Contents
Dunia Lain Michelle
Bab 6. Mencoba kabur, lagi
"Gimana? Ada yang beda?" tanya Michelle berharap apa yang dilakukannya membuahkan hasil. Jika ya, maka sepertinya dia akan mulai percaya dengan perkataan Ayoga yang mengatakan tentang siapa dia sebenarnya.
Rifki menggeleng bingung karena tidak merasa ada perbedaan yang dirinya rasakan.
"Kamu sudah paham bahasa yang saya gunakan?" Baru saat kalimat itu muncul Rifki tersentak, dia kini paham dengan apa yang Ayoga katakan.
"Kamu udah paham?" Kali ini Michelle yang bertanya, dan cukup merasa takjub dengan kekuatannya sendiri saat Rifki mengangguk.
"Kamu tadi ngeraup muka aku doang, dan aku tiba-tiba bisa paham?" Rifki menggelengkan kepala tidak percaya, ini benar-benar ajaib.
"Michelle memang berasal dari alam ini, dan dia memiliki kekuatan yang paling besar dari kaum kami yang lain." Penjelasan itu tentu saja mengejutkan untuk Rifki.
"Jadi kamu beneran bukan manusia, Chell?" tanya Rifki dengan sorot aneh. Michelle yang tidak tahu harus mempercayai penjelesan Ayoga atau tidak memilih mengedikkan bahu.
"Itu bukan hal penting yang bisa kita bahas, lebih baik sekarang kita bahas penyelamatan desa," ujar Ayoga sembari mengeluarkan sebuah peta dari lemari kayu.
Tidak ada yang bisa Michelle dan Rifki lakukan selain mengikuti apa yang Ayoga katakan. Maka keduanya pun mendengarkan penjelasan yang terdengar cukup memusingkan itu.
*
"Jadi apa kita harus ngikutin rencana dia?" tanya Rifki saat Ayoga pamit untuk beristirahat sebentar.
Michelle menggeleng lemah sembari mengembuskan napasnya. "Kalau ada pilihan lain, aku penginnya pergi aja dari sini."
Rifki paham perasaan Michelle. Dia pun sangat malas jika harus mengikuti rencana Ayoga. Semua terdengar sulit dan penuh bahaya. Jika mereka bisa keluar dari alam ini saat ini juga, tentu saja lebih baik pergi.
"Apa mau coba cari jalan keluar lagi?" tawar Rifki. Dia tidak tahu apakah kali ini akan berhasil, tetapi tidak ada salahnya mencoba bukan?
Michelle tampak berpikir sebelum akhirnya mengangguk. Gadis itu pun langsung berdiri dengan wajah penuh antusias. "Kali ini kita harus beneran nemuin jalan keluar itu."
Rifki yang melihat Michelle kembali bersemangat ikut merasa semangat. Keduanya pun dengan sedikit mengendap keluar dari gubuk yang dibangun seperti rumah zaman kuno itu.
*
"Stop!" Michelle menahan langkah Rifki saat merasakan sebuah keanehan. Gadis berbandana merah itu mendongak, memerhatikan jajaran pohon yang menjulang tinggi di atasnya. "Kita cuman muter-muter dari tadi," katanya yakin.
Rifki ikut mengedar, pemuda itu tidak mendongak melainkan memerhatikan sekitar. Memang benar, mereka hanya berputar di satu tempat sejak tadi.
"Aku udah merhatiin bentuk pohon di atas itu," tunjuk Michelle ke salah satu dahan daun yang patah. "Kita sudah empat kali lewat sini," lanjutnya sembari menoleh ke arah Rifki yang menganggukkan kepalanya.
"Aku juga merhatiin bunga itu." Rifki menunjuk salah satu bunga berwarna biru yang layu.
"Gimana ini? Kalau kayak gini caranya kita nggak bakalan bisa keluar dari tempat ini." Michelle mulai terlihat frustasi.
Rifki pun sebenarnya tengah merasakan hal sama, tetapi sebisa mungkin tidak menunjukkannya. Di antara mereka harus ada yang tetap menunjukkan sikap optimis, meskipun hasil dari keoptimisan itu sepertinya akan tetap sama.
"Kita mending duduk dulu, siapa tahu nanti keliatan jalan yang nggak sama." Rifki menuntun Michelle untuk duduk bersandar di salah satu pohon besar, dan dia sendiri ikut duduk di samping gadis itu.
