Contents
Penetrasi Alai-belai
Penetrasi Alai-belai 4. Peninggalan Watiwisam
Penetrasi Alai-belai 4. Peninggalan Watiwisam
Sepeninggal Watiwisam, atas saran dari Elisa, Azkarya menjual rumah Watiwisam. Selain itu, ia mengajak Marwah untuk tinggal bersama Elisa di rumah Elisa. Marwah menentang dan menolak semua itu. Akan tetapi, apalah daya Marwah yang masih SD. Rumah ibunya akhirnya berhasil dijual oleh pria itu. Hingga pagi itu ....
“Jika kau tidak mau tinggal dengan Ayah, terserah! Silakan kalau kamu mau gelandangan!” tegas Azkarya.
“Ayah jahat! Jangan-jangan Ayah ya, yang membuat ibu tiada? Ayah kan yang membuat ibu tiada, Yah?” Akhirnya karena sudah tidak bisa menahan emosinya, dugaan itu, yang selama ini ia pendam, meluncur dari bibirnya. Azkarya seketika itu memukul Marwah sekeras-kerasnya. Memar dan luka berdarah nampak jelas di wajahnya. Akan tetapi, setelah melakukan hal itu, Karya merasa hatinya terluka atas perbuatannya sendiri kepada putrinya itu. Ia pun bergetar karena perbuatannya itu dan perbuatannya pada Wati yang memang yang menyebabkan kecelakaan itu. Ia menjadi ada rasa khawatir bisa menyebabkan hal yang sama kepada putrinya.
“Ini hari terakhir di rumah ini karena besok pembeli akan datang dan melunasi pembayarannya yang kurang setengah,” terang Azkarya. “Ayah ke toko!” pamitnya tanpa salam lalu pergi dari rumah itu padahal hari masih terlalu buta untuk ke toko. Ketakutannya mencelakai Marwah yang membuatnya pergi sepagi itu. Oleh karena masih pagi ia ke rumah Elisa. Ia sebelumnya memang sudah berniat mau mampir terlebih dahulu ke rumah istri barunya itu. Hanya saja ini terlalu pagi dari yang dijadwalkannya.
“Ibu ... ibu .... Marwah tidak mau tinggal di rumah lain, di sini banyak kenangan bersama ibu. Marwah tidak mau tinggal di rumah lain apalagi dengan orang lain. Ibu ....” Marwah menangis sejadi-jadinya.
“Sekarang aku harus bagaimana?” Marwah kalimpasingan. Kemudian ia teringat sesuatu. “Ya Allah, tabungan ibu! Ibu kan punya tabungan! Ayah belum mengambil tabungan ibu kan?” Marwah lekas-lekas memeriksa kamar kedua orang tuanya.
Marwah menggeledah tas-tas mendiang ibunya. Tas kecil hanya berisi beberapa ratus ribu dan ponsel pintar ibunya, tetapi itu lumayan. Marwah merasa harus mengambilnya segera sebelum pria itu tahu. Kemudian ia menggeledah tas yang lainnya. Akhirnya di tas besar ia menemukan beberapa buku tabungan dan beberapa ATM. Ia memeriksa buku-buku tabungan itu.
“Hm ... lumayan! Ibu, boleh Marwah pakai kan?” tanyanya sembari tersenyum.
Tidak lama berselang ia ingat hal lain lagi. “Ha, iya, perhiasan ibu!” Marwah kali ini menggeledah lemari dan laci-laci di kamar itu. Ia pun menemukan cukup banyak perhiasan. Ia memeluk semua peninggalan ibunya itu. Banyak, tetapi kalau bisa memilih ditukar saja dengan keberadaan ibunya. Ia berkaca-kaca lalu menitihkan air matanya.
“Aku harus sembunyikan ini semua dari ayah! Jangan sampai ia tahu! Bisa-bisa akan diberikan kepada wanita itu!” Marwah bicara sendiri dengan begitu kesalnya.
“Oh, pakaian! Iya, pakaian ibu adalah kenangan yang bisa aku bawa. Bahkan bisa aku pakai nanti jika aku sudah besar.” Marwah kali ini mengemasi baju-baju Watiwisam. Ia mengambil koper dan ia masukkan baju-baju itu ke dalamnya. “Tidak bisa semua,” sedihnya ketika ia dapati koper itu tidak bisa menampung semua baju ibunya. Akhirnya ia memilah memilih mana yang paling sering ibunya pakai, mana yang paling ibunya suka, dan mana yang paling baru. Namun, itu pun masih belum bisa terkemas semua. Ia menghempaskan napasnya.
