Contents
Bite the Bullet (TAMAT)
DUA
“Nanti siang jangan mau dijemput Bang Bagas, oke?” Yunan memperingatkan sembari membantu melepas helm adiknya. Mereka baru saja sampai di sekolah Gema. Satpam yang kemarin berbincang dengan Yunan kini tengah sibuk membantu beberapa anak SD menyeberang jalan raya.
Bocah laki-laki yang Yunan ajak bicara hanya menatap bingung, seolah ingin bertanya kenapa dia dilarang pulang dengan kakak tertuanya.
“Habis pulang, tunggu sini,” perintah Yunan. Dia memasukkan helm adiknya ke bagasi motor. “Jangan ke mana-mana.”
“Kenapa?” Pertanyaan dari mulut mungil Gema akhirnya keluar.
“Biar Abang nggak perlu nyari kamu ke mana-mana?”
“Bukan itu maksudnya,” balas Gema dengan nada suara yang terdengar agak takut.
Yunan jadi bertanya-tanya. Apakah dia sudah membuat adiknya ketakutan? Semoga tidak. “Terus apa?”
“Kenapa Gema tiba-tiba nggak boleh pulang bareng Bang Bagas?” Suara Gema masih terlihat agak takut, tapi sudah ada sedikit keberanian di sana. “Selama ini kan memang Bang Bagas yang selalu antar-jemput Gema?”
Dada Yunan seperti terkena hantaman palu. Ini bukan jenis pertanyaan yang ingin dia jawab dengan jujur. Dia tidak ingin adiknya tahu apa persisnya alasan di balik larangan ini. Karena, ya, bahkan Yunan pun masih tak percaya hal itu terjadi. Dia masih sering merasa mual ketika mengingat kejadian itu.
Jadi, inilah kebohongan terbaik yang bisa Yunan berikan pada Gema. “Abang lagi bikin taruhan sama Bang Bagas. Siapa yang paling banyak bisa antar-jemput kamu ke sekolah, dia yang menang.”
Meski tampaknya tidak cukup teryakinkan, Gema tetap menangguk dan merentangkan sebentuk senyum di wajahnya.
Yunan menghela napas. Semoga ini tidak terdengar terlalu mengada-ada.
***
Universitas Pranata Bhakti, atau orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan UPB, adalah sebuah universitas swasta biasa di Jakarta. Tidak terlalu istimewa. Sebagian besar mahasiswa di sini bahkan pernah gagal mengikuti SBMPTN ke universitas-universitas negeri favorit. Nesia salah satunya. Meski begitu, ada satu hal yang bisa Nesia syukuri di kampus ini. setidaknya, dia punya sahabat-sahabat terbaik yang pernah dia miliki.
“Seratus persen yakin, ini pasti salah satu cowok di kelas kita.” Irma, salah satu sahabat Nesia berujar dengan mata berkilat-kilat penuh keyakinan, begitu membaca pesan yang kemarin Nesia temukan di lokernya. Nesia sedang meminta saran apa pun pada sahabat-sahabatnya terkait pesan misterius itu.
“Ya, meski biasanya gue nggak pernah sependapat sama Irma, tapi kali ini gue setuju sama dia,” dukung Rima, saudara kembar Irma.
Irma Ivana dan Rima Viana adalah sepasang kembar identik. Dengan nama yang miripnya sangat tidak kreatif itu, orang-orang benar-benar sering kesulitan membedakan keduanya. Bahkan, Nesia yang sudah satu semester lebih berteman dengan mereka pun kadang masih sering salah panggil. Untungnya, mereka tidak pernah benar-benar tampil identik. Mulai dari tatanan rambut sampai pernak-pernik yang dipakai, terlihat sekali bagaimana mereka berusaha tampil sangat berbeda satu sama lain.
Hari ini, Irma mengucir rambut lurus sepunggungnya dengan ikat rambut merah menyala, senuansa dengan jam tangan dan gelang rajut yang melingkari pergelangan tangannya. Sementara itu, Rima mengepang rambutnya menjadi beberapa kepangan kecil yang tampak rumit dan sepertinya memakan banyak waktu dalam pengerjaannya. Pernak-pernik yang dia kenakan bernuansa hijau segar.
“Menurut lo gimana, Vin?” Nesia memandang satu sahabatnya yang lain, yang paling waras di antara mereka, juga satu-satunya yang berbeda program studi dengan Nesia dan si kembar. Ayu Vindi. Alih-alih Hortikultura, Vindi masuk Ilmu Perbenihan.
Vindi selalu tampil sederhana. Selain kemeja, celana jins, dan sepatu kets, dia hanya menambah jam tangan dalam penampilannya. Tatanan rambutnya yang sedikit ikal pun tak pernah berubah. Hanya kuncir ekor kuda biasa, tanpa hiasan apa pun.
