa!” marah Azkarya.


“Toko harus buka pagi, Mas!”


“Halah ... apa salahnya sekali-kali siangan dikit?” Azkarya terus berkata dengan nada tinggi.


“Kalau begitu, mungkin aku akan ganti pintunya saja. Jadi sudah tidak memerlukan kunci itu lagi.”


Azkarya meraup wajahnya bingung bagaimana sekarang. Kemudian ia terbesit lagi cara agar tidak berpisah dengan Watiwisam. Jika ia tidak berpisah dengan Watiwisam, ia bisa masih tetap di toko itu.


“Kamu tidak ingat Marwah? Kalau kita pisah bagaimana dengan Marwah?”


“Kamu yang tidak ingat Marwah, Mas! Kamu kan yang mau anak laki-laki bukan Marwah? Dan hal itu kan yang menjadi alasanmu tadi, Mas?”


“Haaa ...!” Azkarya memukul Watiwisam lalu membuka pintu dengan kasar dan pergi dari kamar.


Saat itu Azkarya melihat Marwah ternyata menguping dan mengintip dari jauh. Ia hanya menatap putrinya dengan berdecak kesal lalu pergi dari rumah.


“Semua karena aku,” lirih Marwah.


Watiwisam yang terjatuh karena pukulan Karya, masih meringkuk di lantai dan menangis.


Marwah melangkah pelan ke kamar itu yang kini pintunya tampak terbuka. Saat ia mendekat ke kamar itu ia melihat ibunya sedang meringkuk di lantai dan menangis. Hatinya terenyuh melihat ibunya seperti itu. Takut-takut pelan-pelan, ia masuk ke kamar dan mendekati ibunya.


“Ibu ....” Marwah memanggil dengan lirih sembari duduk di lantai. Kemudian ia mengusap lembut puncak kepala ibunya.


Mendapati ada putrinya Watiwisam lekas bangkit dan menyeka air matanya. Ia bingung bagaimana menjelaskan yang terjadi kepada putrinya.


“Ada masalah apa, Bu? Marwah nakal ya?”


“Ayahmu mmemenikah dengan wanita lain.”


“Apa? Kenapa ayah begitu?”


“Karena yang ibu lahirkan kamu, Marwah, bukan anak laki-laki.”


“Jadi, yang terjadi gara-gara Marwah, Bu?”


“Iya, gara-gara kamu, Marwah. Pergilah tidur, ini sudah mau tengah malam!”


Marwah berdiri, melangkahkah mundur ke pintu, lalu ke luar. Ia pergi ke kamarnya dengan rasa mengambang, kosong, matanya seakan tidak tahu ke mana harus menatap. Sesampainya di kamarnya ia menutup pintu kamar lalu duduk di tempat tidur memeluk lututnya. Perasaannya sangat tidak nyaman. Rasa sangat tidak nyaman di hati dan pikiran yang belum pernah ia rasakan.


“Ya Allah, kenapa aku diciptakan? Seharusnya aku tidak dilahirkan ke dunia ini dan menjadi masalah bagi kedua orang tuaku. Kalau saja bukan aku yang lahir. Kalau saja anak laki-laki yang lahir ...,” kata-katanya terhenti. “Huu ....” Marwah akhirnya terisak-isak dan berkaca-kaca. Setetes demi setetes cairan bening turun dari matanya hingga menjadi deras. “Ayahku tidak akan meninggalkan ibuku. Aku tidak seharusnya ada.” Marwah menjadi menyesali keberadaan dirinya di dunia.


Sementara itu, Watiwisam menyadari kata-katanya tadi telah menyalahkan putrinya atas yang telah terjadi padahal bukan salah putrinya. Putrinya sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Ia menyesali kata-katanya tadi yang terbawa emosi. Ia lekas bangkit, pergi ke kamar putrinya untuk memperbaiki kata-katanya tadi.


Tok tok!


