Try new experience
with our app

INSTALL

CASTLOVE (TAMAT) 

I’m saying that I only think of you till my heart grows numb

Cibubur, awal April 2008

 

Haykal Taesano

SEJAUH ini, Haykal menyukai sekolah barunya.

Ia menyukai sikap teman sekelas yang terbuka menyambut kehadirannya, meskipun beberapa kali ia sempat menangkap segelintir anak perempuan yang duduk di pojokan tersenyum—yang sayangnya, terlihat—aneh di matanya.

Ia juga jadi tidak perlu repot-repot mengenalkan diri di hari pertamanya masuk sekolah. Karena gerombolan anak perempuan—yang ternyata—sudah mengenalinya itu berteriak lantang namanya. Sedikit gangguan yang ternyata juga bisa memudahkan.

Jadi, tidak heran kalau di hari ketiganya di sana, ia kebanjiran surat kaleng di loker dan di laci meja. Isinya mulai dari memberi perhatian kecil, ingin berkenalan lebih jauh, memuji performanya, sampai ada yang berani tanya perihal hubungannya dengan Bunga Shovia—gadis blasteran Jerman-Indonesia yang masih menyandang status sebagai pacarnya. Tanpa repot mencari tahu siapa pengirimnya, ia bisa menerka kalau orangnya tak jauh-jauh dari anak perempuan geng pojokan kelas itu.

Dan di antara teman baru yang bersikap welcome terhadapnya, hanya satu orang yang mencuri perhatiannya; pada gadis yang duduk di baris tengah, dua dari depan, yang memakai jepit rambut di belakang dan kacamata berbingkai hitam tipis. Tinggi sekitar seratus enam puluh-an, terlihat kurus, dan berkulit sawo matang. Gadis yang ia perhatikan sejak awal survey sekolah, dan ternyata, mereka berada di kelas yang sama. Ia bisa lebih leluasa mencuri pandang sampai memperhatikan gadis itu selama pelajaran berlangsung. Bukan, bukan karena penampilan gadis itu yang membuatnya tertarik. Penampilannya justru jauh lebih biasa daripada teman perempuannya di sekolah yang dulu. Tapi sikapnya yang acuh tak acuh padanya, juga pada sekitar, yang membuatnya bertanya-tanya.

Sebenarnya, mungkin itu hal yang biasa, dan membuat sebagian orang tak perlu peduli mencampuri urusan yang lain. Tapi, sisi penasarannya unggul untuk diberi jawaban.

“Liatin apa, sih, Bro?” suara seseorang menyeruak di antara dunia khayalnya. Milik Allan, si penggila futsal yang duduk di depannya. Jam istirahat rupanya sudah datang. Dan ia sendiri lupa kapan terakhir menyimak pelajaran. “Si ketua kelas?”

Ketua kelas? Lima hari bersekolah, ia bahkan lupa menanyakan siapa ketua kelas mereka. “Ketua kelas yang mana?”

“Lho? Jadi lo belom tau siapa ketua kelas kita?” Allan berdecak. Kepalanya menoleh ke arah teman semejanya. “Bro, masa dia belom tau siapa ketua kelas kita.”

Teman semeja Allan, Sultan, ikut-ikut menoleh pada Haykal. “Si Arumi? Wajar lah dia nggak tau. Orang pertama kali dia masuk sini, nggak ada perkenalan apa-apa soal struktur pengurus kelas. Apalagi tuh cewek memang pendiam, kan.”

“Jadi, namanya Arumi?” Haykal bertanya, lebih pada diri sendiri. Perlu diketahui, setiap proses pengabsenan berlangsung, ia tidak begitu memperhatikan satu persatu temannya yang berjumlah empat puluh orang dalam satu kelas ini. Terlalu banyak!

“Lo benar memperhatikan dia?” Allan justru berbalik tanya. Matanya membulat. “Aduh, Bro, dibanding cewek lo si Bunga Shovia, dia itu nggak ada apa-apanya. Gue aja yang dari kelas sepuluh sekelas sama dia, nggak tertarik!”

Haykal hanya menyimpulkan senyum. Kenapa juga harus membandingkan antara Bunga dan Arumi kalau begitu?

Seperti hari-hari sebelumnya, ia menemukan Arumi di jam istirahat di taman kecil ini. Duduk di salah satu bulatan batu merah yang seperti sudah dipatenkan miliknya sendiri. Kemarin ia mencuri pandang gadis itu bersama Nina, teman semeja Arumi yang tadi juga dikenalkan Allan. Tapi kali ini, ia sendiri. Membangkitkan rasa keingintahuannya untuk datang menghampiri.

“Hai.” Haykal menyapa, canggung.

Tapi gadis itu hanya menatap sekilas, lalu kembali pada buku sketsa di tangannya. Mengabaikan Haykal yang menatapnya tercengang.

“Hai,” Haykal mengulang lagi sapanya. “Gue lagi ngomong sama lo lho.”

