Contents
Penetrasi Alai-belai
Penetrasi Alai-belai 7. Gadis Gembel
Penetrasi Alai-belai 7. Gadis Gembel
“Ayah, baju-baju Marwah sudah kekecilan semua. Marwah boleh minta baju yang ada di toko?”
“Sayang-sayang baju dagangan kalau dipakai sendiri. Mending dijual biar dapat uang. Lagian kamukan tidak ke mana-mana. Buat di rumah saja baju kekecilan tidak masalah lah,” kata Elisa.
“Kamu kan bawa baju-baju ibu kamu, Marwah,” kata Azkarya.
“Nah, tuh, kamu kan bisa pakai baju ibu kamu.” Elisa mendukung Azkarya. Ia tidak rela uang suaminya keluar untuk Marwah atau barang dagangan yang bisa diuangkan untuk Marwah.
“Masih kebesaran, Ayah.”
“Kamu bisa kecilkan. Jahit atau pakai sabuk. Tuh, aku punya benang sama jarum. Kamu ambil, ada di laci lemari itu! Sana, kecilkan baju-baju ibu kamu, biar kamu bisa pakai!” saran dan titah Elisa. Marwah tidak punya pilihan selain menurutinya.
Usia beranjak, bajunya masa SD sudah tidak muat. Baju baru tidak pernah ia dapatkan lagi, padahal ayahnya memiliki toko baju. Ia hanya memiliki baju peninggalan Watiwisam. Baju yang jika dipakainya masih kebesaran apalagi Marwah sangat kurus. Ia menjadi perlu menjahit di banyak sisi dan menambahkan sabuk untuk memakai baju-baju itu. Tidak banyak juga baju itu, ada empat belas setel. Masih sangat cukuplah untuk cuci pakai setiap hari. Mukena ibunya ada dua setel yang harus dipakainya bersama peniti.
❤️❤️❤️
“Aduh, toko mulai sepi,” keluh Azkarya suatu hari di malam hari saat sendirian duduk di teras.
Marwah yang sedang membawakan kopi mendengar suara lirih keluhan itu. Marwah menjadi ikut kepikiran soal itu. Hal itu membuatnya berpikir jika ia harus kerja supaya ada pemasukan. Akan tetapi, kerja apa untuknya yang hanya lulusan SD. Ada harta peninggalan ibunya yang masih ia sembunyikan yang ia pikir bisa ia jadikan modal usaha.
“Aku biasa bikin donat dan pastel bersama ibu. Aku masih ingat bagaimana bikinnya. Akan aku coba buat dan jual,” batin Marwah.
Keesokkan harinya saat Elisa pergi jalan-jalan, ia menyempatkan diri di sela pekerjaan rumah untuk pergi berbelanja bahan-bahan donat dan pastel. Setelah itu, ia selesaikan dahulu sesegera mungkin pekerjaan rumah. Baru selanjutnya ia mulai membuat donat dan pastel. Saat ia mencoba membuat kedua jenis kue itu, hari sudah sore lantaran banyak sekali pekerjaan rumah yang diberikan oleh Elisa.
Belum jadi Marwah membuat dua macam kue itu, sudah ada Elisa dan ketiga anaknya, bahkan sudah ada ayahnya. Azkarya pulang lebih cepat karena tidak ada pengunjung sama sekali di tokonya sehingga ia memutuskan menutup cepat tokonya. Elisa dan anak-anaknya pulang hampir bersamaan dengan Azkarya. Sesampainya di rumah, setelah ganti baju, Liga dan Elvin langsung bermain di teras, sedangkan Atharrazka yang masih balita selalu dalam buaian Elisa ke mana-mana. Elisa ke dapur untuk melihat pekerjaan rumah sudah beres atau belum. Azkarya juga ke dapur untuk meminta kopinya. Mereka menjadi melihat apa yang sedang dilakukan oleh Marwah Anindyawati.
“Marwah, apa yang kamu buat? Harusnya kamu bikin kopi! Tuh, ayah kamu sudah pulang! Kok banyak minyak, banyak tepung, dan bahan-bahan apa saja ini? Kamu belanja? Kamu pakai uang siapa?” tanya Elisa.
“Anu ... anu ....” Marwah bingung menjawabnya. Beruntung, ia segera mendapatkan ide untuk menjawabnya. “Ada santunan anak yatim-piatu. Alhamdulillah, Marwah dapat.”
“Kamu dapat kok gak bilang-bilang? Dari siapa? Dapat uang berapa memangnya? Harusnya uangnya kasih ke aku!” kata Elisa.
Azkarya juga dengar pembicaraan mereka. “Harusnya kasih ke Ayah, buat modal tambahan toko baju. Toko baju sedang butuh modal!”
