Contents
Dendam Sang Mafia
Bab 1
Tanggal 24 Oktober 2022, TPU Teratai Indah, Jakarta.
Langkahnya begitu pelan, menyusuri jalan setapak yang dipenuhi genangan air. Di tangannya ada dua buket bunga.
Ketika hampir mendekati makam yang dituju, ada suami istri yang sedang berjongkok sambil menangis haru. Langkahnya sontak terhenti dan dia bersembunyi di balik pohon yang besar. Tangannya sebelah kanan terkepal erat. Mata elangnya yang tertutup kacamata hitam, menyoroti kedua orang itu tanpa beralih sedikit pun, seolah-olah tidak ingin target utamanya lepas dari pandangan.
Bisa saja, dia menembuskan peluru ke arah dua orang itu sekarang juga, tepat di depan makam orang tuanya. Namun, itu kematian yang terlalu mudah, tidak sebanding dengan kesepian dan kesedihan yang dia lewati selama enam belas tahun.
Untuk sementara, dia mesti bersabar lagi dan tidak bisa gegabah. Rencana yang dia susun belum seratus persen sempurna. Dia masih harus mengatur strategi untuk menciptakan kematian yang setimpal dengan orang tuanya.
Setelah dua orang itu pergi, pria bersetelan serba hitam itu membuang bunga yang mereka bawa dan menginjaknya sekuat tenaga hingga hancur tak berbentuk. Bunga dari seorang pengkhianat tidak pantas bersemayam di atas pusara orang tuanya.
Dadanya naik turun, napasnya terengah-engah usai meluapkan emosi yang sejak tadi ditahannya. Setelah reda, dia berjongkok, meletakkan bunganya ke atas pusara, membuka kacamata hitamnya, lalu menatap kedua nisan yang bersebelahan, bertuliskan nama Hartawan Alfahri dan Rosa Alfahri.
"Ma, Pa, ini Al, datang bawa bunga. Gimana kabar Mama dan Papa di sana? Maafin Al baru datang sekarang. Banyak hal yang sedang Al urus." Aldebaran terdiam sejenak sambil mengusap-usap nisan kedua orang tuanya. Begitu dalam kerinduan yang dia pendam di hatinya.
"Andai Papa dan Mama masih ada, mungkin Al nggak akan jadi kayak sekarang, berurusan dengan dunia gelap. Tapi, Mama dan Papa nggak usah khawatir. Al bisa jaga diri dengan baik." Ketika sudut matanya beralih ke buket bunga yang hancur, sorot matanya yang sendu berganti penuh nyalang.
"Sebentar lagi, Pa, Ma. Orang itu akan membayar mahal atas nyawa Papa dan Mama." Setelah mengatakan itu, Aldebaran memakaikan kembali kacamata hitamnya dan berjalan pergi meninggalkan kedua pusara.
Tak jauh dari posisinya, ada sepasang mata yang mengawasi gerak-gerik Aldebaran. Pria tak dikenal itu berbicara di ponsel, memberi tahu keberadaan Aldebaran, kemudian mendengar instruksi lanjutan dari seseorang. "Siap, Bos!"
***
Setiba di rumah, Surya langsung menuju tempat favoritnya, yaitu teras belakang. Dia duduk sembari menghirup udara segar dan memandangi tanaman hias yang ditanam.
Setiap tahun pada tanggal yang sama, tepatnya hari ini, suasana hatinya pasti buruk. Bayangan masa lalu selalu datang merundungnya, seolah-olah menjerat dia pada rasa bersalah yang tidak berkesudahan hingga berujung penyesalan.
Sarah sangat memaklumi perasaan Surya. Sudah bertahun-tahun, suaminya akan bersikap demikian setiap pulang dari makam Hartawan dan Rosa Alfahri, sahabat dekat Surya. Setelah membuatkan secangkir kopi hangat, dia duduk di samping Surya.
"Udah enam belas tahun, Pa. Kamu masih aja bersedih kayak gini."
Berbagai tanaman hias di sana tampak segar dan basah usai hujan, tetapi sorot mata Surya begitu sendu. Helaan napasnya terdengar panjang. "Sampai kapan pun, aku nggak akan bisa ngelupain kejadian itu, Ma. Aku yang udah menyebabkan mereka tewas. Aku pembunuhnya!"
Sarah memegang pundak Surya yang gemetar. "Jangan terus-menerus menyalahkan diri kamu sendiri, Pa! Itu sudah takdir."
Surya merespons sentuhan tangan Sarah dengan tatapan berkaca-kaca. "Andai aku bisa bertemu dengan Aldebaran suatu hari nanti, apakah dia mau maafin aku?"
Sarah mengusap air mata yang mengalir di wajah Surya. "Kita ceritakan kejadian yang sebenarnya. Aku yakin dia bisa memahami dan memaafkan kamu, Pa."
Surya pun berharap demikian. Sejak kejadian itu, dia tidak bisa menemukan Aldebaran. Anak sahabatnya itu menghilang seperti ditelan Bumi. Entah ke mana perginya anak laki-laki itu, sampai sekarang tidak ada jejaknya. Surya sudah berusaha mencari, bermaksud mengangkat Aldebaran sebagai anak usai orang tuanya meninggal. Akan tetapi, niatnya itu tidak terwujud sampai detik ini.
