Try new experience
with our app

INSTALL

Penetrasi Alai-belai  

Penetrasi Alai-belai 3. Kehilangan Ibu

Penetrasi Alai-belai 3. Kehilangan Ibu


Azkarya datang lebih awal. Ia lekas membuka toko, tetapi tidak menatanya. Ia menunggu nanti jika memang sudah saatnya toko buka dan menunggu karyawan karyawatinya datang, biar mereka yang menata.


Watiwisam juga datang lebih awal. Ia ingin masalah rumah tangganya selesai agar putrinya baik-baik saja. Ia datang dengan membawa kotak bekal, selain tas dompet yang ia kalungkan di bahunya. Saat itu, ia menyadari sesuatu yang lain saat ke toko. Tidak tampak mobil boxnya terparkir di depan tokonya itu. Selama beberapa hari ia juga tidak pernah tampak suaminya pulang dengan membawa mobil itu. Akan tetapi, selama itu ia tidak pernah menanyakan hal itu.


“Assalamualaikum, Mas.”


“Waalaikumsalam. Langsung saja tidak usah basa-basi! Kalau kamu ada yang mau diomongin, kamu omongin! Setelah itu, baru aku yang ngomong!”


“Demi Marwah aku setuju tidak berpisah jika Mas mau tetap bersama aku. Mas juga tetap bisa bersama wanita itu.” Watiwisam pasrah dengan nasibnya itu demi putrinya.


“Aku ... aku mau kita pisah saja, tetapi aku tetap memegang toko ini. Aku sudah bekerja keras untuk toko ini. Aku sudah memajukan toko ini. Jadi, aku berhak atas toko ini.”


“Marwah hanya alasan, benar kan, Mas? Mas hanya mau toko ini. Aku tidak akan berikan toko ini, Mas! Ya sudah jika memang Mas mau berpisah, kita berpisah!”


Azkarya memutuskan berpisah, tetapi ia mau toko itu. Watiwisam bersedia berpisah, tetapi ia tidak akan menyerahkan toko itu.


“Aku ada hak atas toko ini, Wati, karena aku yang sudah membesarkan toko ini! Aku yang mengurus toko ini sejak bertahun-tahun! Setidaknya setengah dari toko ini hakku karena hasil pemikiranku yang mengupayakan toko ini maju, Wati!”


Watiwisam menghempas napasnya mendengar kekehnya laki-laki itu menginginkan bagian dari toko itu. Membahas toko, membuatnya kembali menyadari keberadaan mobil box yang tidak pernah tampak.


“Mas, aku tidak melihat mobil box beberapa hari ini. Ke mana mobil box aku, Mas?”


Deg, Azkarya menelan salivanya mendengar pertanyaan itu. “Ah, jangan mengalihkan pembicaraan! Kita sedang membahas masalah kita, Wati!”


“Mas tadi kan minta toko ini? Kalau toko ini tidak bisa, Mas! Kalau Mas minta bagian harta akan aku berikan bagian. Mobil box itu untukmu. Harganya masih seratusan. Mas bisa pakai atau menjualnya untuk modal usaha atau terserah Mas untuk apa.”


“Tidak bisa, mobil itu sudah dijual!”


“Apa? Kapan? Untuk apa, Mas, jual mobil itu?”


“Kamu tidak perlu tahu!”


“Untuk Elisa ya, Mas?” Wati geleng-geleng. “Mas, kamu sudah keterlaluan! Itu mobilku, Mas!”


“Kamu sudah setuju kan waktu itu mengalihkan atas namaku? Jadi itu sudah punyaku, Wati!”


“Oke, Mas, tidak masalah, itu artinya kamu sudah dapat bagian kamu. Sekarang, berikan kunci toko ini!” Wati menengadahkan telapak tangannya meminta kunci.


“Aku tidak akan memberikannya! Toko ini menjadi sebesar ini hasil kerja kerasku! Enak saja kamu main ambil!”


“Mas kan yang mau urus sendiri? Mas kan yang melarang-larang aku untuk ikut campur mengurus toko aku sendiri karena Mas merasa aku tidak percaya dengan kamu, Mas? Aku juga dari nol, Mas, membangun toko ini! Ini hasil jerih payah aku! Ini toko punya aku, Mas! Mas tidak bawa apa-apa, tidak punya apa-apa!” Wati merebut kuncinya, mengambil sendiri dari saku celana panjang Azkarya. Wati lekas menyimpan kunci itu ke dalam tas kecil yang dibawanya.


“Berikan kunci itu, Wati!”


“Kita berpisah, silakan pergi dari toko ini, Mas!”