“Anu ... dikasihnya sembako minyak sama tepung banyak sekali. Marwah tidak kenal siapa yang kasih. Terus Marwah kepikiran mau coba buat donat sama pastel untuk dijual. Siapa tahu bisa menghasilkan uang,” ujar Marwah. “Sekarang, Marwah coba buat sedikit dulu. Kalau berhasil, besok baru bikin yang banyak untuk dijual,” imbuhnya.
“Hm ... bener juga,” batin Azkarya karena toko baju sepi dan perlu pemasukan yang lain. “Ya sudah, lanjutkan! Harus berhasil! Kamukan sudah diajarin sama Wati bikin donat dan pastel! Masak tidak bisa? Mulai besok, kamu harus jualan donat sama pastel!” tegas Azkarya.
“Iya, Ayah.” Marwah tersenyum tipis. Baru kali ini ada senyum di wajah Marwah untuk ayahnya setelah peristiwa pertengkaran ayahnya dan ibu kandungnya di malam itu.
“Hm ... lumayan juga kalau dia bisa menghasilkan uang. Bisa ada tambahan uang buat jalan-jalan,” batin Elisa.
“Marwah, buatkan Ayah kopi dahulu!” titah Azkarya.
“Iya, Ayah.” Marwah menurut. Azkarya lalu pergi ke depan.
“Kamu boleh jualan, tapi pekerjaan rumah juga harus tetap beres ya?” kata Elisa dengan tegas.
“Iya, Tante,” jawab Marwah yang tidak ada pilihan. Elisa lekas ke depan menemani Azkarya dan ketiga anaknya.
Saat itu, Azkarya menyempatkan bicara kepada Elisa. Ia harus jujur agar Elisa tidak jalan-jalan dan belanja-belanja terus karena pemasukan berkurang. Ia memberanikan diri untuk mengungkapkan hal itu pada Elisa.
“Elisa, toko baju sekarang sepi. Sudah ada dua karyawan dan karyawati aku yang terpaksa aku berhentikan. Oleh karena itu, untuk saat-saat ini, kamu jangan belanja-belanja dulu ya, selain kebutuhan pokok. Soalnya kebutuhan pokok saja kan banyak sedangkan penghasilan sekarang sedikit. Kalau dipakai buat belanja yang tidak penting nanti kurang untuk kebutuhan pokok. Kalau toko sudah ramai lagi, sudah banyak lagi omzetnya, baru deh kamu belanja-belanja lagi sepuasnya.”
“Yah ... Mas, belanja-belanja yang kata Mas tidak penting itu juga kebutuhan pokok buat perempuan,” keluh Elisa.
Saat itu Marwah datang membawa secangkir kopi sehingga mendengar percakapan ayah dan ibu tirinya itu. Namun, ia lekas ke belakang untuk menyelesaikan membuat donat dan pastel. Menurutnya hanya itu saat ini yang bisa ia lakukan untuk mengatasi ekonomi keluarganya.
“Iya, mau bagaimana lagi? Ya kalau menurut kamu itu lebih penting, kalau kebutuhan pokok untuk sehari-hari, untuk ketiga anak kamu tidak penting, ya terserah, silakan saja belanja-belanja!” tegas Azkarya.
Elisa menghempaskan napasnya. Ia merasa suaminya sekarang sudah miskin. Ia tidak senang menjadi miskin. Ia tidak senang tidak bisa senang-senang lagi.
“Miskin,” keluh batin Elisa hingga terekspresikan dengan wajahnya.
Menjelang magrib tiba. Pastel dan donat sudah jadi. Ada dua puluh lima donat dan dua puluh dua pastel yang telah ia buat. Masing-masing jenis ia letakkan di satu piring besar sehingga menjadi dua piring. Ia lekas ke depan untuk menawarkan kedua kue itu kepada kedua orang tuanya dan adik-adiknya.
Di tengah dingin suami istri itu, Marwah datang membawa sepiring donat dan sepiring pastel yang masih hangat. “Ayah, Tante, silakan dicoba!” serunya dengan senang hati dan semangat. Baru kali ini hatinya ada rasa senang dan semangat setelah bertahun-tahun meskipun hanya sesaat itu.
“Wah,” lirih Elisa tertarik. Seketika itu, ia sumringah lagi. Ia lalu ingat ketiga putranya. “Nih, Atharrazka, donat!” Elisa memberikan sebuah donat kepada putranya yang berusia tiga tahun. “Liga, Elvin, sini! Nih, ada donat sama pastel!” serunya memanggil kedua putranya yang sedang bermain di teras. Kedua anak itu lekas masuk ke dalam dan mengambil banyak-banyak donat hingga kedua tangan mereka penuh.
