Try new experience
with our app

INSTALL

Bite the Bullet (TAMAT) 

TIGA

Tepat seperti dugaan. Papa tidak setuju Nesia masuk Vigor. Menurut Papa, UKM itu tidak akan membawa Nesia ke mana pun, karena UKM itu tak pernah menelurkan prestasi apa pun. Bahkan, Papa sempat berucap kalau semester depan UKM itu mungkin tidak akan lagi mendapat pendanaan dari fakultas. Senjakala Vigor sudah mulai terlihat.

“Gini, Nes, Papa bisa minta ketua UKM mana pun di kampus buat nerima kamu masuk,” ujar Papa di sela-sela waktu sarapan. Nesia tidak suka kalau Papa sudah mulai menggunakan kuasa jabatannya untuk melancarkan banyak hal. Inilah salah satu alasan Nesia tidak ingin kuliah di kampus tempat Papa mengajar. Dia tidak butuh hak istimewa seperti itu. “Kucuran dana mereka tergantung persetujuan Papa.”

Mendengar kata-kata Papa, Nesia malah makin tertantang. Dia malah makin ingin masuk ke Vigor hanya untuk melawan Papa. Lagi pula, dia punya misi lain dengan masuk ke Vigor. Dia harus tahu siapa cowok misterius pengirim surat kaleng itu.

“Aku nggak peduli seburuk apa pun Vigor,” jawab Nesia. Dia menyuap nasi ke mulutnya. “Papa nggak boleh ngatur. Papa udah janji nggak bakal protes apa pun pilihanku.”

“Ya, sudah.” Papa pasrah. Dia tidak berkutik karena sudah terlanjur berjanji. “Tapi, jangan salahin Papa kalau nanti ada apa-apa.”

Nesia mengangguk. “Selama itu bukan masalah yang Papa buat-buat.”

***

Menurut Nesia, setiap kampus pasti punya istilah-istilah khusus yang hanya bisa dipahami oleh warga kampus itu sendiri. Fakultas Pertanian UPB pun tak mau kalah untuk urusan yang satu itu. Kampus ini punya satu julukan konyol yang mungkin tidak dimiliki oleh kampus mana pun di Jakarta.

Not so bad boys, itulah julukan absurd yang ada di Faperta UPB. Julukan itu digelarkan secara tak tertulis kepada cowok-cowok Faperta UPB yang mempunyai tingkat kerupawanan di atas rata-rata, tapi tidak cukup beruntung untuk bisa bergabung dengan UKM-UKM popular semacam UKM olahraga dan pecinta alam. Cowok-cowok tipe ini seringnya malah berbelok bergabung dengan UKM-UKM kasta bawah. Salah satu yang paling banyak dihuni cowok-cowok model ini adalah Vigor. Tidak ada yang pernah tahu alasan pastinya. Hal ini ternjadi mungkin semata berkat kepiawaian Pram si ketua Vigor dalam menarik anggota potensial. Ngomong-ngomong soal Pram, dia juga termasuk cowok not-so-bad itu.

“Bukan not so...bad boys, tapi not so bad...boys,” ujar Rima mengajari Nesia bagaimana mengeja rangkaian kata pendek itu dengan benar, lebih dari setengah tahun lalu, kali pertama Nesia mengerti maksud sebenarnya dari julukan konyol itu. “Maksudnya, kalau lo gagal dapat cowok-cowok populer nomor wahid, cowok-cowok inilah target potensial berikutnya.”

Dan, dua manusia yang ingin Nesia selidiki adalah anggota tak tertulis dari not so bad boys.

Namun, bukan cuma perkara tampang yang membuat Nesia sering menuliskan nama salah satu dari mereka di buku hariannya. Dia punya alasan yang jauh lebih mulia dari sekadar tampang di atas rata-rata. Alasan itu adalah sebuah peristiwa yang terjadi sekitar enam bulan yang lalu, seminggu setelah ospek berakhir.

Sebelum minggu pertama perkuliahan mahasiswa baru dimulai, mahasiswa baru majib mengikuti acara malam keakraban. Makrab mereka menyebutnya. Dalam acara itu, ada satu kegiatan yang sangat Nesia benci, jerit malam. Sebuah kegiatan yang mengharuskan seseorang bangun di tengah malam buta hanya untuk menyusuri suatu rute gelap yang tidak jelas arahnya. Kalau cuma itu saja, Nesia tidak akan sebenci ini dengan jerit malam. Munculnya panitia yang sering menyamar menjadi sosok-sosok hantu adalah hal yang paling dia benci.

Entah kenapa acara seperti ini masih dibawa ke ranah perguruan tinggi. Dia kira hal seperti ini cuma ada di SMA.

“Benar ke sini kan arahnya?” Irma yang berada di barisan paling depan bertanya ragu. Dia mengedarkan sorot satu-satunya senter yang dibekalkan ke trio Nesia-Rima-Irma itu.

Rima yang berada di tengah hanya terdiam, mungkin menggeleng. Sedangkan Nesia yang berdiri di belakang, hanya sanggup mencicitkan kata ‘mungkin’ sambil sibuk menoleh ke belakang, mengantisipasi apa pun yang tidak dia inginkan kemunculannya.

“Oke, kita ke....” Kata-kata Irma terpotong oleh jeritan nyaring entah binatang malam apa, yang langsung membuat si kembar ikut berteriak dan tiba-tiba mengambil langkah seribu. Nesia yang juga kaget dan tak siap, terjerembab lantaran tersentak oleh tubuh Rima yang sedari tadi dia jadikan pegangan. Ada rasa sakit yang luar biasa saat lututnya membentur suatu benda keras di tanah. Batu sepertinya. Tanpa sadar, Nesia menjerit.

Lalu, satu kedasaran lain menghantamnya. Kini dia sendiri dalam kegelapan. Si kembar entah sudah lari ke mana, membawa satu-satunya senter yang mereka miliki bersama. Ketakutan melandanya. Rasanya dia ingin menjerit, tapi tak mampu. Yang bisa dia lakukan kemudian hanya—yah, Nesia malu mengakui satu hal ini—menangis.

Entah sudah berapa lama dia terisak saat sorot cahaya muncul dari kegelapan. Ada perasaan lega yang mendera beserta hamburan cahaya yang menimpa dirinya. Sadar kini menjadi sorotan, cepat-cepat dia menghapus jejak air matanya. Dia tidak ingin siapa pun tahu kalau dia baru saja menangis ketakutan seperti gadis lima tahun.

“Lo maba juga?” Seseorang yang berada di depan barisan kelompok kecil itu bertanya pada Nesia, setelah mengamati selama beberapa saat. Nesia mengangguk. Kedua temannya pun turut tertarik mengamati, seolah Nesia adalah makhluk asing yang baru saja jatuh dari planet lain. “Apa yang lo lakuin di sini sendirian?”

Nesia menceritakan kesulitannya. Nada suaranya dibuat senormal mungkin, berusaha keras untuk tidak menunjukkan bahwa dirinya baru saja menangis. Tapi, sepertinya dia gagal.

“Kalau gitu, bareng kita aja ke pos terakhirnya.” Salah satu dari mereka menawarkan bantuan. Nada suaranya cukup dingin, sehingga membuat tawaran itu jadi terasa tidak benar-benar ditawarkan. Si pemegang senter menyapukan sekilas senternya ke temannya yang baru saja bicara. Terlalu sekilas, tidak cukup bagi Nesia untuk benar-benar mengenali siapa yang baru saja bicara. Yang dia tahu, cowok itu berkaca mata. Hanya itu.

“Iya, bareng kami aja,” sambung si pemegang senter. Suaranya jauh lebih ramah dan benar-benar terkesan ingin membantu.

Cahaya senter sedikit menghamburi tubuhnya. Kali ini cukup bagi Nesia untuk melihat profil cowok itu. Tubuhnya cukup tinggi, tidak gemuk juga tidak kurus. Cukup proporsional. Wajahnya, meski bukan cowok paling memukau yang pernah Nesia temui, dia cukup untuk bisa dibilang tampan. Apalagi ditambah raut ramah dan senyum yang terkembang begitu manis. Rambut ikal menyembul dari balik topi yang dia kenakan. Dan satu hal terakhir yang Nesia amati, papan nama di dada kanan anak laki-laki itu, sesuatu yang wajib dikenakan oleh semua mahasiswa baru.

Sebuah nama tercetak di atas badge itu, Pandu Wiranagara. Beberapa minggu kemudian, Nesia tahu nama panggilan cowok itu adalah Wira, bukan Pandu.

“Sini gue bantu.” Wira mengulurkan tangan, mencoba membantu Nesia bangkit.

Karena luka di lututnya, Nesia jadi kesusahan untuk berdiri tegak. Dia tidak yakin bisa berjalan sampai pos terakhir. Tanpa diduga, Wira tiba-tiba menyerahkan senter pada temannya yang berkaca mata dan membantu Nesia berdiri, memapahnya.

Jantung Nesia tiba-tiba berdetak sangat keras. Dia tidak siap dengan perlakuan manis yang tiba-tiba ini. Kalau saja keadaan sekitar tidak segelap ini, mungkin dia akan kesulitan menyembunyikan wajahnya yang merona.

“Eh… gue…” Nesia hendak menolak, tapi segera terpotong oleh kata-kata Wira.

“Nggak apa-apa,” potong Wira. Lalu dia berpaling pada teman di belakangnya. “Lo aja yang di depan. Gue bantu dia jalan. Kayaknya kakinya luka.”

Dan, perjalanan mereka pun berlanjut.

Seperti dugaan, mereka sampai di pos terakhir dalam waktu yang sangat lama. Nesia benar-benar memperlambat laju gerak kelompok Wira. Beberapa kelompok bahkan sempat membalap. Luka di lutut itu ternyata terasa jauh lebih menyakitkan saat digunakan utuk berjalan.

“Ya ampun, Nes!” jerit si kembar heboh nyaris bersamaan begitu melihat Nesia muncul. Nesia sudah ingin memaki sengit, seandainya dia tidak melihat raut khawatir dan rasa bersalah di wajah mereka. “Maafin kami, Nes. Lo nggak apa-apa, kan?”

Nesia menggangguk. Dia menunjuk lututnya. “Cuma kebentur batu, kayaknya.”

Si kembar meringis, menunjukkan rasa bersalah yang jauh lebih besar, yang langsung menguapkan kemarahan yang sempat Nesia pendam.

“Jadi, karena udah ada mereka, ada panitia juga, sampai sini aja ya gue bantuinnya?” ujar Wira tiba-tiba, menyadarkan Nesia bahwa tangannya masih erat merangkul pundak Wira.

Nesia buru-buru mengangguk dan melepaskan rangkulannya. Wajahnya kembali terasa panas. Semoga tidak terlihat merona. “Eh, iya. Makasih, ya?”

Wira hanya mengangguk, lalu tersenyum sebelum melenggang pergi. Bagi orang-orang di sekitar Nesia, senyum Wira mungkin hanya senyum ramah biasa. Namun bagi Nesia, itu adalah senyum termanis yang pernah dia lihat. Senyum yang mampu menderaskan aliran darah ke pipinya dan mampu mendebarkan detak jantungnya. Juga, senyum yang mampu membuatnya terus memutar nama Wira di dalam benak hingga berbulan-bulan kemudian.

Kini, Nesia sadar. Memang tidak perlu tampang yang benar-benar melumpuhkan untuk membuat seorang gadis bertekuk lutut. Kombinasi antara wajah enak dipandang dengan limpahan perhatian penuh tanggung jawab saja sudah lebih dari cukup. Kalau pun si pemberi perhatian memang berwajah melumpuhkan, itu semata rejeki dari Tuhan yang tidak pantas ditolak.

***

Sudah sejak lama Wira mengagumi cewek itu, masih sekadar kagum dalam diam. Dia belum punya cukup keberanian untuk mengutarakan isi hatinya. Pengecut memang, tapi dia masih belum siap mendapat penolakan. Untuk saat ini, mungkin memandanginya dari jauh masih akan menjadi hal terberani yang bisa dia lakukan.

“Nggak mau nyapa atau apa gitu?”

Seseorang membangunkan Wira dari lamunan. Tanpa perlu menoleh, dia tahu Yunan-lah orang yang sudah mengganggu ketentraman lamunannya.

Wira mengangkat bahu.

“Yah, sayang. Padahal katanya dia juga suka sama lo,” ujar Yunan terdengar tak acuh. “Kalau aja lo lebih berani, mungkin kalian udah pacaran sekarang.”

Kali ini Wira tak tahan untuk tak memandang Yunan. Dia ingin memastikan bahwa sahabatnya itu tidak sedang mengerjainya. “Lo serius?”

“Lah, ngapain juga gue bohong?” sangkal Yunan. “Apa untungnya?”

“Ya, siapa tahu lo lagi pengin ngerjain seseorang dan ketemunya cuma gue?”

“Kampret. Gue nggak sereceh itu juga kali.” Yunan tertawa. “Udah. Kalau niat mau dekat, buruan deketin. Disamber orang duluan, baru tahu rasa lo.”

Wira menghela napas. Sepertinya Yunan ada benarnya. Kalau memang dia berniat ingin dekat dengan cewek itu, dia harus segera mendekat.

Baiklah. Mulai besok dia akan mengumpulkan keberaniannya untuk mempersempit jarak dengan cewek itu.