“Tidak, aku tidak akan pernah pergi dari toko ini!”


“Pergi!”


“Kamu yang pergi!”


“Aku pemilik toko, Mas! Kamu yang pergi!”


“Tidak akan!” Azkarya lantas segera berbenah toko. Ia melakukan hal itu lantaran kekeh mau tetap di toko itu. Jadi, ia lekas mengurus toko itu untuk menunjukkan jika dia yang sudah bekerja keras sehingga berhak atas toko itu.


“Oke, kalau Mas mau kerja di toko ini, tapi Mas sama seperti karyawan karyawati lainnya. Mulai hari ini aku akan di sini dan semua urusan toko aku yang atur!” ujar Wati. “Sudah sarapan, Mas? Nih, ada makanan buat kamu jika kamu sudi memakannya!” tawar Wati kemudian. Perut Azkarya yang lapar membuat netranya menatap kotak bekal itu. “Biar aku yang tata, kamu makan saja dulu kalau mau memakannya! Setelah makan, kalau mau kerja lanjut kerja!” tegas Wati melihat Azkarya yang tampaknya memang sedang lapar. Azkarya berhenti mengurus toko dan menghampiri kotak bekal itu. Ia duduk dan menyantap makanan itu. Sementara itu, Wati sibuk mengurus toko.


Tidak lama kemudian, karyawan karyawati toko itu datang karena waktu sudah menunjukkan hampir pukul delapan pagi. Saat mereka datang, toko itu sudah dalam keadaan siap untuk buka menerima pengunjung. Mereka heran melihat toko itu sudah dalam keadaan siap, ditambah ada kehadiran pemilik toko sesungguhnya. Saat itu Azkarya sudah selesai makan. Ia lekas kembali kerja mengerjakan apa-apa yang perlu dikerjakan di toko itu. 


“Kalian sudah pada datang? Em ... aku mau memberi pengumuman, jika mulai hari ini, semua urusan toko ini kembali saya yang urus, bukan pak Azkarya lagi. Jadi, apa-apa urusan toko ini, keuangan, stok, dan lain sebagainya ke saya,” terang Wati. Karyawan mengangguk-angguk paham dengan wajah heran. Azkarya cukup berang dengan keterangan itu.


Sembari bekerja, Wati kepikiran putrinya, bagaimana nasibnya jika kedua orang tuanya berpisah. Ia berpikir jika berpisah dengan suaminya ia kasihan kepada putrinya yang akan kehilangan sosok ayah. Selain itu, ia kasihan juga kalau pria itu tidak ada penghasilan. Pria itu pasti butuh untuk menghidupi wanita itu dan kedua anak wanita itu. Ia yang berhati baik berpikiran baik. Ia berpikir dan berpikir terutama demi putrinya.


“Mas, sini sebentar!” Wati mengajak Karya bicara empat mata.


“Apa?” tanya Azkarya.


“Oke, aku bisa kasih kamu bagian toko ini, tapi ada syaratnya!”


“Apa syaratnya?”


“Meskipun berpisah, kamu harus memberikan perhatian dan kasih sayang yang sangat banyak untuk Marwah. Itu syaratnya. Sanggup?”


“Oh, oke, aku sanggup, itu mudah!” ujar Azkarya meyakinkan. Padahal sesungguhnya ia tidak peduli dengan syarat itu. Baginya yang penting bisa mendapatkan bagian dari toko itu.


“Bagianku enam puluh persen. Bagian Mas empat puluh persen.”


“Tidak bisa begitu, Wati! Biasanya aku yang dapat enam puluh persen, kamu yang empat puluh persen.”


“Tentu bisa karena toko ini milikku dan mulai hari ini aku akan mengurus tokoku.” Wati kembali bekerja. Azkarya yang belum puas dengan keputusan Wati mengikuti langkah Wati. Ia menarik lengan siku Wati dengan kasar dan kencang, membuat Wati tertarik ke belakang, terjatuh, dan terantuk salah satu tempat display barang dengan sangat keras. Wati tidak sadarkan diri. Kepalanya mengucurkan darah. Kemudian anehnya dari telapak kakinya nampak ada darah juga.


“Wati!” Azkarya menjadi panik dan khawatir macam-macam. Ia khawatir dituduh yang mencelakakan. Ia khawatir Wati kenapa-napa karena bagaimanapun Wati masih menempati hatinya apalagi selama ini Wati selalu baik kepadanya.


“Tolong ... tolong ... istriku jatuh!” pekiknya segera.


