Contents
Penetrasi Alai-belai
Penetrasi Alai-belai 5. Ibu Tiri
Penetrasi Alai-belai 5. Ibu Tiri
Elisa dan anak-anaknya yang baru datang dari warung melihat Marwah sudah dalam posisi tertimpa kasur.
“Aduh, nanti aku lagi yang disalahkan kalau anak orang sampai celaka!” Elisa takut juga melihat Marwah tertimpa kasur.
“Kamu ngapain sampai bisa tertimpa kasur segala?” geram Elisa sembari menolongnya.
“Kasurnya mau ditaruh di kamar, Tante,” jawab Marwah dengan meringis kesakitan.
“Ya sudah, ayo gotongan! Ininya sajakan tidak pakai bawahnya?” tanya Elisa.
“Iya, Tante.” Marwah mengangguk.
Setengah hati Elisa membantu Marwah mengangkat kasur yang hanya matrasnya saja.
“Terima kasih, Tante,” ucap Marwah setelah kasur itu berhasil tertata di kamar kecil di dekat dapur.
“Hm,” tanggapan Elisa. “Em ... nanti kamu jangan lupa, buatkan ayah kamu kopi saat dia pulang! Ingat, harus tepat saat dia datang, minuman sudah tersedia dan dalam keadaan masih panas!” titah Elisa.
“Iya, Tante.” Marwah tidak masalah dengan perintah itu.
“Sekarang, coba kamu lihat ke tempat cucian piring sama kamar mandi dapur! Kalau ada piring kotor kamu cuci! Kalau ada baju kotor kamu cuci! Kalau tidak ada, kamu sapu dan pel rumah ini! Yang bersih!” Setelah memberi titah ini itu, Elisa kembali ke teras menemani anak-anaknya bermain.
“Ibu ... Bu,” lirih Marwah mengadu mengeluhkan titah-titah Elisa. Marwah menghempas napasnya lalu ia lekas mengikuti titah-titah itu dimulai dari cucian di dapur lalu cucian di kamar mandi dapur. Untungnya untuk mencuci baju ada mesin cuci.
Namun, saat Elisa menengok Marwah.
“Ini baju-bajunya langsung kamu masukkan, tidak kamu kucek dulu?” tanya Elisa.
“Tidak.” Marwah merasa telah melakukan kesalahan.
“Aduh, nanti ulangi lagi! Kamu kucek-kucek dulu sampai bersih, baru kamu masukkan ke mesin cuci biar benar-benar bersih!” kesal Elisa.
“Iya, Tante.” Marwah menurutinya dengan terpaksa.
❤️❤️❤️
Tepat setengah jam sebelum magrib, Azkarya telah pulang ke rumah Elisa. Saat itu Marwah masih mengaduk minuman untuk ayahnya. Setelah itu, ia lekas menyajikan minuman itu ke ayahnya.
Di kesempatan itu, Elisa menanyakan harta peninggalan Watiwisam. “Mas, kamu dapat warisan apa saja dari Wati? Emas sama tabungannya banyak tidak? Selain itu ada warisan apa lagi, Mas?”
Deg, mendengar Elisa menanyakan hal itu kepada ayahnya Marwah langsung ketakutan. Ia takut diamuk ayahnya dan juga takut harta ibunya habis begitu saja. Ia lekas ke kamarnya dan menutup kamar rapat-rapat. Ia bingung di mana ia bisa menyembunyikan semua itu dengan aman.
“Ya Allah, di mana harus hamba simpan agar tidak ketahuan?” batinnya. Ia lekas mendapatkan ide menyimpan semua itu dengan terpisah-pisah. Ada yang di dalam kaus kaki lalu kaus kaki itu ia masukkan ke dalam sepatu. Ada yang disimpan di dalam saku-saku baju-baju yang sedang terlipat rapi di dalam koper. Ada juga yang di simpan di dalam tubuhnya dengan memakai pakaian dobel. Buku-buku tabungan ia simpan pisah-pisah di dalam buku-buku sekolahnya yang tebal.
Sementara itu, Karya baru ingat soal itu. “Emas, tabungan? Oh, iya! Aku sampai lupa. Aku tidak tahu. Aku kemarin hanya mengemasi baju-baju aku.”
“Terus ke mana dong semua itu? Wati pasti punya kan emas dan tabungan?” tanya Elisa.
“Punya. Ada tabungan dan emas. Kemarin yang beresin barang-barang Wati, Marwah. Coba aku tanyakan ke dia. Marwah ... Marwah!” Azkarya menduga dengan pasti semua ada pada Marwah.
Deg, Marwah datang dengan khawatir. Ia menghampiri ayahnya dengan takut-takut.
“Iya, Ayah.”
“Kamu kan kemarin yang membereskan barang-barang ibu kamu. Mana tabungan dan emas ibu kamu?” tanya Azkarya.
“Tttabungan dan emas ibu? Mmmarwah tidak tahu, Yah. Harusnya, Ayah, yang tahu. Marwah mana tahu soal tabungan dan emas.” Marwah berbohong dan mencoba menghindari ayahnya berprasangka kepadanya.
“Kalau ayah tahu, ayah tidak tanya kamu, Marwah.” Azkarya menjadi tidak tahu sekarang harta Wati ada di mana. Jelas ia tahu hanya ada mereka berdua di rumah Wati.
“Tidak mungkin kalian berdua tidak tahu. Kalau kamu tidak tahu, Mas, berarti Marwah yang tahu,” kata Elisa.
“Jangan bohong kamu, Marwah! Kamu kan yang kemarin beresin barang-barang ibu kamu! Mana tabungan dan emas ibu kamu?” Azkarya berpikir kata-kata Elisa itu ada benarnya karena memang hanya ada dirinya dan putrinya di rumah itu sepeninggal Wati.
“Marwah sudah bilang Marwah tidak tahu, Ayah!” tegas Marwah mencoba meyakinkan Karya.
“Tapi kamu yang kemarin membereskan baju-baju ibu kamu, Marwah!” tegas Karya.
“Kalau Marwah kemarin yang membereskan, dia pasti tahu, Mas! Dia pasti bohong, Mas!” tegas Elisa.
“Mana tabungan dan emas ibu kamu?” bentak Azkarya.
“Kalau Ayah tidak percaya, Ayah periksa sendiri tas-tas Marwah!” Marwah berkata dengan cemas kalau-kalau Karya memeriksa tas dan akan menemukannya.
“Kamar kamu di mana?” tanya Azkarya.
“Dia pilih yang di dekat dapur, Mas,” terang Elisa sebelum Marwah yang menjawabnya. Azkarya lekas ke kamar itu.
“Aku tidak memilih kamar,” batin Marwah menanggapi pernyataan ibu tirinya. Ia lekas mengikuti ayahnya ke belakang. Elisa juga ikut ke belakang.
Azkarya memeriksa koper. Ia melihat tumpukan baju yang tertata rapi. Ia melihat di sela-sela dan mengangkat baju-baju terlipat itu dengan hati-hati agar tidak berantakan. Ia tidak melihat adanya buku tabungan dan emas. Kemudian ia melihat ke tiga tas sekolah Marwah. Ia melihat isinya buku-buku dan lain-lain peralatan sekolah. Ia tidak menemukan juga apa yang dicarinya.
“Kamu simpan di mana, Marwah?” tanya Azkarya.
“Ayah tahu sendiri, Marwah hanya membawa empat tas. Ayah juga sudah memeriksanya. Mungkin, Ayah, lupa meletakkan emas dan tabungan itu di mana. Marwah kan tidak tahu menahu urusan seperti itu, Yah.”
“Apa kamu yang lupa, Mas? Atau kamu bohong sama aku?” duga Elisa.
“Apa? Kamu bilang aku bohong? Aku tidak bohong, Elisa, aku lupa kalau Wati punya tabungan dan emas! Aku sama sekali tidak kepikiran karena yang aku pikirkan itu toko.”
“Kalau begitu, pasti dia yang bohong, Mas! Mungkin perlu diberi pelajaran agar dia mau jujur ditaruh di mana, Mas,” saran Elisa.
“Marwah, katakan jika kamu tidak mau Ayah pukul!” tegas Azkarya.
“Marwah tidak tahu, Ayah! Ayah tidak percaya Marwah? Ayah kan sudah periksa tas-tasnya!” Marwah kekeh tidak akan memberitahukan. Alhasil Azkarya memukuli Marwah.
“Ampun, Ayah, Marwah tidak tahu! Sungguh Marwah tidak tahu, Ayah!”
“Terus, Mas, sampai dia ngaku!” kata Elisa.
Marwah tetap tidak membuka mulutnya sampai akhirnya ia pingsan setelah banyak pukulan yang ia dapatkan.
“Marwah!” Azkarya bergetar. Ia teringat kejadian yang menimpa Wati. Ia menjadi khawatir itu terjadi juga pada Marwah. “Kamu sih!” marah Karya pada Elisa.
“Kok aku? Kan kamu, Mas, yang memukuli dia?”
“Kamu yang suruh tadi kan?” Azkarya lekas menggendong Marwah dan membawanya ke rumah sakit.
“Masak aku tidak ikut ke rumah sakit? Kesannya aku tidak peduli sama anaknya.” Elisa menitipkan kedua putranya ke tetangganya lalu menyusul suaminya ke rumah sakit.
Di rumah sakit Azkarya dan Elisa berbohong atas apa yang menimpa Marwah. Atas saran Elisa, keduanya berbohong jika Marwah terluka karena terkena bullying teman-temannya. Namun, mereka menolak melaporkan ke pihak berwajib dengan alasan karena namanya juga anak-anak jaman sekarang, kalau dilaporkan nanti malah menjadi dan memperkeruh suasana.
