Try new experience
with our app

INSTALL

REALIVE 

BAB 1: Kebahagiaan di Atas Air

Busa-busa yang memenuhi bathtub menguarkan aroma lavender. Bastian memejamkan mata sambil menyandarkan kepala, membiarkan Deluna menggosok kedua tangannya secara bergantian. Laki-laki berusia empat puluhan itu tersenyum saat tangan-tangan halus sang istri perlahan-lahan berpindah ke dadanya.

“Ma ....”

“Ya, Pa?”

“Ini sudah gosokan ketiga, lo. Papa bisa terlambat.”

Bastian membuka mata, menatap Deluna yang duduk di sisi bathtub dengan busa sabun memenuhi kedua tangannya.

Pandangan Bastian beralih ke tubuh Deluna yang dipenuhi lulur. Pikirannya yang semula dipenuhi oleh laporan-laporan yang semalam dibacanya seketika menjadi tidak keruan. Sebelum hawa aneh membuat dada dan matanya semakin panas, Bastian bangkit dan berjalan menuju shower

Crash! Air dingin keluar dari lubang-lubang kecil di atasnya. Berbeda dengan air bathtub yang hangat, air dingin yang menghujaninya kali ini membuat Bastian nyaman. Laki-laki itu menggosok leher, dan refleks meraba bekas luka yang memanjang di sana. Bastian tersenyum samar. Seketika, potongan-potongan kejadian masa kecil menyelinap ke dalam kepalanya. 

“Bas, ayo nyebur!”[1]

“Gak, ah. Mriyang awakku.”[2]

“Ah, lemah ....”

Bastian kecil tersenyum saat mendengar ejekan Antoni. Dia bukan tidak mau mandi di sungai bersama teman-temannya. Justru mau sekali, karena itu salah satu kegiatan yang sangat disukainya. Bastian hanya sedang tidak enak badan. Semalam, ia menemani Emak yang lembur merampungkan seragam pesanan ibu-ibu arisan.

Bastian ikut tertawa terpingkal-pingkal saat melihat Antoni jatuh terpeleset dari atas kerbau yang sedang dimandikannya. Jo, nama kerbau Antoni, memang sangat sensitif terhadap sentuhan. Itu sebabnya hewan besar itu selalu bergoyang-goyang tiap kali Antoni menggosok tubuhnya.

Dari tempatnya duduk, Bastian menatap hamparan sawah yang membentang di kanan kirinya. Sebentar lagi musim panen, dan setelah panen usai, sawah-sawah itu akan berubah menjadi medan tak tergantikan untuk bermain layang-layang. Bastian tersenyum sambil memikirkan layangan bentuk apa yang akan dibuatnya musim ini.

Bastian tiba-tiba tersentak dari lamunan. Di bawah sana, Antoni terjatuh dengan suara aneh, seperti suara batok kelapa yang dipukul dengan kayu keras-keras. Bastian segera bangkit dan cepat-cepat menuruni undakan beton yang sejak tadi didudukinya.

Namun, sepertinya nasib sial juga menimpanya. Kaki kanannya terpeleset dan tubuhnya berguling-guling jatuh. Kepalanya terasa berat, sementara tengkuknya mati rasa dan mengeluarkan darah. Bastian sempat berteriak minta tolong, sebelum pandangannya berubah gelap.

“Pa ....” Lamunan Bastian tentang masa kecilnya buyar, saat Deluna mendekat dan memeluknya dari belakang. Sang istri menciumi lehernya, lalu meraba bekas luka yang tadi diraba Bastian.

“Masih sakit, kah?” tanya Deluna.

Bastian menggeleng, lalu menarik tubuh istrinya ke depan. Sesaat keduanya saling pandang, sebelum akhirnya berpelukan erat di bawah siraman air shower yang semakin lama semakin bertambah dingin.

***

Drio turun dari tangga dan melirik sekilas ke arah Bastian yang sudah duduk di ruang makan. Kaus putih dengan gambar daun maple yang dilukisnya sendiri di bagian dada terlihat serasi dengan celana pendek hitam yang dipakainya. Sementara kakinya dibungkus sepatu Converse abu-abu. Drio terus melangkah meninggalkan meja makan menuju pintu depan, tidak mengacuhkan Bastian yang sejak tadi menatapnya.

Baru saja Bastian ingin membuka mulut untuk mengajak sang anak makan, bocah laki-laki berusia lima belas tahun itu sudah menghilang dari pandangan. 

“Sudah, biarkan saja. Dia sedang stres dengan persiapan ujiannya,” ucap Deluna yang berjalan dari arah  dapur. Kedua tangannya membawa nampan berisi nasi goreng dan segelas susu, menu sarapan kesukaan Bastian.

“Drio tidak sarapan?”

“Sudah, kok. Aku selalu menyiapkan sarapan di kamarnya setiap hari,” timpal Deluna sembari menarik kursi di hadapan sang suami.

“Oh, iya, hari Minggu ada acara jamuan dengan kolega baru. Kamu mau ikut?” tanya Bastian sembari menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.

Deluna menatap Bastian, sepasang matanya mengisyaratkan bahwa ia tidak terlalu menyukai ajakan sang suami. Namun, seperti biasa, wanita itu memendam dalam-dalam egonya dan mengangguk sambil tersenyum.

“Boleh, Pa.” Deluna terdiam sesaat. Menghadiri jamuan mewah selalu mengingatkannya akan dunia masa lalu yang susah payah ia tinggalkan. Namun, Deluna tidak bisa jika harus membiarkan Bastian pergi sendirian dan menanggung malu di hadapan para koleganya.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Deluna mengantar Bastian ke depan, berdiri di sana hingga mobil Pajero Sport yang dinaiki suaminya menghilang dari pandangan. Hah! Deluna menghela napas, memeriksa ponselnya yang bergetar menampilkan sebuah reminder lalu melangkah menaiki tangga, menuju kamar Drio.

Suasana yang gelap membuat Deluna mengerutkan kening sambil menajamkan penglihatan. Dirabanya dinding di sisi pintu, mencari sakelar lampu dan menekannya. Wanita itu seketika terperanjat. Keadaan kamar putra semata wayangnya itu terlihat sangat rapi. Seprai yang baru saja diganti, tirai dengan warna senada yang menyelimuti jendela yang tertutup. Tumpukan buku-buku di atas meja yang disusun sedemikian rupa semakin memperkuat prasangka bahwa penghuni kamar ini adalah orang yang perfeksionis.

Deluna melangkah semakin dalam, mendekati sebuah gitar yang tergeletak di samping ranjang. Pandangannya menatap tidak suka terhadap benda itu. Jika tidak ingat bahwa itu benda kesayangan putranya, Deluna pasti sudah membuangnya sejak dulu. Tatapannya lalu beralih ke nampan berisi sarapan lengkap yang belum disentuh di atas meja. Sejak dulu anaknya memang tidak berubah. Deluna memeriksa ponselnya, lalu menekan sebuah nomor.

“Halo.” Suara di seberang terdengar sangat lemah.

“Drio, kamu sudah sampai di tempat kursus?” 

“Sudah, Ma.”

“Kamu melewatkan sarapanmu lagi?”

“Maaf, Ma. Pengajarnya sudah datang.”

Sambungan terputus. Deluna kembali menghela napas. Meski terlihat kesal karena panggilannya tiba-tiba diputus, wanita itu memilih abai. Setidaknya sang anak belajar dengan benar sesuai dengan harapannya. Deluna menatap sekeliling kamar sekali lagi lalu kembali mendesah, ia meraih nampan di hadapannya dan membawanya keluar dari kamar.

***

Drio mencengkeram ponselnya erat-erat. Giginya bergemeletuk, sementara matanya yang terasa panas menatap belingsatan ke segala arah. Bocah laki-laki itu menatap papan nama tempat kursus di hadapannya, lalu berbalik arah.

“Sial!”

Langkah-langkah berat itu membawa Drio ke sebuah taman. Tidak ada siapa pun di taman itu. Ia mendekati kursi kayu panjang yang kosong, lalu merebahkan tubuhnya di sana. Setelah menyangga kepala dengan ransel berisi buku-buku tebal di dalamnya, Drio menatap sebuah sarang burung di atasnya yang terlihat sangat hidup. Sarang itu kecil, tetapi suara cicit burung terasa begitu hangat ketika masuk ke telinga. Drio terus memandangi sarang burung itu dari bawah, sebelum akhirnya terlelap.

***

Mobil Pajero Sport yang dinaiki Bastian memasuki halaman gedung menjulang dengan tulisan Star Life di ujungnya. Setelah menghentikan laju mobil di depan pintu utama gedung, Bastian menyerahkan kunci mobilnya kepada petugas yang berjaga, lalu melangkah masuk.

Pintu kaca yang terbuka otomatis itu menyambutnya dengan aroma jeruk segar yang berasal dari pengharum di beberapa sudut ruangan. Bastian melangkah mantap dengan ketukan pelan tetapi teratur. Sesekali ia mengangguk saat bertemu karyawan yang menyapanya. Bastian berhenti di depan lift, menekan sebuah angka dan masuk setelah pintu itu terbuka. “Selamat pagi, Bos.”

Bastian terkejut sejenak, lalu tersenyum ramah saat menyadari siapa yang menyapanya.

“Selamat pagi juga,” balas Bastian yang langsung dibalas suara tawa oleh orang yang tadi menyapanya lebih dulu, Antoni.

“Hari ini kita ada rapat dengan para direksi,” ucap Antoni sambil memeriksa ponselnya.

“Rapat? Membahas tentang pembukaan cabang baru, ya?” tanya Bastian sambil menoleh ke arah Antoni. Tangannya yang bebas segera membuka tas yang dibawanya dan menarik sebuah map berwarna merah dari sana.

“Periksa daftar pemilik saham ini. Saya sudah menandai beberapa nama yang sepertinya akan menolak penambahan cabang di luar kota. Selidiki nama-nama yang sudah ditandai, lalu cari tahu apa alasannya.”

“Oke.” Antoni memasukkan ponselnya ke dalam saku, lalu meraih map yang disodorkan Bastian. Wajahnya yang semula cerah berubah tegang, dadanya bergemuruh, menggumamkan sebuah nama.

Pintu lift terbuka. Bastian melangkah keluar lebih dulu, meninggalkan Antoni yang masih bergeming sambil memeriksa nama-nama yang ditandai oleh Bastian.

Shit!” dengus Antoni kesal setelah Bastian berlalu.

Bastian menyusuri lorong panjang yang sepi. Pikirannya dipenuhi oleh bermacam masalah yang seolah-olah tidak pernah berhenti menyerbu kepalanya. Langkahnya baru berhenti saat tiba di sebuah ruangan besar tepat di ujung koridor. 

Aroma lavender kembali menyeruak ke dalam hidungnya. Aroma yang dikenal mempunyai efek menenangkan itu pagi ini tidak memberi pengaruh apa-apa untuk Bastian. Laki-laki itu sejak tadi merasa pusing dan udara di sekitarnya terasa sangat pengap. Tiba-tiba sebuah ketukan mengagetkan Bastian yang mulai fokus pada layar besar di depannya.

“Masuk!”

Seorang sekretaris tinggi semampai memasuki ruangan. Ia tersenyum kepada Bastian lalu memberitahukan bahwa seseorang ingin menemuinya.

“Siapa?” tanya Bastian sambil mengingat-ingat. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu menerawang.

“Namanya Pak Nala. Beliau katanya sudah punya janji temu sebelumnya.”

Bastian terbelalak lalu meluruskan punggungnya. “Ah, iya, benar. Tempo hari saya bertemu dengan beliau dan sepakat akan bertemu lagi. Suruh beliau masuk.”

Sang sekretaris mengangguk, lalu melangkah keluar ruangan.

***

Di waktu yang sama, Drio, yang sudah terlelap, tidak menyadari bahwa sejak tadi seseorang mengamatinya dalam diam. Sosok itu memetik sekuntum bunga bugenvil, meletakkannya di atas kening Drio lalu memotretnya. 

Entah karena terganggu dengan suasana sekitar yang mulai ramai, atau karena merasakan kehadiran seseorang di sampingnya, Drio seketika membuka mata dan memasang wajah kesal.

“Melani! Apa-apaan barusan?” tanya Drio dengan wajah dinginnya yang khas. Ia mengacak-acak rambut, kepalanya terasa berat.

“Kamu bolos, ya? Bukankah kamu ada jadwal kursus? Kenapa ada di sini?” tanya gadis itu.

Melani adalah teman satu kelas Drio. Keduanya sudah berteman sejak kecil, dan semakin lama semakin akrab. Meski keduanya sangat tertutup tentang kehidupan pribadi masingmasing, Drio dan Melani nyatanya tetap nyaman berteman dengan cara mereka sendiri. “Berisik. Pergi sana!”

Alih-alih pergi, Melani justru bergerak dan duduk di samping Drio. Sepasang matanya menatap tajam, menagih sebuah pengakuan. Drio memejamkan mata, lalu mendesah.

“Aku muak belajar terus,” ucap Drio sambil menyandarkan punggungnya.

“Yah, tidak ada orang yang mencintai belajar melebihi dirimu,” ucap Melani sambil menerawang. Sepasang matanya menatap kejauhan, mengamati seorang gadis kecil yang berjalan bersama ibunya. Tangan gadis itu menggenggam sebuah balon berwarna merah. Sesekali, gadis itu meloncat-loncat sambil tertawa lebar. Tanpa sadar mata Melani berkaca-kaca. Sejak kecil gadis itu tidak punya kenangan sama sekali bersama ibunya.

“Mencintai belajar?” Drio mengulang ucapan Melani, lalu tertawa. Tawa yang kian lama kian keras, seperti berusaha melepaskan beban yang sangat berat di dadanya.

“Kamu akan celaka jika mamamu tahu kamu membolos lagi.”

Drio menatap Melani lalu menjawab santai. “Memangnya kenapa kalau Mama tahu? Ini hidupku, aku punya hak buat menentukan hidupku sendiri,” ucap Drio dengan suara tegas. Sepasang matanya terlihat menyala-nyala. Sungguh, selama ini ia merasa sangat tertekan. Kalau boleh jujur, ia sebenarnya benci sekali belajar. Sekarang padahal sedang musim liburan, (pasca tes uji coba) bukannya bisa sedikit santai, hidupnya malah semakin mengerikan.

Drio menundukkan kepala lalu kembali mengacak-acak rambutnya yang semakin berantakan. Kepalanya terasa sangat berat. Semalam Drio tidur di lantai kamar. Pikirannya begitu kusut sampai-sampai matanya terus terjaga hingga pagi. Saat subuh datang, ia bergegas memberi tahu salah satu asisten rumah tangga untuk mengganti seprai dan merapikannya. Seprai sebelumnya yang kotor terkena tumpahan cat air, bergegas disembunyikannya. 

Saat sedang gelisah, ia sering menghabiskan waktu dengan melukis. Menggoreskan cat air di atas kanvas selalu membuatnya bahagia. Namun, entah kenapa sang Mama tidak pernah mengizinkannya. Suatu hari sang Mama pernah melihatnya sedang melukis dan wanita yang melahirkannya itu langsung melempar semua peralatan melukisnya saat itu juga. 

Sejak saat itu Drio yang tetap nekat melukis untuk menetralisasi rasa frustrasi yang kerap dialaminya, berusaha keras agar tidak ketahuan lagi. Setelah membereskan perlengkapan melukisnya, pemuda itu pergi mandi dan menarik napas lega saat mendapati sebuah nampan sudah tergeletak di samping ranjang, yang artinya sang Mama sudah datang dan pergi lagi tanpa mengetahui apa yang semalam ia lakukan. Untung ia tadi segera mengganti seprainya sebelum ketahuan sang Mama.

Emosi Drio seketika menjadi-jadi saat menyadari ternyata sang Mama tidak pernah berusaha untuk memahaminya. Dengan gegas, ia bersiap-siap pergi kursus lalu meninggalkan kamar, tanpa menyentuh sarapan yang disediakan untuknya. Ia keluar kamar sambil mendengkus. Bukan perhatian seperti itu yang ia harapkan.

Jika boleh jujur, Drio sangat bosan dan muak dengan rutinitasnya. Jiwa mudanya bergejolak dan mulai mengirimkan sinyal-sinyal pemberontakan. 

“Oiii!”

Drio tersadar dari lamunan saat mendengar teriakan Melani yang ternyata masih duduk di sampingnya. Ia mencengkeram rambut kepalanya erat-erat, seperti sedang mencoba mencabut semua kegelisahan yang mengganggunya. 

“Pergi sana!”

“Oh, mau ngajak aku pergi? Ayo! Let’s go!” ucap Melani tidak memedulikan Drio yang semakin kesal.

“Dasar gila!”

***

Bastian menatap sosok di hadapannya. Laki-laki yang tempo hari tidak sengaja ditemuinya itu adalah seorang perancang busana yang sudah berpengalaman.

Sebelumnya Bastian dan Nala sempat mengobrol, dan Bastian juga telah melihat-lihat sketsa rancangan Nala. 

Menurut Bastian rancangan Nala itu unik. Menurut cerita yang didengarnya, Nala pernah bekerja untuk sebuah butik besar dan terkenal, sebelum akhirnya mengundurkan diri karena tidak tahan dengan tabiat pemiliknya yang buruk.

“Bagaimana, Pak? Ada yang ditanyakan untuk kontrak kerjanya?” tanya Bastian sambil membenarkan letak kacamatanya dan tersenyum ramah.

“Tidak. Saya sudah membaca berulang-ulang dan saya setuju.”

“Baik, jika begitu, silakan tanda tangan dan kita akan resmi menjadi mitra.” Keduanya saling pandang, berjabat tangan kemudian tertawa bersama.

Setelah pertemuannya dengan Nala selesai, Bastian melangkah keluar ruangan, memasuki lift menuju lantai bawah. Suara hiruk-pikuk langsung terdengar begitu pintu lift terbuka. Keramaian dan lalu-lalang karyawan membuat Bastian tersenyum. Kini ia berdiri di salah satu lantai bagian produksi. Sepasang matanya bergerak-gerak mengikuti aktivitas orangorang di bawah sana. Ia masih terus tersenyum saat satu per satu kenangan masa mudanya kembali menyeruak masuk ke dalam kepalanya.

“Bas, kamu punya cita-cita?”

“Punya.”

“Apa?”

“Aku ingin punya keluarga yang besar. Besar sekali. Lalu aku akan membuatkan mereka rumah yang bertingkat-tingkat,” balas Bastian sambil menatap langit.[]


 

[1]“Bas, ayo masuk ke dalam air.”

[2]“Gak, ah. Aku enggak enak badan.”