Watiwisam dilarikan ke rumah sakit meminjam kendaraan milik toko sebelah. Saat di rumah sakit ternyata Wati tengah hamil dan keguguran. Wati juga mengalami luka di kepala cukup parah. Wati sempat sadar sebentar, tetapi ia kembali menutup matanya dan menutup matanya untuk selamanya. Tidak ada yang melihat kejadiannya sehingga kepergiannya dianggap karena sebuah kecelakaan.


***


Pulang sekolah, Marwah Anindyawati mendapati rumahnya penuh sesak. Para tetangga berdatangan dan terus berdatangan. Dalam benaknya penuh keheranan sampai dahinya mengernyit. Saat masuk ke dalam ia mendapati ada tubuh terbaring di karpet lantai tertutup kain jarik.


“Sabar ya, Marwah.”


“Yang kuat ya, Marwah.”


Para tamu yang berdatangan berkata-kata yang menyemangatinya. Ia semakin bertanya-tanya dalam benaknya. Saat ia melihat sosok siapa yang terbaring di lantai napasnya tertarik cepat. Ia mendekat dan menyentuh wajah yang sangat dikenalnya itu memastikan apa yang terjadi. Napasnya tersengal-sengal ketika mendapati kenyataan itu.


“Ibu ... ibu ... ibu ... ibu ...,” sebutnya lirih terus-menerus. “Apa yang terjadi, Bu? Kenapa tiba-tiba ibu meninggalkan Marwah, Bu?” Sampai akhirnya ia pun mempertanyakan duka mendalam yang tiba-tiba itu. Ia lalu melihat di kepala ibunya ada lilitan perban. Ia menjadi berpikir sesuatu karena ia ingat mendengar suara perbuatan kasar dari dalam kamar kedua orang tuanya semalam. Ia lantas mencari sosok ayahnya di antara pelayat. Ia menemukan tidak jauh dari sisi ibunya. Ia menatap tajam pria itu. Pria itu pun menelan saliva dan merasakan jika putrinya menatapnya dengan tuduhan.


“Ibumu jatuh di toko. Ternyata dia hamil. Jatuh itu membuatnya keguguran. Selain itu kepalanya terbentur dan keluar darah terus,” terang salah satu karyawati yang kerja di toko ibunya.


Terserah keterangan yang menyebabkan ibunya tiada itu seperti apa, ia tetap menatap dengan pasti kepada pria yang disebutnya ayah itu. Setetes demi setetes sembari menatap pria itu air matanya akhirnya jatuh. Tidak lama air matanya banjir. Ia berhenti menatap pria itu dan beralih melihat wajah ibunya. Ia memberikan kecupan sangat lembut di wajah itu. Setelah puas, ia memeluk tubuh kaku ibunya seraya mengatakan tidak mau ibunya pergi, apalagi secepat itu, apalagi dengan seperti itu, apalagi jika sampai benar pria itu penyebabnya.


“Ibu ....”


“Ibu .........!”


“Ibu ibu ibu.”


***


Waktu berganti. Marwah tinggal di rumah Watiwisam bersama ayahnya. Pria itu tidak kunjung kembali ke rumah Elisa sejak sepeninggal Watiwisam karena bagaimanapun juga Marwah putrinya dan masih SD. Marwah masih hormat seperti biasa pada pria itu meskipun sesungguhnya hatinya menyimpan rasa mengganjal. Hari-hari, Marwah isi dengan berlama-lama duduk di sajadahnya setiap waktu sholat. Ia mengirimkan banyak doa untuk ibunya.


***


Sementara itu, Elisa merasa tidak bisa ditinggalkan terus seperti itu. Azkarya harus tinggal bersamanya di rumahnya. Ia lalu terpikir sesuatu untuk itu. Untuk itu ia menemui Azkarya di toko itu.


“Ada apa ke sini?”


“Kamu tidak pulang ke rumahku, ya aku ke sini.”


“Mau apa ke sini?”


“Ketemu kamulah, Mas.”


“Marwah masih kecil, mana mungkin aku tinggalkan sendirian di rumah, Sayang?”


“Iya, aku ngerti, tapi kan mau sampai kapan? Sampai dia berapa tahun? Menurutku, Mas, bawa saja dia tinggal sama aku. Rumah Wati, kamu jual saja. Terus sekalian kamu urus nih, surat-surat toko menjadi atas nama kamu.”


“Hm ... kamu benar juga. Em ... tapi ... apa Marwah mau?”


“Mau tidak mau dia ya harus mau, Mas!” tegas Elisa. Azkarya mengangguk-angguk sepakat. Elisa tersenyum.




Bersambung

Terima kasih

:) :) :)


DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)