***
"Pak, ini data yang Anda butuhkan." Rendi selaku asisten pribadi Aldebaran menyerahkan sebuah amplop cokelat kepada Aldebaran yang duduk di bangku belakang. Saat ini, mereka sedang berada di dalam mobil usai pulang dari TPU Teratai Indah.
Aldebaran membuka dan membaca isi amplop itu dengan saksama. Data tersebut bertuliskan biodata Surya dengan lengkap. Ujung sebelah bibirnya terangkat, tampak samar. Dari sekian data yang tertulis, ada satu nama yang menarik perhatiannya. Andini Kharisma Putri, putri tunggal Surya yang tengah mengemban pendidikan semester tiga di Universitas Pelita Bangsa. Seketika, muncul sebuah rencana brilian di otaknya.
"Besok, saya mau mengunjungi kampus Pelita Bangsa. Kamu atur ulang jadwal dan waktu pertemuan dengan rektor kampus itu. Satu lagi, buatkan kartu identitas palsu. Jangan pakai nama asli, ganti dengan nama Aldi Purnama. Saya tidak ingin orang luar tahu tentang keberadaan saya. Kamu paham, Ren?"
Rendi mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan urus semuanya."
Aldebaran tersenyum puas. Tidak salah dia menjadikan Rendi sebagai asisten pribadi. Semua perintahnya selalu dilakukan dengan baik oleh Rendi. Apa pun tugasnya, Rendi tidak pernah mengeluh ataupun menolak. Rendi sangat setia, terbukti sudah lima tahun Rendi mengabdi padanya.
"Lalu, Pak Al akan pergi ke mana sekarang?" tanya Rendi untuk memastikan. Setiap tahun pada tanggal 24 Oktober, Aldebaran sengaja mengosongkan jadwal demi menghormati hari kematian orang tuanya.
"Ke rumah Papa yang dulu. Saya udah lama nggak berkunjung ke sana."
Rendi mengonfirmasi tempat tujuan kepada Riza yang sedang menyetir. Kebetulan, Riza merangkap sebagai sopir pribadi sekaligus bodyguard Aldebaran.
Setelah sampai di sana, rumah itu masih sama seperti sebelum Aldebaran pergi. Tidak ada yang berubah, letak perabotannya masih tetap pada tempatnya. Dia memang sengaja menyuruh Kiki—asisten rumah tangga yang mengurus rumahnya yang sekarang—datang satu minggu sekali untuk membersihkan rumah itu. Meski tidak tinggal di sana, dia ingin rumah itu tetap terawat seolah-olah pemiliknya masih hidup.
Kenangan demi kenangan masa kecil langsung terputar kembali saat Aldebaran melangkah ke ruang keluarga. Begitu banyak canda tawa yang tercipta di tempat itu. Penuh kebahagiaan yang mewarnai kehidupan mereka. Dia masih ingat percakapan singkat antara dia dan ayahnya.
"Kalau udah gede nanti, aku mau jadi pengusaha sukses kayak Papa," ucap Aldebaran yang saat itu berusia dua belas tahun. "Aku pengen bangun perusahaan sendiri biar bisa punya banyak karyawan kayak Papa, terus aku dipanggil 'Bos'."
Hartawan tertawa lepas seraya mengacak rambut Aldebaran dengan gemas. "Boleh banget. Papa akan mendukung kamu, Al. Giatlah belajar agar cita-cita kamu terwujud."
Bayangan itu menghilang, berganti dengan sofa-sofa yang tertutup kain putih. "Sekarang cita-cita Al udah terwujud, Pa. Aku dipanggil Bos. Sayangnya, jalur bisnis yang aku jalani sekarang berbeda dengan Papa," ucapnya seraya memandangi salah satu sofa, seakan-akan ayahnya tengah duduk di sana.
Pria itu kembali melanjutkan langkah ke kamarnya yang ada di lantai dua. Seketika, air mata bercucuran menatap ranjang dan beberapa mainan miliknya sewaktu kecil. Dia ingat, mendapatkan mainan yang dia mau harus dengan usaha. Saat itu, dia ingin mainan robot. Ayahnya akan membelikan mainan itu asal dia bisa mendapat nilai bagus pada pelajaran matematika, sedangkan dia sangat tidak menyukai pelajaran itu. Namun, dia berusaha keras belajar sendiri demi mendapatkan robot kesukaannya. Akhirnya, usahanya berhasil dan robot itu langsung dibelikan ayahnya.
Meski dia hidup bergelimang harta, ayahnya tidak pernah memanjakannya. Ayahnya bersikap tegas dan menerapkan disiplin padanya agar dia tahu bahwa mendapatkan sesuatu yang diinginkan harus dengan usaha dan kerja keras, bukan asal meminta.
Tatapannya beralih ke boneka beruang cokelat yang terpajang di lemari kaca samping ranjang. Dia ingat, boneka itu hadiah ulang tahun dari ibunya saat dia berusia empat tahun. Senyum bahagia yang dulu dia rasakan, seketika lenyap sejak orang tuanya meninggal. Semuanya berubah tiga ratus enam puluh derajat.
Kedua tangannya terkepal erat, lantas meninju dinding untuk melampiaskan emosinya. "Surya, kamu harus membayar semuanya!"
***