“Ini buatannya Marwah. Nanti kalian bilang enak atau tidak ya?” kata Azkarya.
“Tidak enak!” kata Liga padahal baru ambil dan belum mencobanya. Kemudian setelah mencobanya ia memakan banyak sekali.
Sementara Elvin sudah mencoba banyak tetapi ia berkata, “Tidak enak sama sekali, sampah!” Akan tetapi, setelah berkata seperti itu ia kembali memakannya dan mengambil juga yang pastel banyak-banyak.
Dalam sekejap kue-kue itu habis oleh ketiga anak Elisa terutama Liga dan Elvin. Karya kebagian dua buah pastel dan dua buah donat. Elisa kebagian banyak pastel dan dua buah donat. Sementara Marwah, hanya kebagian sebuah pastel dan sebuah donat yang sudah ia makan dahulu saat di dapur dari hasil gorengan yang pertama.
“Berdoa saja, donat dan pastelnya laku. Kalau laku banyak, kamu kan bisa jalan-jalan lagi,” kata Azkarya kepada Elisa sembari menatap Elisa.
“Kalau begitu besok kamu bikin yang banyak dan harus laku sampai habis! Jangan pulang kalau belum habis!” titah Marwah.
“Iya, Tante.”
Tiga tahun sepeninggal Watiwisam, toko baju itu pelan-pelan menjadi sepi, sepi, semakin sepi, dan sekarang terancam bangkrut. Azkarya sudah berupaya membuat toko itu laris lagi, tetapi tiada hasil. Ia terpaksa harus mengurangi satu persatu karyawan dan karyawatinya. Kini ia pun harus memberhentikan karyawannya yang sudah tinggal satu-satunya. Ia terpaksa harus menjaga sendiri toko baju itu karena kini setiap harinya seringkali zero penjualan. Satu harinya kalaupun ada pembeli hanya satu dua yang terjual. Kadang-kadang saja ada hasil penjualan lebih.
“Ayah kamu sudah semakin minus kasih uang belanja. Hasilnya dagangan kamu juga hanya cukup untuk hari-hari. Marwah, kamu harus jual lebih banyak lagi!” kesal Elisa dengan keadaan ekonomi mereka. Sudah tidak pernah senang-senang lagi, eh sekarang toko baju tambah parah sepinya. Seakan sudah tidak mungkin lagi baginya untuk bisa bersenang-senang.
Uang belanja bulanan dan untuk biaya-biaya macam-macam sudah sangat kurang yang diberikan oleh Azkarya. Kebutuhan bulanan mereka tercukupi dari hasil Marwah dagang donat dan pastel. Sampai-sampai hasil Marwah dagang tidak pernah Marwah memilikinya. Semua hasilnya untuk mereka. Sudah syukur Marwah masih boleh makan untuk bertahan hidup.
Marwah memutar otak bagaimana bisa jual lebih banyak. Ia lalu terpikir untuk menitipkan ke toko-toko. Selain titip ke toko-toko, di hari-hari selanjutnya ia teringat jika ada teman sekolahnya dulu yang menitipkan kue di kantin sekolah. Ia lantas menambah dengan menitipkan ke kantin sekolah-sekolah. Tidak berhenti di tempat- tempat itu, ia terus mencari tempat di mana ia bisa menitipkan kue-kuenya. Akan tetapi, meskipun demikian, ia tetap menjajakan sebagiannya dengan berkeliling seperti biasa. Alhasil hasil dagangannya lumayan banyak.
“Ah, hasilnya kan banyak, aku sembunyikan sebagian untuk diriku sendiri kayaknya tidak apa-apa. Ayah atau wanita itu aku rasa tidak akan tahu.”
Namun, kenyataan yang ia dapati, Elisa tahu. Elisa melaporkan perbuatan Marwah kepada Azkarya. Azkarya mengamuk dan menghajar Marwah. Setiap kali Marwah mencoba lagi menyembunyikan sedikit hasil penjualan kuenya, setiap kali juga Elisa mencoba mencari tahu menggeledah sedetail mungkin hingga tahu.
“Jangan coba-coba menyembunyikan dariku atau aku akan laporkan lagi kepada ayahmu!” ancam Elisa. Elisa menjadi bisa belanja-belanja lagi dan jalan-jalan lagi bersama ketiga putranya. Sementara Marwah, hanya bisa bekerja keras dan bekerja keras.
“Setidaknya kalau begitu, Tante yang kerjakan pekerjaan rumah! Marwah kan sudah cari uang buat Tante dan anak-anak Tante,” protes Marwah suatu hari.
“Apa katamu? Enak saja! Kamu itu numpang di sini! Ayah kamu juga tidak memberikan uang yang banyak buat Tante. Jangankan banyak, cukup saja tidak! Ya kamu yang harus kerjakan semuanya!”