Kemudian, ia terbesit, bagaimana membuat baju-baju itu bisa memberikan seberkas cahaya di alam kubur ibunya. “Amal.” Marwah tersenyum mendapatkan ide itu. Akhirnya selebihnya pakaian yang tidak bisa tertampung koper itu, Marwah masukkan ke dalam kantong plastik.
Setelah itu, ia lekas menyimpan dan menyembunyikan semua milik ibunya yang berharga untuknya di dalam kamarnya. “Semoga ayah tidak akan tahu,” harapnya dengan mimik wajah yang menunjukkan rasa takut hal itu akan ketahuan dan habis untuk wanita itu.
Tidak terasa, Marwah sampai terlewat waktu sekolah. “Ya Allah!” Ia menghempaskan napasnya. “Tidak apa-apalah hari ini bolos demi menyelamatkan peninggalan berharga ibuku. Sekarang, lebih baik aku gunakan waktu untuk membagikan kepada siapa saja yang butuh yang mau baju-baju ibuku. Selain baju, aku juga akan menawarkan barang-barang ibuku yang lain ke siapa pun yang mau atau membutuhkan. Semoga dengan begitu, kubur ibuku terang dan nyaman.” Marwah tersenyum dan lekas mengerjakan niatnya itu.
❤️❤️❤️
Hari menjelang duhur, akhirnya ia selesai membagikan apa yang ingin ia bagikan. Mereka yang mendapatkan merasa senang. Apalagi barang-barang yang dibagikan yang masih bagus-bagus. Dari bibir mereka pun terucap dengan tulus doa-doa untuk ibunya. Satu kesulitan yang dihadapinya saat membagikan adalah luka di wajahnya yang tampak, membuat mereka bertanya-tanya, dan membuat Marwah harus menjawab dengan berbohong.
“Alhamdulillah, akhirnya beres.” Marwah duduk di karpet lantai rumahnya dan meluruskan kakinya yang merasakan pegal lantaran jalan kaki untuk menyampaikan niat baik. “Semoga ada pahalanya dan pahalanya bisa untuk bekal ibu di sana. Ibu, hanya ini yang bisa Marwah lakukan untuk ibu.” Marwah tersenyum, tetapi juga berkaca-kaca karena hatinya masih nyesek kehilangan ibunya.
Sekarang, pikirannya kembali risau soal tinggal di rumah wanita itu. Ia bingung lagi harus bagaimana. Andai saja ada keajaiban pembeli itu tidak jadi beli. Akan tetapi setengah uang sudah mereka bayarkan tidak mungkin tidak jadi.
“Ya Allah, setidaknya jangan besok pembeli itu melunasi uangnya. Setidaknya izinkan hamba beberapa hari lagi atau minimal dua atau tiga hari lagi, tinggal di rumah ibu yang penuh kenangan baik nan indah bersama ibu,” batin Marwah yang membuatnya kembali berkaca-kaca. Bukan hanya berkaca-kaca, kali ini lanjut hingga bulir demi bulir air jatuh dari matanya. Kemudian, ia menjadi menangis menjadi-jadi.
Allahuakbar Allahuakbar!
Sayup-sayup tanda duhur tiba.
“Ibu,” suai bibirnya. “Ya Allah!” sebutnya dengan menghempaskan napasnya bersama rasa sedihnya. Kemudian, ia lekas bangkit untuk sholat dan mendoakan ibunya.
❤️❤️❤️
Waktu bergulir hingga menjelang sore hari, Watiwisam belum makan sama sekali. Bukan tidak bisa memasak. Kalau hanya sederhana dia masih bisa. Jiwanya yang kalut yang membuatnya tidak menghiraukan perutnya yang lapar. Bahkan setetes air belum ia teguk untuk dahaganya padahal tadi ia berkeliling berbagi dengan jalan kaki, di mana letih dan dahaga sudah pasti menjadi kondisi tubuhnya saat ini. Ia meringkuk di karpet lantai dengan tatapan sendu dan seringkali menitihkan air mata. Ia hanya bangkit untuk sholat dan berlama-lama duduk setelahnya untuk mendoakan ibunya. Setelah itu, ia kembali meringkuk seperti itu sampai waktu sholat magrib tiba dan lanjut sholat isya. Kemudian sampai malam sudah sangat larut dan saat itu Azkarya pulang.
Assalamualaikum.” Azkarya masuk ke dalam rumah. Ia melihat putrinya di lantai beralaskan karpet sedang tertidur. Ia mengunci pintu rumah karena sudah malam dan tidak akan ada anggota keluarganya di dalam rumah itu yang hanya dua orang yang akan ke luar malam-malam begitu. Setelah itu, ia memandangi sejenak gadis kecil itu. Baru setelah itu, ia pergi masuk ke dalam kamarnya.