Watiwisam mengetuk pintu kamar Marwah. Marwah yang di dalam kamar mengangkat wajahnya. Ia menduga itu pasti ibunya karena memang di rumah itu hanya ada mereka berdua.


“Sudah tidur, Nduk?”


“Belum, Bu.” Marwah lekas menyeka air matanya.


Watiwisam masuk dan menghampiri putrinya. Ia memeluk erat-erat putrinya. Kemudian banyak kecupan ia berikan ke wajah dan kepala putrinya.


“Bu ....” Marwah menyapa lirih.


“Maafkan ibu. Kata-kata ibu tadi hanya terbawa emosi. Kamu tidak salah apa-apa. Bukan salah kamu, Nduk. Ibu hanya beralasan padahal bukan salah kamu. Semua yang terjadi sudah takdir. Maafkan ibu. Maafkan ibu.” Watiwisam terus memeluk erat dan mengecupi Marwah. Marawah membalas sebuah kecupan di pipi Watiwisam lalu menghadap ke ibunya, memeluk erat ibunya, dan menyadarkan kepalanya di bawah leher ibunya.


“Kalau saja bukan Marwah yang lahir pasti ayah tidak akan meninggalkan ibu,” lirih Marwah dalam dekapan ibunya yang berlanjut dengan isak tangis.


“Tidak begitu, Nduk. Semua itu hanya alasan, hanya alasan.”


***


Di rumah Elisa para tamu sudah pulang ke rumah masing-masing. Tinggal pemilik rumah dan dua anak laki-lakinya. Ia sedang menenangkan kedua putranya dari permasalahan tadi. Tidak lama kemudian Azkarya tiba di rumah itu.


“Ayah!” seru anak-anak Elisa saat melihat kedatangan Azkarya sembari berlari menghampiri. Akan tetapi, Azkarya sedang tidak ingin diganggu oleh anak kecil. Ia melepaskan diri dari anak-anak itu.


“Bawa ke atas, tidurkan!” titah Karya pada Elisa.


“Liga, Elvin, ayah baru pulang, ayah capek. Ayo, kalian tidur, ini sudah tengah malam!” Elisa menggendong Elvin. Liga mengekor di belakangnya.


Tidak lama, selesai menidurkan kedua anaknya, Elisa kembali ke bawah. Ia mencari-cari suaminya. Ternyata sudah berada di dalam kamar.


“Istrinya, Mas? Wati?” tanya Elisa. Azkarya mengangguk. “Terus?” tanya Elisa kemudian.


“Minta pisah.”


Elisa khawatir hal itu membuat Azkarya di antara dua pilihan bersama dirinya atau istrinya. Elisa tidak mau sampai ditinggalkan Azkarya. Azkarya harus bersamanya, terserah mau pisah atau tidak dengan istri pertamanya.


“Mas Karya tidak akan meninggalkan Elisa kan? Mas Karya sudah janji tidak akan meninggalkan Elisa apa pun yang terjadi.” Elisa bermanja-manja di tubuh Karya.


“Tentu, aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”


“Mas lebih cinta siapa, aku atau Wati?”


“Kamulah, Sayang.”


“Jadi, Mas, akan meninggalkan Wati demi aku?”


“Aku tidak bisa meninggalkan dia.”


“Kenapa? Katanya lebih cinta sama aku? Apa karena putri kamu?”


“Marwah hanya alasan untuk bisa tetap bersama Wati. Toko itu milik Wati. Kalau aku pisah dengannya aku miskin.”


“Cek!” Mendapati kenyataan itu Elisa kesal karena ternyata toko baju itu milik Wati bukan Karya. Itu artinya dia juga tidak bisa dibelanjakan lagi ke mall oleh Karya. “Kamu kan udah kerja keras buat toko itu, tidak bisa apa minta setengahnya, terus buat modal buka sendiri, Mas? Dia tidak ikut kerja keras kan selama toko dipegang sama kamu? Syukur-syukur kamu bisa ambil semuanya.”