Vindi mengangguk. “Gue juga setuju sama Irma. Kalau dilihat dari bunyi pesan itu sih kayaknya dia emang cowok dari kelas kalian. Dan yang jelas, dia anak Vigor.”
Vigor adalah nama UKM di UPB. Sebuah UKM mengenaskan yang memiliki anggota paling sedikit. UKM itu bergerak di bidang paling absurd yang pernah Nesia dengar. Berkebun. Orang macam apa yang membentuk UKM berkebun di Fakultas Pertanian? Memangnya semua pembahasan tentang benih, pupuk, hama, dan panen di tiap kelas saja tidak cukup sehingga harus ditambah dengan UKM seperti itu? Heran!
Irma tersenyum lebar, merasa bangga pendapatnya mendapat dukungan. “Kalau begitu, gimana kalau kita cari tahu siapa cowok itu?”
Nesia langsung memandang Irma tak yakin. “Cari tahu?”
“Iya, cari tahu,” balas Irma seolah Nesia adalah gadis lima tahun yang tidak paham sebuah kata sederhana. “Kita cari tahu siapa pemuja rahasia lo itu. Siapa tahu kalian cocok.”
“Terus kalian jadian,” lanjut Rima sambil cekikikan. Entah apa yang terjadi dengan Rima hari ini. Tidak biasanya dia sejalan pikirannya dengan Irma.
“Dengan begitu, lo nggak perlu lagi jadi the one and only jomlo di kelompok kita,” pungkas Irma, yang langsung mengundang tawa yang lain, bahkan Vindi.
Nesia langsung mendelik sengit pada Irma. Dia selalu kalah suara kalau salah satu dari mereka sudah mengeluarkan candaan the-one-and-only jomlo itu. Di antara mereka berempat, memang cuma Nesia yang jomlo. Bukan cuma jomlo, dia bahkan belum pernah tahu bagaimana rasanya punya pacar. Papa agak kaku soal ini.
Dulu, di penghujung akhir masa SMA-nya, Nesia sempat berjanji pada dirinya sendiri bahwa di tahun pertama kuliahnya, dia harus punya pacar. Setidaknya sekali. Agar dia bisa mengisi buku hariannya dengan nama orang yang juga balas mencintainya, bukan cuma cinta sepihak.
Yah, mungkin ini waktu yang tepat untuk mulai mewujudkan janji itu. Plus, agar kuliah pengisi waktu ini punya sedikit kenangan manis.
***
Di UPB, di tahun pertama, mahasiswa-mahasiswa baru masih dikumpulkan dalam kelas-kelas berdasarkan program studinya. Semua mata kuliah yang diambil masih sama. Hampir seperti di SMA. Mulai tahun kedua, mereka baru bisa memilih kelas sesuai yang diinginkan. Nesia terjebak di kelas Horti, singkatan dari Hortikultura, bersama si kembar dan dua puluh delapan mahasiswa lain.
Hanya ada sepuluh cowok di kelas Horti. Seharusnya tidak terlalu sulit mencari tahu siapa cowok di balik pesan rahasia itu. Bahkan, delapan nama sudah resmi tercoret dari daftar. Kriteria pencoretannya cukup sederhana, buang yang bukan anggota Vigor.
Aska Affan Zuwardana
Bimasena Sutarja
Dhimas Almaida
Faisal Adi Rahayu
Fikri Alamsyah
Ganesha Putra
Joni Perbawa
Ridwan Almahendra
Pandu Wiranagara
Yunanta Bayu
Nesia membaca ulang dua nama yang masih belum kena coretan tinta merahnya. Hatinya berbunga membaca satu nama di daftar itu. Satu nama yang akhir-akhir ini selalu dia tulis di buku harian. Satu nama yang diam-diam selalu dia sebut di setiap lamunan indahnya. Satu nama itu adalah Pandu Wiranagara. Wira.
Ya Tuhan, kalau memang pesan rahasia itu adalah milik salah satu dari mereka, semoga orang itu adalah Wira.
“Kita udah dapat dua nama.” Nesia mengatakan apa yang sudah jelas. “Terus, mau kita apain dua nama ini?”
Sepertinya belum ada yang punya rencana tambahan setelah nama-nama itu terpilih. Si kembar saling pandang, Vindi terlihat serius berpikir, dan Nesia memandang mereka satu per satu. Otaknya sekosong ketiga temannya.
“Mungkin, kita simpan aja dulu dua nama ini.” Rima menyerah setelah berpikir cukup lama. Dia tidak menemukan ide apa pun yang cukup cemerlang.
“Sementara itu, kita cari cara dulu buat langkah selanjutnya,” timpal Irma seraya memperbaiki posisi ikat rambutnya yang tidak bergeser sedikit pun.
“Atau, lo bisa gabung sama gue di Vigor?” usul Vindi. Dia menyunggingkan sebentang senyum lebar.