Suara pintu dan gerakan, sedikit demi sedikit membuat Marwah yang belum benar terlelap terbangun. Ia mengerjap dan mendengar suara pintu dari arah kamar orang tuanya. Ia bangkit untuk memeriksa kamar orang tuanya.
Takut-takut ia mencoba menyapa ayahnya. “Ayah sudah pulang?”
“Iya.”
“Ayah sudah makan? Mau aku buatkan mie instan dan telur?”
“Ayah sudah makan.”
“Ayah mau dibuatkan minuman hangat atau minuman dingin?”
“Tidak perlu, urus saja diri kamu sendiri! Kemasi saja barang-barangmu! Sudah belum, kamu kemasi barangmu? Ingat, besok pembeli sudah mau melunasi pembayaran rumah ini!”
“Iya.”
Marwah menghempas napasnya. Ia lalu ke pintu depan untuk mengunci pintu. Ternyata pintu sudah dikunci oleh ayahnya. Ia beralih pergi ke kamarnya.
Sementara itu, Azkarya yang sedang mengambil baju di lemari untuk dirinya ganti baju mendapati bagian rak istrinya berkurang sangat banyak. Ia lantas memeriksa semua rak lemari istrinya. Ia dapati hal yang sama, berkurang banyak. Tinggal yang jelek-jelek dan yang sudah rusak.
“Ke mana baju-bajunya Wati?” tanyanya lirih. “Ini pasti kerjaannya Marwah!” Azkarya ke luar dari kamarnya pergi ke kamar Marwah.
Azkarya langsung membuka kamar Marwah. Pada saat itu Marwah baru masuk ke kamarnya dan baru menutup pintunya, belum sempat ia kunci.
“Marwah, di mana baju-baju ibumu?” tanya Karya baik-baik.
Marwah menelan salivanya mendengar pertanyaan itu. “Ssusudah Marwah bagi-bagikan ke yang membutuhkan,” jawabnya jujur dengan terbata karena takut.
“Dibagikan ke siapa? Saudara? Tetangga?”
“Tidak kenal, mereka orang-orang susah.”
“Buat apa kamu bagi-bagikan?”
“Biar berkah dan kuburnya ibu nyaman.”
“Ah, kamu itu!”
“Ayah sendiri kan yang bilang ini malam terakhir dan menyuruh berkemas?” tanya Marwah membalikkan sikap ayahnya yang tidak senang atas yang dirinya lakukan terhadap baju-baju mendiang ibunya. “Jadi, ya Marwah beresin sekalian bajunya ibu, biar tidak repot membawa dan kan sudah tidak ada yang memakainya,” imbuh Marwah. Mendengar kata-kata itu, Azkarya terdiam. Elisa, ia pikir juga tidak akan suka memakai baju bekas. Ia lantas kembali ke kamarnya.
Marwah menjadi khawatir ayahnya akan menyadari yang berikutnya. Barang-barang ibunya yang lain, tabungan-tabungan, smartphone, dan perhiasan-perhiasan emas. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana nanti ia akan diamuk ayahnya. Tadi pagi buta saja sudah sangat mengerikan. Pun ingat yang malam itu, di mana malam terakhir ibunya hadir di rumah itu. Malam itu ayahnya sungguh mengerikan baginya.
“Bagaimana ini? Tidak, aku tidak mau menyerahkan barang-barang ibuku itu. Aku tidak akan pernah rela menyerahkan semua itu kepada ayah apalagi wanita itu. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Sudah pasti cepat atau lambat ayah akan tahu semua itu sudah aku ambil. Bisa jadi ayah akan tahu di mana aku menyembunyikan dan akhirnya ia akan mengambil itu semua. Ya Allah, bagaimana ini?” batinnya bingung bercampur takut.
Marwah menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Ia melangkah dengan perasaan kalut ke tempat tidurnya. Ia kemudian kembali ingat jika besok ia harus pergi. Ia perlu mengemasi barang-barangnya.
“Sepertinya besok benar-benar harus meninggalkan rumah ini.” Marwah sudah pasrah untuk besok. Ia sekarang berpikir mengenai barang-barangnya yang akan ia bawa. Ia tidak punya koper hanya dua tas punggung dan satu sling bag berukuran sedang yang biasa ia pakai bergantian untuk ke sekolah. Ia melihat koper ibunya. Akan tetapi, koper itu sudah penuh dengan baju-baju ibunya.
