Try new experience
with our app

INSTALL

Penetrasi Alai-belai  

Penetrasi Alai-belai 6. Bukan Keluarga

Penetrasi Alai-belai 6. Bukan Keluarga


Elisa telah melepaskan rambut Marwah dan membuatnya terjatuh.


Elisa mendapatkan pemikiran hingga ia berkata, “Dengar! Ayah kamu tidak mencintai ibu kamu, itu artinya dia juga tidak mencintai kamu. Coba saja kamu pergi! Memang dia akan peduli sama kamu? Yang jelas kalau kamu tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah akan aku laporkan! Kita lihat, kamu bakal dipukuli lagi atau tidak sama ayah kamu!” Setelah mengatakan itu Elisa pergi. Sementara Marwah, merasa takut dipukuli lagi oleh ayahnya sehingga ia merasa tidak ada pilihan lain. Marwah bangkit dari lantai dan kembali melanjutkan mencuci.


“Ya Allah ... Ya Allah,” sebut Marwah sembari mencuci.


Hari-hari Marwah di rumah itu harus dijalaninya dengan demikian. Ia takut ibu tirinya akan melaporkan ke ayahnya jika ia tidak menurut. Ia takut ayahnya akan memukulinya lagi.


Bahkan hingga ....


Marwah hendak mandi bersiap ke sekolah. Akan tetapi, Elisa memberinya perintah.


“Marwah, kamu buatkan dulu ayah kamu sarapan, baru setelah itu kamu mandi!”


“Marwah harus segera mandi soalnya mau ke sekolah, Tante.”


“Buatkan ayah kamu sarapan dulu! Masakan nasi! Bisa kan, tinggal nyalakan magic com saja? Setelah itu lauknya kamu gorengin saja telur sama kamu buatkan mie instan!”


“Tante, Marwah harus mandi sekarang, nanti telat!” kekeh Marwah.


“Mas ... Marwah membantah nih!” pekik Elisa.


“Apa sih, pagi-pagi sudah ribut?” tanya Azkarya sembari jalan ke dapur. Marwah yang takut kena marah apalagi kena pukul ayahnya jadi lekas mengerjakan tugas dari Elisa. Elisa tersenyum miring penuh kemenangan.


“Nih, Mas, Marwah! Dia suka membantah aku. Em ... kalau sama Wati apa emang suka membantah ya, Mas?”


“Enggak kok, sama Wati gak pernah begitu.”


“Iya sih, aku memang bukan ibu kandungnya jadi dia begitu sama aku.” Elisa berekspresi sedih.


“Marwah, jangan begitu sama mama Elisa! Dia juga ibu kamu! Kamu harus sama hormatnya seperti kamu hormat dengan ibu kamu! Kamu tidak boleh membantah Elisa! Dengar kamu, Marwah?” tegas Azkarya.


“Iya, Ayah.”


“Awas kalau kamu sampai membantah Elisa lagi!” Azkarya lalu pergi ke ruang depan.


“Tuh kan, Marwah, kamu dengar sendiri kan?” tanya Elisa untuk menegaskan kepada Marwah jika yang menang dan yang disayang Azkarya adalah Elisa. Sementara Marwah hanya dianggap angin lalu.


“Lihat, Wati, suami kamu sayangnya sama aku bukan kamu. Anak kamu jadi tidak dipedulikan,” batin Elisa sangat senang. Elisa lalu pergi meninggalkan dapur.


Marwah membuat telur bercampur mie instan karena ia sedang teringat ibunya. Saat-saat terakhir bersama ibunya, itulah yang dibuatkan ibunya untuk dirinya sarapan. Nasi masih belum matang, lauk itu sudah matang.


Saat itu anak-anak Elisa mencium aroma sedam dari lauk itu. Liga dan Elvin menuju ke dapur mengikuti aroma itu. Elisa mengikuti anak-anaknya dengan berjalan pelan. Liga yang sampai dapur duluan langsung melihat lauk itu sedang terhidang. Liga mengambil satu piring berisi lauk itu dan membaginya sedikit kepada Elvin.


“Nih, kamu sedikit saja!” kata Liga kepada adiknya.