“Kamu benar juga. Akan aku coba.”


“Kalau kamu sudah tidak sama dia, apa berarti malam ini kamu menginap di sini?”


Azkarya mengangguk. “Iya.”


Elisa tersenyum senang dan memeluk Karya.


***


Belum subuh Watiwisam terbangun di kamar putrinya dalam keadaan berpelukan dengan putrinya. Ia beranjak dari tubuh putrinya. Menata tubuh putrinya hingga Marwah dalam posisi nyaman. Kemudian Wati menatakan selimut tipis di atasnya. Setelah menatap putrinya dengan senyuman, ia beranjak dari tempat tidur.


Setelah bersuci, Watiwisam menjalankan banyak sholat di kamarnya sampai ia selesai sholat subuh. Ia menangis dan membuat keputusan demi putrinya. Ia akan bertahan demi putrinya jika memang suaminya masih menghendaki bersamanya meski harus terbagi. Ia menarik napasnya banyak-banyak lalu menghempaskan bersama rasa tidak nyaman di hati dan pikirannya. Ia lakukan berulang-ulang, menguatkan diri, menerima, mengihklaskan takdirnya meskipun tidak sanggup. Air mata yang sudah disekanya berulang-ulang masih saja setetes demi setetes jatuh tiada henti. Ia harus menghapus air mata itu berkali-kali entah sampai kapan.


Ia merasa terlalu lama duduk di sajadahnya. Ia merasa hari mulai terang. Ia panik, bangkit, dan lekas ke kamar Marwah. Ia menggoyang sedikit bahu Marwah. Sesudah itu, ia memberikan beberapa usapan di puncak kepala putrinya. Berlanjut memberikan beberapa kecupan di wajah putrinya.


“Bangun, Sayang, sudah terang, kamu belum sholat subuh!” 


Marwah menggeliat saat matanya masih terpejam. Kemudian perlahan ia membuka matanya sembari masih terus menggeliat. Saat melihat ibunya pelan-pelan ia teringat yang telah terjadi semalam. Ia langsung memeluk ibunya erat-erat.


“Nduk, ayo lekas subuh ini sudah terang!” tegas Watiwisam.


“Ibu, bagaimana yang semalam?” tanya Marwah sembari melepaskan pelukannya lalu menatap ibunya.


Watiwisam menghempas napas. “Ayo, Nduk, subuh!” tegasnya lebih tegas.


“Ibu ....”


Watiwisam mencubit kecil paha Marwah karena tidak lekas beranjak sedang matahari semakin terbit.


“Auh, Ibu!” pekik Marwah kesakitan.


“Ayo lekas subuh!”


“Iya iya!” Akhirnya Marwah harus melupakan urusan dunia sebentar untuk subuh.


***


Sementara Marwah subuh, Watiwisam menyiapkan sarapan pagi. Ia membuat telur yang digoreng dengan campuran mie instan yang direbus dahulu dan diberi bumbunya. Ia tambahkan sosis dan sedikit wortel. Setelah jadi, ia sajikan bersama saus sambal. Saat itu terdengar dari kamarnya suara ponsel pintarnya memanggilnya.


“Marwah, sarapan sudah siap! Lekas sarapan dan berangkat ke sekolah!” Setelah berseru, Watiwisam lekas ke kamarnya untuk mengangkat telepon.


Saat ia melihat ponselnya, ternyata suaminya yang menelepon. Ia mengangkatnya, tetapi bibirnya keluh. Azkarya yang menelepon juga keluh mau bicara. Watiwisam menarik napas untuk menghilangkan keluhnya.


“Assalammualaikum, Mas.” Watiwisam akhirnya yang memulai pembicaraan.