“Apa harus aku kurangi lagi baju-baju ibuku? Iya, aku bisa mengamalkannya lagi.” Akhirnya ia putuskan membawa bajunya yang penting-penting saja, seperti seragam sekolah. Baju hari-hari ia bawa secukupnya saja. Dengan demikian ia tidak perlu mengurangi banyak baju peninggalan ibunya karena baju ibunya sangat penting baginya dikala ia merindukan ibunya. Tiga tasnya ia isi dengan semua buku-buku dan perlengkapan sekolahnya.
“Sembari berangkat ke sekolah aku akan membagikan baju-baju ibuku ini ke yang membutuhkan,” ujarnya dengan tersenyum penuh harap dengan begitu kubur ibunya selalu nyaman.
❤️❤️❤️
Sepulang sekolah saat itu tiba. Marwah dan ayahnya pergi ke rumah Elisa. Azkarya menyewa pickup untuk membawa semua barang-barang di rumah Watiwisam untuk dipindahkan ke rumah Elisa. Sementara Marwah dan ayahnya naik angkutan online. Tidak terlalu jauh rumah Elisa dari rumah Wati, masih satu wilayah, hanya berbeda gang kampung. Masih bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Setelah sampai dan semua barang telah tertumpuk teratur, Azkarya kembali ke toko baju. Sementara itu, Marwah di rumah asing itu bersama Elisa dan kedua putra Elisa. Saat itu, kedua anak Elisa bermain-main dengan barang-barang yang baru datang itu, yang masih di letakkan di teras. Liga anak pertama Elisa membuat salah satu barang itu hampir menjatuhi Elvin yang masih balita. Marwah segera menahan benda itu agar tidak sampai menjatuhi anak kecil itu.
“Sepertinya barang-barang ini membawa sial. Besok barang-barang ini akan aku loakin saja,” ujar Elisa. Marwah pasrah mendengar niatan wanita itu.
“Nama kamu siapa?” tanya Elisa.
“Marwah Anindyawati.”
“Ibu kamu ninggalin apa saja? Tabungannya dan perhiasannya mana? Sini, biar Tante yang simpan! Kamu masih kecil, harus orang dewasa yang simpan!” titah Elisa sembari menengadahkan satu telapak tangannya meminta itu semua.
“Maaf, Tante, ssaya tidak tahu menahu soal itu. Tante tanyakan saja sama ayah,” bohong Marwah. Elisa memencepkan bibirnya.
“Paling tidak kamu pegang uang saku kamu sendiri kan? Sini, biar Tante simpanin uang saku kamu!”
“Marwah bisa simpan sendiri, Tante. Marwah sudah biasa simpan sendiri.” Marwah menolaknya baik-baik.
“Ya sudah, kamu masuk sana! Kamar kamu yang paling belakang di dekat dapur! Kamu bersihkan sendiri, kamu tata sendiri! Liga, Elvin, ayo ikut, kita beli jajan ke warung!”
Marwah masuk sendiri ke dalam rumah itu sembari menggendong tiga tas di badannya dan satu tangannya menarik koper. Ia jalan ke belakang mencari dapur karena katanya kamarnya ada di dekat dapur. Ia menemukan dapur itu dan ia juga menemukan tempat yang dimaksud. Tempat itu kecil sekali, setengah dari kamarnya di rumah Watiwisam. Kamar itu nampak seperti gudang karena ada beberapa barang rusak di dalamnya. Berdebu, penuh laba-laba, ada tikus, dan ada kecoa. Tidak tampak kasur di dalamnya.
“Jangan-jangan dia ibu tiri yang kejam,” batin Marwah berprasangka. Ia pun menjadi takut sekali.
Tiba-tiba seekor kecoa terbang ke arahnya.
“Akh!” pekiknya.
Tidak berselang dua ekor tikus kejar-kejaran hingga jalan di atas punggung kakinya.
“Ya Allah!” Marwah rasanya ingin menangis.
“Aku harus segera membersihkan tempat ini. Terus setelah itu aku tidur di mana? Tanpa alas sama sekali?” Marwah menggigit bibirnya. “Ah, kan ada karpet dan kasur dari rumah!”
Marwah meletakkan tas-tasnya dan mengambil alat kebersihan yang terletak di dekat kamar mandi di dapur itu. Ia lekas membersihkan ruangan itu. Takut-takut dan tidak jarang ia berteriak karena kecoa dan tikus. Ia pinggirkan barang-barang rusak di ruangan itu ke salah satu sudut dapur. Setelah itu ia berusaha sendiri mengambil karpet dan kasur yang ada di teras. Masih mudah baginya membawa karpet meskipun berat. Akan tetapi, untuk kasur ....
Brukkkk!
Kasur itu terguling menimpanya.
Bersambung
Terima kasih
:) :) :)
DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon