Try new experience
with our app

INSTALL

Dendam Sang Mafia 

Bab 2

Tatapan Andin tidak sedikit pun beralih dari sosok pria yang berdiri gagah di depan kelas. Ingin sekali dia memprotes penampilan tunangannya yang berprofesi sebagai dosen itu. Pria itu memakai kemeja putih berlengan panjang, tetapi lengannya malah digulung sampai siku dan dua kancing kemeja bagian atas sengaja dibuka. Apa maksud Nino berpenampilan seksi seperti itu? Bagaimana kalau mahasiswi di kelasnya jadi jatuh hati padanya, apalagi Nino termasuk dosen favorit para mahasiswi?

Andin geleng-geleng. Tidak, hanya dia seorang yang boleh terpesona dengan ketampanan Nino. Pria yang bercambang tipis itu sedang menjelaskan materi kuliah tentang manajemen bisnis. Namun, tidak satu pun materi yang melekat di otaknya. Rasa cinta yang menggebu, seketika membuyarkan konsentrasinya. Bisa dipastikan, dia tidak akan bisa lulus kalau semua pelajaran diajari Nino.

Setelah resmi menjadi sepasang kekasih, Andin dan Nino sepakat merahasiakan hubungan mereka dari siapa pun. Selain tidak ingin menjadi bahan gosip seantero kampus, dia harus menjaga citra ayahnya yang merupakan pemilik yayasan Pelita Bangsa—yayasan yang menaungi kampus Pelita Bangsa dan beberapa sekolah lainnya—dan Nino seorang dosen senior.

"Sampai di sini, ada yang mau kalian tanyakan?" tanya Nino seraya menatap satu per satu belasan mahasiswa yang duduk menghadapnya.

"Saya mau tanya, Pak," kata salah satu mahasiswi yang berkacamata sambil mengacungkan tangan. Setelah dipersilakan, dia mengutarakan pertanyaannya dan langsung dijawab Nino.

Beginilah cara Nino mengajar. Seusai membahas materi pertama, dia akan memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya agar mereka memahami dahulu materi yang baru dia sampaikan sebelum lanjut ke materi berikutnya. Cara ini yang membuat mahasiswa nyaman saat diajar Nino.

"Ada lagi yang mau bertanya?" Nino maju beberapa langkah, hingga berdiri di samping meja Andin. Dia meletakkan gulungan kertas kecil yang sudah digenggam saat menjawab pertanyaan tadi. Diam-diam, dia melirik Andin yang tersenyum manis ke arahnya. Dengan cepat, dia mengalihkan pandang. Bisa-bisanya di tengah mengajar seperti ini, senyuman Andin membuat degup jantungnya berpacu cepat. Pipinya serasa panas, mungkin tampak memerah.

Nino ingat betul ucapan Andin setelah resmi menjadi kekasihnya. "Aku mau duduk paling depan, ya, biar bisa lihat kamu ngajar."

"Emangnya, kalau duduk di belakang, kamu nggak bisa lihat aku?" tanyanya heran.

"Bisa, sih, tapi aku nggak bisa ngelihat ketampanan kamu dengan jelas."

Sejak hari itu, Andin memang menepati ucapannya dan selalu duduk di barisan depan. Jika ada yang menduduki kursinya, dia tidak segan-segan menegur orang itu dan meminta pindah tempat. Kursi itu seakan-akan diklaim sebagai miliknya pribadi.

Tentang gulungan kertas itu, Andin buru-buru membuka dan membaca isi yang bertuliskan, "Aku cinta kamu, Andin". Bibirnya terkatup rapat sambil mengulum senyum, hingga tampak lubang kecil di bawah tulang pipinya. Itulah yang menjadi pemanis saat dia tersenyum. Nino benar-benar so sweet!

Desi, seorang mahasiswi yang berambut panjang dan bergelombang, mengangkat tangan kanannya. "Pak, apa boleh menanyakan hal yang tidak berhubungan dengan materi?"

Dahi Nino sedikit berkerut. "Tentang apa itu, Des? Tanyakan saja. Saya akan jawab semampunya."

Elsa melirik Desi yang duduk di sebelahnya sambil tersenyum tipis, seakan-akan tahu apa yang akan ditanyakan Desi.

Desi mengedipkan sebelah matanya kepada Elsa, memberi kode bahwa Nino merespons pertanyaannya.

"Beberapa bulan lagi udah tahun 2023, tapi Pak Nino masih jomlo. Nggak ada niatan untuk mengakhiri masa lajang tahun ini, Pak? Kalau belum punya gebetan, temen aku yang di sebelah, nih, masih jomlo. Bolehlah jadi partner hidup Pak Nino," ungkap Desi tanpa basa-basi.

Ruang kelas itu mendadak riuh. Elsa dan Desi pun sontak menjadi bahan olokan teman-temannya.

Nino tersenyum menanggapi pertanyaan itu sembari menunjukkan cincin di jari manisnya. "Maaf, saya sudah punya tunangan."

Andin menatap Nino lembut, begitu juga Nino. Meski hubungan mereka masih rahasia, Andin cukup senang mendengar pengakuan Nino soal statusnya yang tak lagi seorang pria jomlo, bahkan Nino menunjukkan cincin pertunangan mereka di hadapan teman sekelasnya. Ingin rasanya dia cepat-cepat mengumumkan kepada semua orang tentang hubungan mereka. Namun, mereka sudah sepakat setelah dia lulus kuliah.

Semua mata pun terbelalak. Mereka saling memandang satu sama lain dan berbisik-bisik tentang sosok wanita yang menjadi tunangan Nino. Pasalnya, yang mereka tahu Nino itu tidak punya pasangan.

Senyum Elsa perlahan memudar, berganti dengan ekspresi sedih. Pupus sudah harapannya untuk menjadi pacar Nino, melebur menjadi angan yang tidak akan pernah terwujud. Baru kali ini, dia merasakan cintanya bertepuk sebelah tangan. Selama ini, dia yang membuat mantan-mantan kekasihnya sakit hati. Mungkinkah ini adalah karma untuknya?

Desi ikut sedih. Dia tahu betul Elsa sudah menyukai Nino sejak dua tahun yang lalu. Selama itu pula, Elsa cuma bisa memendam perasaannya di dalam hati dan memandangi Nino dari jauh. Secara tidak sengaja, dia melihat interaksi hangat antara Andin dan Nino yang saling bertatapan dan tersenyum. Seketika muncul pertanyaan di benaknya, ada hubungan apa di antara mereka? Mungkinkah Andin adalah tunangan Nino? Desi geleng-geleng, menepis kecurigaannya itu.

"Baik, saya lanjutkan lagi materi berikutnya." Nino meminta mereka membuka halaman pada buku. Suasana pun kembali hening.

Menit demi menit berlalu. Tidak terasa waktu mengajar sudah selesai. Sebelum meninggalkan kelas, Nino duduk sebentar, mengirim pesan yang berisi ajakan makan siang ke nomor Andin, kemudian bergegas menuju ruangannya. Dia tidak ingin membuat Andin menunggunya lama di parkiran.

***

Suasana kampus Pelita Bangsa siang ini tengah ramai. Banyak mahasiswa yang berlalu-lalang di sana. Ketika ada sedan hitam berhenti di depan kampus, mereka yang hendak masuk dan keluar langsung terdiam di tempat. Sebagian dari mereka berbisik-bisik, merasa penasaran dengan orang yang berada di dalam mobil tersebut.

Rendi bergegas keluar dan membuka pintu bagian belakang, tempat Aldebaran duduk. Setelah Aldebaran keluar, Rendi kembali menutup pintu dan mengikuti langkah Aldebaran dari belakang.

Dengan balutan outfit yang serba hitam, Aldebaran melangkah tegap dan penuh percaya diri melewati mahasiswa yang berdiri diam di sekitarnya, seolah-olah mereka sedang memberi jalan khusus untuknya. Aldebaran tahu, kedatangannya ini pasti akan menjadi pusat perhatian. Bahkan, sebagian mahasiswi tak segan menebar senyum dan melambaikan tangan padanya.

Dari arah yang berlawanan, Felly dan Andin sedang berbincang sambil berjalan menyusuri koridor.

"Ndin, kita makan di kantin, yuk! Kelamaan masuk kelas Pak Nino bikin perut gue laper," kata Felly, sesekali memegang perutnya yang baru saja berbunyi.

Usai membalas pesan Nino, Andin menatap Felly yang berjalan di sebelahnya. "Maaf, Fel. Kayaknya, gue nggak bisa nemenin lo. Lain kali, ya. Sepupu gue juga ngajak makan siang, nih. Dia udah nunggu di parkiran. Nggak apa-apa, kan, lo pergi sendiri?"

Sebenarnya, Andin merasa tidak enak hati meninggalkan Felly sendirian. Namun, dia juga tidak mungkin menolak ajakan Nino. Bila dibandingkan dengan Felly, waktu berduaan bersama Nino sangatlah jarang.

Felly tersenyum lebar. "Lo pergi aja, gue bisa pergi sendiri, kok."

Andin melambaikan tangan sambil melangkah. Saat matanya menatap lurus ke depan, tiba-tiba Aldebaran muncul dan tabrakan tidak terhindari. Buku-buku tebal yang dipegang Andin tergeletak di lantai.

Aldebaran membuka kacamata hitamnya dan menatap bola mata Andin lekat-lekat. Akhirnya, kita ketemu juga, Andin. Nyawa keluargamu sekarang ada di dalam genggaman tanganku! Terlebih dulu, aku akan menghabisimu! Tunggu saja, tidak lama lagi!

"Maaf, ya. Aku nggak hati-hati." Andin sedikit berjongkok untuk mengambil buku-bukunya, tetapi sudah diambil Aldebaran lebih dahulu.

Aldebaran menyerahkan buku-buku itu kepada Andin. Kedua ujung bibirnya terangkat membentuk segaris senyum. "Senang bisa bertemu denganmu, Andini Kharisma Putri."

Andin menerima bukunya dan melongo di depan Aldebaran. Baru saja Andin ingin bertanya, Aldebaran sudah bergerak menjauh dari pandangannya.

Sepeninggal Aldebaran dan Rendi, Felly bergegas menghampiri Andin yang masih diam di tempat. "Ndin, cowok tadi itu siapa? Kok, dia bisa tahu nama lengkap kamu?"

Tatapan Andin berpindah menatap Felly. "Gue juga bingung, Fel, padahal kita baru aja ketemu."

"Dari penampilannya, sih, dia bukan orang sembarangan, Ndin. Kayak pengusaha gitu. Mungkin lo lupa kalau kalian emang pernah kenalan sebelumnya," ujar Felly, menanti jawaban Andin selanjutnya.

Andin berpikir sejenak, berusaha mengingat-ingat kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Namun, tidak ada satu pun memori yang berhubungan dengan Aldebaran.

Siapa cowok itu sebenarnya?

***