Si kembar langsung melotot bingung ke arah Vindi. Nesia juga sama bingungnya dengan si kembar.
Vindi mendengus, lalu memberi Nesia dan si kembar tatapan yang seolah mengatakan: Ya Tuhan, kenapa Engkau memberi hamba teman-teman sebebal mereka.
“Sekilas info aja nih ya, siapa tahu kalian kurang cermat baca surat kaleng itu,” lanjut Vindi agak kesal. “Cowok misterius itu bilang kalau dia anggota Vigor. Jadi, kalau Nesia mau tahu siapa di antara Yunan dan Wira yang ngirim surat kaleng itu, dia bisa mulai dengan gabung di Vigor.”
Nesia mengangguk. Dia merasa sangat bodoh sampai hal sesederhana itu saja dia tidak sadar.
Lagi pula, dengan bergabung ke Vigor, Nesia bisa sekalian menepati syarat dari Papa. Dan, UKM kecil seperti Vigor adalah bentuk kepatuhan sekaligus pembangkangan yang sempurna.
“Oke,” ujar Nesia menyetujui. Senyumnya tersungging. “Apa aja syarat gabung ke Vigor?”
***
Sudah hampir seminggu Wira mengamati. Entah apa sebabnya, Yunan kelihatan lebih sering bermuka masam akhir-akhir ini. Terutama sehabis dia menghilang di antara jam 12.00 sampai 13.00. Tak muncul di kantin, juga tak tampak di mana pun di kampus. Setiap kali Wira mencoba bertanya, jawabannya selalu sama: “Ada urusan sebentar di luar.” Sebagai teman dekat Yunan, Wira sedikit khawatir. Bagaimana jika Yunan terlibat hal-hal yang bertentangan dengan hukum? Narkoba, misalnya?
Tidak, tidak. Wira mengusir kemungkinan itu dari benaknya. Dia yakin Yunan tidak akan sudi berurusan dengan hal seperti itu. Dia anak baik-baik. Wira kenal seperti apa teman baik yang sudah dia kenal sejak kelas satu SMA itu. Meskipun demikian, Wira tetap khawatir. Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Yu, lo lagi ada masalah, ya?” tanya Wira sedikit berbisik. Dia tidak ingin mendapat tatapan mematikan dari asisten praktikum yang sedang memberi asistensi di depan kelas.
Yunan menoleh ke arah Wira yang duduk di sampingnya. Wajahnya terlihat bingung dan heran. “Kok lo tiba-tiba tanya kayak gitu?”
“Nggak, gue cuma agak khawatir. Akhir-akhir ini lo kelihatan agak beda.” Wira mengakui, masih dengan nada yang sama lirihnya. Sesekali matanya memandang waspada ke kakak angkatan di depan kelas. “Lo jadi sering marah-marah, terutama setiap habis ngilang.”
Yunan tak langsung menjawab. Pandangannya berpaling dari Wira. Sepertinya dia memang sedang dalam masalah. Sesuatu yang cukup serius sepertinya.
“Yu, lo nggak lagi nyoba pakai narkoba atau barang terlarang lainnya, kan?” Wira hanya ingin memastikan. Dia tidak akan tinggal diam kalau teman baiknya itu sampai terjerumus ke hal-hal seperti itu.
“Anjir! Nggak-lah,” protes Yunan seketika itu juga, sedikit terlalu keras, sehingga beberapa mahasiswa sempat menoleh ke meja mereka. Untungnya asisten praktikum di depan masih asyik menjelaskan. “Gila aja lo nuduh gue kayak gitu. Gue masih belum edan, tahu.”
“Syukurlah,” balas Wira lega. Meski tidak mendapat jawaban pasti dari Yunan, setidaknya dia telah mengonfirmasi bahwa kekhawatirannya tidak benar. “Gue cuma khawatir sama lo.”
Lalu, keheningan menyela mereka. Baik Wira mau pun Yunan tampak serius memperhatikan penjelasan asisten. Namun keheningan di antara mereka segera pecah oleh kata-kata Yunan, yang lagi-lagi tak lebih dari sekadar bisikan.
“Wir, sebenarnya gue memang lagi ada masalah,” aku Yunan akhirnya. Tatapannya tetap lurus ke depan. “Tapi, sorry. Gue belum bisa cerita apa-apa ke lo.”
Wira maklum. Tidak semua masalah bisa diceritakan dengan mudah, bahkan pada teman terdekat sekali pun. Semua orang butuh ranah privat untuk dirinya sendiri.
“Gue ngerti, kok,” balas Wira tulus. “Kalau lo emang belum siap cerita, gue nggak akan maksa. Tapi kalau ada sesuatu yang bisa gue bantu, bilang aja. Gue siap bantuin.”
“Thanks, Wir.”