Gadis itu kembali menolehnya, sedikit lebih lama, sebelum kembali pada buku sketsa-nya lagi. “Ya udah, ngomong aja.”

Mata Haykal membelalak. Ya-udah-ngomong-aja apa maksudnya? Ia mengangkat bahu dan tidak mau mengambil pusing. Lebih baik duduk di salah satu bulatan batu merah, selang satu batu dari gadis itu. Dan sekadar info, gadis itu menggunakan masing-masing satu bulatan batu di samping kanan-kiri untuk keperluannya sendiri. Sebelah kanan digunakan untuk menaruh alat menggambarnya, sementara sebelah kiri digunakan untuk menaruh camilan kecil untuk dimakannya.

“Mau ngomong apa?” suara Arumi kembali menjamah telinganya.

Haykal menoleh pada gadis-yang-tadi-bertanya-tapi-sama-sekali-tidak-menoleh-padanya. “Hmm, mau ngobrol-ngobrol biasa aja. Nggak apa-apa, kan?”

“Oh.” Arumi membentuk bulatan kecil di bibir. Perlu jeda waktu sedikit, suaranya kembali terdengar. “Kamu lagi nggak berantem kan sama pacarmu?”

Alis Haykal bertautan. “Berantem? Kenapa harus berantem? Dan apa juga maksudnya berantem?”

“Nggak apa-apa,” ujar Arumi datar. “Aku cuma nggak mau ambil risiko berteman sama orang dari keluarga terkenal.”

Berteman dengan orang dari keluarga terkenal? “Maksudnya, kalau lo kenal gue, nanti lo jadi bahan wawancara para wartawan gitu?”

Arumi mengangkat bahu. Yang kemungkinan berarti apa yang ia simpulkan, sesuai dengan yang di pikiran gadis itu.

“Gue nggak punya maksud merepotkan lo begitu, kok. Serius! Tulus mau berteman sama lo, dan teman-teman lain di sini. Mungkin ini karena lo ngeliat background keluarga gue sedikit ‘berbeda’, tapi gue harap, lo bisa nganggap gue biasa kayak yang lainnya.” Haykal tidak tahu apa seharusnya ia bertutur sepanjang itu. Di sekolahnya dulu mungkin ia tidak perlu melakukan ini karena latar belakang teman-temannya tidak jauh berbeda dengannya, tapi sekarang, ia sadar, keadaan berbeda. “Lagi pula…, kalau katanya lo nggak mau berteman sama orang terkenal, kenapa… yang gue lihat justru di sekitar lo sini nggak ada…, siapa-siapa?” tanyanya hati-hati.

Arumi menghentikan gerakannya dari arsiran buku sketsanya. “Bukan urusan kamu.”

“Oh, oke sorry.” Haykal menyeringai. Alisnya terangkat seraya menoleh pada Arumi. “Lagi apa, sih? Sibuk banget?”

“Bisa lihat sendiri, kan?”

“I-iya, tapi…, nggak seharusnya mengabaikan orang yang lagi ngobrol sama lo.”

“Aku nggak mengabaikan,” sergah Arumi membuat Haykal menghela napas. Kedengarannya memang nggak mengabaikan, tapi ia bisa melihat sendiri, gadis itu lebih tertarik sibuk dengan gambar di tangan daripada berbicara dengannya.

“Gue juga baru tahu, kalau lo ketua kelas di IPS 1. Itu pun dari Allan dan Sultan. Bukan langsung dari ketua kelasnya.”

Gerakan gadis itu terhenti. Kali ini lebih lama. Ia memandang Haykal sebentar, mengambil jeda, sebelum kembali berkata, “Jadi, kamu mau protes? Atau sekarang lagi membandingkan dengan sekolahmu dulu?”

“Nggak.” Haykal menjawab lugas. Astaga, gadis ini sarkastis sekali! Ia harus mencari cara; melakukan sedikit tak-tik sebagai lelaki, demi mendapat suasana yang lebih friendly. Ditatapnya mata gadis itu yang sedikit membelalak, lalu tersenyum. “Ngomong-ngomong, ini pertama kalinya gue ngobrol sedekat ini sama lo. Ternyata mata lo bagus juga.”

Arumi mendengus. Gadis itu berdecak, dan kembali pada buku sketsa, tanpa menggubris Haykal.

“Oh ya. Mungkin lo udah kenal gue, tapi, gue belum kenal lo secara langsung. Nama lo cuma Arumi? Atau ada nama panjangnya lagi? Terus…, panggilannya?”

“Ck!” Decakan lagi yang membuat Haykal menyeringai. Ia sendiri bisa melihat guratan kesal di wajah gadis itu.

Setelah itu gadis di sebelahnya melakukan sesuatu yang di luar dugaan. Melepas nametag di seragamnya, dan menunjukkan ke hadapan Haykal. Membuat Haykal semakin merasa lucu menghadapi gadis itu. 

Arumi Putri, mulai hari itu, Haykal mengingat baik-baik nama gadis di sampingnya.