"Apa hutan ini penuh jebakan?" gumam Michelle yang merasa jika mereka tidak akan mungkin bisa keluar dari sini.
Rifki hanya mengedikkan bahu karena tidak bisa memikirkan kemungkinan lain. "Chell, bukannya kamu punya kekuatan?" ujar Rifki saat mengingat itu.
"Iya, tapi aku nggak tahu gimana gunainnya," jawab Michelle lemah.
"Kalau bener kata Ayoga, kita harusnya bisa mecahin labirin menyesatkan ini." Rifki mengedar ke sekitar, pasti ada yang salah dengan tempat ini. Atau bisa saja ada mantra sihir yang membuat mereka selalu menapaki jalan yang sama.
Michelle tampak berpikir, lalu mencoba fokus pada pikirannya. Mencoba untuk menggunakan sesuatu yang dimilikinya. Dipegangnya liontin kalung yang kini melingkar di lehernya, lalu Michelle mencoba memejamkan mata. Dalam hati mengucapkan perintah pada apa pun yang ada di dalam dirinya untuk membantu membuka mantra yang mungkin saja ada di sekitar mereka.
"Chell, itu jalan keluarnya!" teriak Rifki saat secara ajaib, tiba-tiba saja muncul satu jalan lain yang sejak tadi tidak terlihat.
Michelle langsung membuka mata dan tersenyum pada apa yang terjadi.
"Kamu hebat, Chell," puji Rifki sembari mengusap puncak kepala gadis di sampingnya. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, keduanya pun bergegas menyusuri jalan itu sebelum menghilang.
*
"Di depan kayaknya ada rumah penduduk." Rifki menunjuk sebuah pemukiman yang terlihat di depan sana. Ada lampu obor yang tampak menyinari gerbang kampung yang terbuat dari bambu.
"Tunggu, Rif." Mihelle menahan lengan Rifki saat merasa familiar dengan desa di depan sana itu.
"Kenapa?"
Michelle mengerutkan kening, mencoba mengingat tentang desa yang Ayoga ceritakan sebagai desa yang terkena sihir. "Itu sepertinya desa yang Ayoga maksud."
"Yang kena sihir?" Michelle mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan Rifki.
"Gimana kalau kita deketin? Buat mastiin ada yang salah atau enggak?"
"Tapi kalau bahaya?"
Rifki tampak menimbang sembelum menatap yakin ke arah mata Michelle. "Bukankah kamu punya kekuatan?"
Michelle dengan sedikit ragu akhirnya mengangguk dan keduanya memberanikan diri melangkah untuk mendekati desa itu.
Desa memang tampak sepi, tidak terlihat ada tanda kehidupan selain obor yang tampak menyala di setiap rumah. Desa ini cukup menarik karena setiap rumah dibangun dari kayu jati yang cukup kokoh. Masing-masing rumah menjulang tinggi dengan kayu jati yang dipernis dengan warna cokelat.
"Rumahnya keliatan antik," bisik Rifki.
"Kayak nggak ada orang, Rif." Michelle memegang erat lengan Rifki, tidak sempat menikmati keunikan bangunan yang ada karena rasa takut akan bayaha lebih mendominasi.
"Kalau memang desa ini disihir, lalu di mana semua penghuninya?" tanya Rifki meski tahu Michelle tidak akan bisa menjawab.
"Nggak tahu, mendingan kita cepetan pergi sebelum terjadi sesuatu." Michelle benar-benar merasakan sesuatu yang tidak nyaman di hatinya.
"Gimana kalau jalan keluarnya ada di ujung desa ini?" Rifki menoleh sepintas ke arah Michelle yang tampak ketakutan sebelum kembali fokus ke jalanan sepi di depan mereka.
"Ta—" Kalimat Michelle tidak pernah tuntas karena seseorang tiba-tiba saja membekap mulutnya dari belakang, dan tubuhnya ditarik oleh sesuatu yang tidak Michelle ketahui.
"Ta, apa, Chell?" Rifki menoleh, dan mendadak panik saat menyadari Michelle tidak ada di belakangnya. "Michelle!" teriaknya tanpa menyadari jika mungkin saja teriakannya akan menimbulkan bahaya yang lebih lagi.
"Mi—" Teriakan Rifki pun tertelan angin saat seseorang menariknya untuk masuk ke dalam salah satu rumah dengan satu-satunya dinding kayu berwarna hitam.