“E e, itu punya aku buat ayah!” celetuk Marwah. Liga dan Elvin tidak pedulikan. Liga lekas pergi membawa piring berisi telur berisi mie itu. “Kalian nakal sih!” pekik Marwah.


“Nakal apa sih, Marwah? Pelit amat gitu aja? Telur dan mienya kan Tante yang beli bukan kamu!” sergah Elisa mengejutkan Marwah saat sampai di dapur dan mendengar kata-kata Marwah kepada anak-anaknya yang menjengkelkannya.


“Pakai uang ayah Marwah kan?” balas Marwah.


“Mas ... Mas Karya ... ini loh putrimu jahat sama anak-anakku! Anak-anakku kan masih kecil! Masak Marwah tidak mau membagi makanannya?” seru Elisa membuat Azkarya datang ke dapur lagi. Hal itu sontak membuat Marwah ketakutan.


“Ada apa lagi, Elisa?”


“Ini loh, Marwah. Anak aku minta makanannya, masak tidak dikasih dan malah dikata nakal dan dipukul,” adu Elisa.


“Apa sih, Marwah? Kamu bikin malu Ayah saja! Kelakuan kamu kayak tidak pernah dididik dengan baik sama ibu kamu! Ini pasti hasil dari Wati suka memanjakan kamu! Liga dan Elvin itu adik kamu! Mengerti, Marwah?” marah Azkarya.


Marwah menahan emosinya yang sangat mendalam. Ia dituduh Elisa melakukan yang tidak ia lakukan. Lagi-lagi ibunya yang baik yang telah tiada yang malah dijelekkan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela dirinya dan ibunya. Ia tidak berani juga melampiaskan kejengkelannya.


“Iiya, Ayah,” lirih Marwah.


Liga dan Elvin kembali ke dapur sembari membawa piring yang sudah kosong. Liga menyerahkan piring itu ke Marwah.


“Mau lagi!” pinta Liga sembari menyodorkan piring itu.


“Marwah, buatkan yang banyak untuk adik-adik kamu apa yang tadi kamu buat!” titah Azkarya.


“Iya, Ayah.”


“Buatkan ayah kopi juga!”


“Iya, Ayah!”


“Em ... Mama juga mau dong kopi!” ujar Elisa.


“Tuh, buatkan juga untuk mama kamu!” titah Azkarya setelah itu meninggalkan dapur.


“Liga, ayo kamu sambil menunggu bersiap ke sekolah! Nanti telur mienya bisa buat bekal ke sekolah!”


“Asyik!” seru Liga. “Kalau begitu buatkan yang banyak sekali biar teman-teman Liga bisa Liga bagi, Ma.”


“Liga minta dibuatkan yang banyak. Em ... kamu buatkan sepuluh porsi!” titah Elisa. Setelah itu ia dan kedua anaknya beranjak dari dapur.


Akibat hal itu, hari itu, Marwah menjadi terlambat ke sekolah. Tidak hanya hari itu, di hari-hari lain juga. Selain memasak, ada saja perintah yang diberikan Elisa untuknya di setiap pagi. Ia menjadi sangat sering terlambat ke sekolah karena di suruh ini itu. Kemudian di saat Azkarya harus berangkat pagi sekali karena ada barang datang sangat pagi, Elisa membuat Marwah sampai tidak berangkat ke sekolah karena memberikan banyak sekali pekerjaan rumah.


“Ibu ... wanita itu jahat,” adu Marwah dalam batinnya kepada seseorang yang sudah tidak ada, tidak di sisinya, dan tidak bisa menolongnya.


Wanita itu sudah membuat sekolah Marwah menjadi terbengkalai, padahal seharusnya, Marwah saatnya lebih fokus ke pelajaran karena sudah kelas enam SD, mau kelulusan untuk lanjut ke SMP. Surat teguran pun didapatkan Marwah. Saat mengetahui adanya surat itu Azkarya malah marah dan menghajar Marwah. Marwah tidak bisa membela diri dan tidak ada yang membelanya. Bukan mau Marwah sekolahnya terbengkalai. Akan tetapi, tetap saja Marwah yang disalahkan, bahkan sampai dengan kekerasan seperti itu.


“Dia memang perlu diberi pelajaran, Mas, biar ngerti kalau sekolah itu ada biayanya. Biar tahu kalau Mas sudah kerja keras buat sekolahin dia. Kalau tidak mau sekolah ya sekalian tidak usah sekolah. Sayang-sayang uangnya. Hanya buang-buang uang kalau begitu,” kata Elisa.


Dengan susah payah Marwah akhirnya bisa lulus SD. Akan tetapi, saat SMP hal demikian berlaku lagi padanya, sekolahnya terbengkalai lagi, padahal bukan maunya. Selain itu, uang sekolah Marwah, uang jajan dan untuk keperluan sekolah lainnya diambil Elisa saat Azkarya tidak melihatnya. Marwah menerangkan, menjelaskan segalanya, tetapi Azkarya tidak mau dengar. Akhirnya di awal-awal SMP, Marwah putus sekolah.


Tidak hanya Elisa, Liga dan Elvin, terutama Liga sering menjadikan Marwah bahan bullying. Liga juga sering mengadu-adu mengada-ada kepada Azkarya agar Marwah dimarahi. Liga sangat senang jika melihat Marwah dimarahi ayah mereka.


Semakin hari dan berganti waktu, Elvin yang beranjak besar juga berbuat yang sama pada Marwah. Ia meniru kakaknya mengerjai Marwah. Ia juga meniru ibunya berbuat kasar dengan verbal dan menyuruh ini itu kepada Marwah. Kemudian, ia bahkan meniru ayahnya berbuat kasar secara fisik.


Kemudian keadaan Marwah ditambah parah oleh kehamilan Elisa. Saat Elisa hamil, Marwah yang tidak sekolah menjadi memegang tanggung jawab penuh atas pekerjaan rumah itu dan kedua anak Elisa. Ia semakin menjadi sasaran empuk kedua anak nakal itu karena selalu berada di dekat kedua anak itu. Tidak hanya di dalam rumah, kedua anak itu bahkan mempermalukan Marwah di tempat umum saat mengantar atau menjemput kedua anak itu.


Netra Marwah selalu sembab setiap hari. Saat sendiri, sudah pasti ia menangis. Saat di hadapan mereka, tidak jarang tidak bisa menahan air matanya. Hari-hari adanya penderitaan dan air mata di hidupnya.


“Ya Allah ... hanya Allah yang hamba punya,” batin Marwah.


❤️❤️❤️


“Marwah sudah aku anggap keluarga sendiri. Seperti putri aku sendiri. Aku selalu memanjakannya. Iya masak putri dari pria yang sangat aku cintai tidak aku manjakan ya, Bu? Em ... sayangnya dia itu pemalas. Suka bolos sekolah. Suka main cowo, pacaran melulu. Anaknya bangor, bandel banget. Jadinya sekolahnya berhenti. Sayang-sayang, kasihan almarhumah ibunya. Aku sih tidak masalah. Dia tetap akan aku rawat dengan sabar,” bohong Elisa saat berbincang dengan tetangganya di luar rumah. Ia memang selalu membanggakan dirinya jika di luar rumah, jika ia telah dengan sepenuh hati mengasuh anak tirinya. Warga sekitar menjadi menganggap betapa baiknya Elisa sedangkan terhadap Marwah menganggap Marwah anak tidak tahu diuntung.


Ayah Marwah menjadi malu punya anak namanya Marwah. Ia menjadi semakin sering marah ke Marwah lantaran malu itu. Ia merasa tidak bisa mendidik Marwah dengan benar. Jadinya, ia harus keras kepada Marwah agar Marwah menjadi anak yang benar.


Tetangga-tetangga juga sering menasehati Marwah. Mereka bilang Marwah beruntung memiliki ibu tiri yang baik dan memiliki keluarga yang sayang kepadanya. Mereka sering menegur Marwah untuk menjadi anak yang baik. Menasehati supaya sekolah yang benar biar jadi orang. Menasehati Marwah agar ingat almarhumah ibunya, jika ia nakal maka ibunya menderita di alamnya.


“Keluarga? Mereka bukan keluarga.” Marwah merasa dirinya sekarang tidak memiliki siapa pun kecuali Allah SWT.


Selama beberapa tahun begitulah kehidupan Marwah.


Bersambung

Terima kasih

:) :) :)


DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)