❤️❤️❤️
Tidak berselang lama toko baju itu akhirnya bangkrut dan harus tutup. Azkarya menjadi pengangguran. Pemasukan untuk keperluan segala hal sekarang hanya berasal dari Marwah. Untuk beberapa waktu usaha Marwah masih lancar-lancar saja. Elisa masih bisa bersenang-senang bersama ketiga putranya. Akan tetapi, usaha itu akhirnya mengalami pasang surut, kadang kala laris dan lancar, kadang kala sepi pembeli.
“Aduh, bisa-bisa aku tidak bisa bersenang-senang lagi kalau begini terus!” kesal Elisa. “Mas, kamu cari kerja dong, biar ada pemasukan lain!”
“Iya aku sedang usaha ini!” tegas Azkarya.
Suatu hari Azkarya akhirnya mendapatkan pekerjaan menjadi sopir pribadi berbekal kemampuannya yang pengalaman menyetir mobil box milik Watiwisam. Elisa dan ketiga putranya masih bisa senang-senang meskipun tidak sesering sebelum-sebelumnya. Sementara Marwah tetap dalam nasibnya yang sendu.
❤️❤️❤️
Beberapa tahun, baju-baju mendiang ibunya, Marwah cuci pakai cuci pakai terus-menerus akhirnya tergerus juga. Baju-baju itu mulai dedel hingga sobek-sobek. Bukan hanya baju, mukenah pun sudah meminta ganti. Marwah meminta belas kasihan dari Elisa untuk membelikannya baju dan mukenah. Paling tidak, mungkin ada baju bekas Elisa yang bisa dipakainya. Elisa memberikan belas kasihan dengan membelikannya satu setel baju murah nan tipis di pasar. Selebihnya, Elisa memberikannya benang dan jarum. Elisa tidak rela kalau harus memberikan baju bekasnya karena baju bekasnya barang-barang branded. Mendingan ia loakin walaupun dapat hasil sedikit dari pada diberikan ke anaknya si Wati itu.
“Ini satu setel saja, buat kamu pergi jualan kue! Baju-baju yang lain kamu tambal saja. Kalau pas jahitannya kamu langsung jahit. Kalau pas tengah atau lubang kamu guntingkan kain dari baju yang paling jelek lalu kamu tambalkan ke yang lubang! Sholat tidak perlulah mukenah baru. Kan cuma buat sholat,” tutur Elisa. Marwah hanya bisa mengelus dada. Ia lalu tersenyum dan berterima kasih untuk satu setel baju yang dibelikan Elisa untuknya.
Marwah memilah baju-baju rusak itu. Baju yang masih bisa ditambal, ia tambal seperti saran Elisa. Baju penuh tambalan-tambalan itu yang masih bagus sehingga ia simpan jika perlu untuk pergi-pergi. Tidak banyak hanya sekitar sembilan setel saja. Kemudian baju-baju yang lainnya yang sudah robek sangat parah dan sudah ia pakai kainnya untuk menambal yang lubang, ia manfaatkan sisanya yang masih bisa dipakai. Ia gunting hingga pantas menjadi baju lalu masih harus ia tambal dengan kain lain di bagian yang berlubang parah. Namun, baju-baju yang parah itu, mau tidak mau hasilnya seksi karena sudah terpotong-potong. Baju-baju parah itu akan ia gunakan buat kotor-kotor seperti berbenah atau memasak atau sekedar di rumah atau sekedar jalan di sekitaran rumah misalnya untuk membeli sesuatu. Mukenanya pun kini tambal sulam. Jadilah semua sandangan Marwah tidak karuan karena tertempel kain-kain berbeda. Pun warna benangnya, tidak warna netral lagi. Elisa membelikan satu set benang di mana tidak ada warna hitamnya. Jadilah Marwah penampilannya layaknya gembel. Sudah badan dan wajahnya tidak terurus, pakaiannya demikian pula.
Kemudian, tidak berselang lama, baju yang tambal sulam yang masih bagus, satu persatu terpaksa menjadi pendek juga karena sudah parah.
“Kamu pendekin saja seperti yang kamu pendekin!” saran Elisa.
“Tapi kan buat Marwah pergi jualan, Tante,” kata Marwah keberatan.
“Tenang saja, tidak akan ada cowok yang tertarik sama kamu!” tegas Elisa.
“Iya, tidak apa-apa. Siapa juga yang akan tertarik sama kamu?” Azkarya lagi-lagi malah mendukung Elisa.
Sudah gembel, kini ia berpenampilan layaknya anak nakal.
Bersambung
Terima kasih
:) :) :)
DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)