“Waalaikumsalam. Aku menelepon untuk mengajak kamu ketemuan. Kita bicarakan baik-baik. Kita bertemu di toko saja. Pagi, seperti biasa jam delapan.”


“Iya, baik, Mas.”


“Assalammualaikum.”


“Waalaikumsalam.”


***


Marwah sebenarnya enggan makan. Ia tidak nafsu karena keadaan kedua orang tuanya. Akan tetapi, ia tidak mau mengabaikan jerih payah ibunya yang sudah memasakkan sarapan pagi. Ayahnya tidak di sini dan pasti tidak memakannya. Kalau bukan dirinya siapa yang akan makan. Dalam situasi seperti ini, ibunya juga pasti tidak nafsu makan. Marwah akhirnya makan dengan malas-malasan demi menghargai ibunya.


“Habiskan saja, Nduk, soalnya hanya kamu yang makan. Sayang kalau tidak dihabiskan.” Watiwisam sudah ada di dapur lagi di mana ruangan itu menjadi satu dengan meja makan.


“Ibu harus makan juga!” tegas Marwah karena tidak mau sampai ibunya sakit.


“Ibu kenyang.”


“Kalau begitu Marwah berhenti makan dan Marwah juga tidak mau ke sekolah!”


“Loh, kok gitu sih, Nduk?”


Marwah tidak menjawab dan masuk ke kamarnya. Ia mengunci rapat kamarnya. Ia naik ke tempat tidur dan duduk memeluk lututnya.


“Aduh bagaimana ini, jika sampai masalah ini membuat putriku juga susah, tidak makan, tidak sekolah?” Watiwisam menjadi khawatir. Meski enggan ia harus makan demi putrinya baik-baik saja dalam keadaan buruk itu. Ia lekas menghampiri kamar putrinya.


Tok tok!


“Nduk, ayo makan bersama dengan ibu!” ajak Watiwisam setelah mengetuk pintu dan kemudian mencoba membuka pintu. Ternyata pintu kamar itu dikunci oleh putrinya.


“Ibu mau makan?” tanya Marwah yang di dalam kamar.


“Iya, ibu juga akan makan.”


“Janji?”


“Iya, janji.”


Akhirnya keduanya makan bersama. Namun demikian, lauk itu masih ada karena Watiwisam membuat sesuai porsi biasanya.


Setelah sarapan Marwah pergi sekolah. Dia sudah berani berangkat sendiri ke sekolah sejak kelas empat SD. Biasanya saat kecil ia akan diantarkan ayahnya dengan naik mobil box kecil yang dibuat angkut-angkut di toko.


***


Sementara itu, di sisi lain, di rumah Elisa, Azkarya yang biasanya sudah sarapan pagi belum sarapan karena memang Elisa tidak menyiapkan sarapan untuknya. Elisa sendiri tidak biasa sarapan pagi. Paling ia hanya menyiapkan makanan untuk kedua putranya berupa susu dan sereal karena memang itu setiap pagi yang disuka dan di makan oleh kedua putranya. Kalau pagi, kedua putranya tidak suka kalau diberi makan nasi, sayur, dan lauk-pauk.


“Belum masak?”


“Anak-anak tidak ada yang suka makan nasi, Mas, kalau pagi. Mereka makannya sereal.”


“Aku?”


“Mas, mau makan apa? Biar aku pesankan online.”


“Kalau begitu aku juga nanti saja deh makannya. Aku mau siap-siap ke toko dulu. Sekalian menyelesaikan persoalanku dengan Wati biar cepat kelar dan aku bisa dapat tokonya.”


“Iya, usahain ya, Mas. Kalau bisa tokonya, jangan hanya modal. Kalau tokonya bisa buat ada penghasilan seterusnya. Kalau modal, belum tentu bikin usaha baru bisa jalan.”


“Pasti akan aku usahakan mendapatkan tokonya sepenuhnya!” ambisi Azkarya.


Bersambung

Terima kasih

:) :) :)


DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)