❤️❤️❤️
Belum pulih dari sakitnya, Elisa tidak segan memerintahkan Marwah untuk mengerjakan pekerjaan rumah. “Sakit, jangan manja! Ayo, bangun! Cuci piring bekas sarapan, setelah itu cuci baju! Kalau sudah sapu dan pel rumah! Bukan hanya lantai bawah, lantai atas juga! Yang bersih! Aku mau ke mall dulu dan jemput Liga ke sekolah! Sebelum aku pulang, semua pekerjaan harus sudah beres! Mengerti, Marwah?”
“Marwah masih sakit, Tante. Tangan Marwah yang kena pukul masih sakit, belum bisa bergerak bebas, kerasa sakit sekali kalau bergerak.”
“Jangan alasan! Jangan manja! Atau aku akan laporkan kamu ke ayah kamu kalau kamu tidak nurut dan suka membantah aku! Biar kamu dipukul lagi sama ayah kamu!” Setelah mengatakan itu Elisa lekas pergi.
“Ya Allah. Bu ....” Setelah Elisa pergi, Marwah bangun dan mengerjakan perintahnya.
Sembari mengerjakan pekerjaan rumah, Marwah kembali terpikir soal harta peninggalan ibunya. Azkarya pasti akan menanyakan harta itu lagi. Pasti akan mencari terus keberadaan harta itu sampai tahu jelas ada di mana. Cepat atau lambat pasti akan ketahuan. Dirinya mungkin akan mendapatkan pukulan lagi dari Karya.
“Ya Allah, di mana yang aman hamba sembunyikan harta ibu?” bingungnya. Kemudian ia terbesit. “Daripada nantinya diambilnya lebih baik ....” Ia memiliki pemikiran bagaimana baiknya harta peninggalan ibunya itu digunakan. Ia meninggalkan pekerjaan rumah.
Ia mengeluarkan buku-buku di dalam satu satu tas ransel. Ia bawa barang dua tiga buku besar saja untuk tempat menyimpan buku tabungan. Kemudian ia ambil semua emas dan beberapa ratus ribu sisa uang dari dompet kecil ibunya waktu itu. Ia masukkan semua harta itu ke dalam tas ransel itu. Untuk ponsel pintar ibunya ia sembunyikan di salah satu kantong baju yang terlipat rapi yang ia masukkan ke dalam baju yang terlipat rapi lagi. Ia menyimpan sangat benda elektronik itu karena di dalamnya berisi kenang-kenangan bersama ibunya berupa foto dan vidio. Ia lalu pergi membawa tas ransel itu.
Ia menjual semua emas. Ia ambil tabungan-tabungan ibunya. Ia sisakan sedikit untuk simpanan dirinya sekolah. Kemudian ia pergi ke masjid-masjid, memasukkan uang ke kotak-kotak masjid yang ia datangi. Selain itu ia juga memberikan ke orang yang membutuhkan yang benar-benar tidak ia kenal sama sekali. Ia melakukan sampai harta ibunya yang ia uangkan habis.
“Alhamdulillah, Ya Allah,” ucapnya lega lalu lekas kembali ke rumah Elisa.
Sekembalinya ke rumah Elisa ia kembali menyimpan sisanya dengan aman seperti sebelumnya. “Menyembunyikan sedikit lebih mudah daripada menyembunyikan yang sangat banyak seperti sebelumnya. Sekarang aku lebih tenang.” Setelah itu, ia lekas kembali mengerjakan tugas yang diberikan Elisa.
Saat Elisa datang ternyata Marwah masih mencuci. “Marwah, ini sudah siang, kok masih mencuci? Matahari sudah terik, harusnya baju-bajunya sudah bersih dan kering. Berarti rumah belum kamu sapu dan pel, Marwah? Kamu tuh pemalas ya? Ibu kamu gak bisa ngajarin kamu dengan benar! Pantas saja ayah kamu lebih memilih aku daripada ibu kamu! Ayah kamu itu tidak cinta sama ibu kamu. Ibu kamu menawarkan hartanya demi memiliki Azkarya, jadinya Azkarya mau sama ibu kamu,” oceh Elisa. Marwah menahan emosinya karena wanita itu menjelekkan ibunya yang sangat baik baginya. Gigi-giginya saling beradu karena menggigit emosinya.
“Kerjakan sendiri ya, Tante. Ini kan semua cucian Tante bukan cucian Marwah. Ini juga rumah Tante bukan rumah Marwah.”
“Apa katamu? Berani ya kamu melawan? Kalau tidak tinggal di sini kamu tinggal di mana? Kamu sudah tidak punya rumah, Marwah!” Elisa kesal mendapati Marwah berani dengannya.
Marwah bangkit dari duduk mencuci dan hendak pergi. Elisa menjambak rambutnya.
“Ah, Tante!”
“Kalau kamu tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah jangan tinggal di sini! Sana, jadi gelandangan sana!”
“Tante, berani sama ayah, kalau Marwah pergi dari sini?” balas Marwah. Mendengar itu Elisa terdiam. Kemudian ia melampiaskan kesalnya dengan melepaskan jambakannya dengan dorongan hingga Marwah terjerembap.
Bersambung
Terima kasih
:) :) :)
DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)