Contents
CASTLOVE (TAMAT)
Should I confess?
Cibubur, Januari 2014
Arumi Putri
SETELAH dua hari yang lalu dikabarkan lewat telepon, hari ini mereka sepakat bertemu.
Arumi tergopoh-gopoh masuk ke dalam Freshest Café—sebuah kafe yang dekat dengan SMA mereka dulu, dan menjadi tempat favorit mereka sampai sekarang—setelah tahu ia terlambat satu jam dari perjanjian. Dengan tumpukan tiga jurnal sekolah yang didekap di tangan kiri, matanya cekatan mencari seseorang yang duduk di antara banyaknya pengunjung kafe. Dan…, ketemu. Orang itu duduk di salah satu bangku di sebelah jendela, memunggunginya. Arumi kenal betul postur tubuh lelaki yang tak banyak berubah dari terakhir mereka bertemu.
Dengan langkah optimis, ia menghampiri lelaki itu.
“Sultan,” Arumi menyapa pelan. Lelaki yang disapa itu menoleh, dan tersenyum. “Udah lama nunggu? Maaf banget aku telat,” ucapnya sambil mengambil posisi duduk di hadapan lelaki itu.
“Tadi ada rapat dadakan, Yang? Atau—”
“Oh, nggak. Tadi ada anak kelas sebelas yang mau konsultasi ke aku di kantor, nggak jauh setelah bel pulang.” Ia mengibaskan tangan sambil menyimpulkan senyum. “Biasa, masalah para remaja.”
Lelaki itu, Sultan, ikut tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Arumi hingga poni panjangnya teracak. Tertular senyum saat melihat senyum Arumi yang diam-diam ia kagumi sejak tujuh tahun yang lalu. “Kamu masih senang aja main sama anak-anak SMA, Yang.”
Arumi terkekeh pelan. “Karena kata orang, kalau ketemunya sama orang yang lebih muda terus, bisa awet muda,” jawabnya optimis.
Sultan tertawa. “Teori dari mana lagi itu?” Lelaki itu menjentikkan jari. “Oh ya, kamu nggak mau pesan sesuatu?”
Bola mata Arumi mengerling sebentar. Sebelah tangannya terangkat, yang beberapa saat kemudian seorang pramusaji laki-laki yang mereka kenal segera menghampirinya.
“Hai, Mi, Tan…, senang kalian berdua ke sini lagi. Mau pesan yang biasa?”
Sultan menjentikkan jari kedua kalinya dan Arumi menangkap mata lelaki itu melirik ke arahnya. “Yup. Gue yang biasa, Dwi.” Lalu ia mencondongkan badannya pada Arumi. “Kamu mau pesan apa, Yang?”
“Sup asparagus sama teh panas aja deh.” Arumi menutup daftar menu dan mengembalikannya pada Dwi, pramusaji langganan mereka.
“Nggak mau roti bakar cokelat keju lagi, Mi?” tanya si pramusaji.
“Yah…, kamu nanya itu mulu setiap aku ke sini, Dwi. Aku kan udah lama nggak pesan itu.” Ujung bibir Arumi mengerucut.
“Hahaha. Cuma ngetes, Mbakbro! Kali aja kangen sama menu lama.” Dwi tertawa jail.
Baiklah, harus diakui bahwa pramusaji—yang masih khas dengan gaya rambut kribonya dari dulu ini—berhasil membuat bagian sensitif Arumi terkorek lagi. Lalu bisa berdampak buruk pada kangen-ke-menu-lama-yang-bisa-menyebar-pada-kangen-ke-cerita-lama. Jadi, lebih baik ia berkilah. “Freshest kan punya variasi makanan baru. Masa menu aku nggak ganti-ganti. Lagian, kamu cepat siapin sana! Aku keburu laper,” Arumi menggerutu tak mau peduli. Ia pura-pura membuka salah satu jurnal yang tadi dibawa, menghadap ke jendela, padahal konsentrasinya sedang tidak ada di sana.
Di ujung matanya, ia menangkap Dwi mengarah ke Sultan, dengan tangan yang menunjuk-nunjuk Arumi. “Tan, nih anak dari dulu sarkasnya nggak ilang-ilang.” Sebuah pengaduan singkat sebelum Dwi berlalu yang Sultan tertawa.
“Dia masih betah aja di sini, ya, Say? Bayangin, lho… dari zaman kita nongkrong pas SMA. Enam tahunan, ya? Padahal, tiap kali kita ke sini, rata-rata pegawainya udah pada ganti.”
Arumi mengangguk. Ditopang sebelah pipinya pada telapak tangan yang menyangga meja, seraya matanya melirik ke arah dapur Freshest, tempat lelaki kribo, bertubuh kurus, berkulit sawo matang dengan tinggi yang tidak jauh dari lima senti lebih rendah darinya itu tadi bekerja. “Iya, nggak nyangka, ya. Udah lama juga,” balasnya mengulang statement.
“Anyway, to the point, ini yang mau kukabarin ke kamu.” Arumi duduk tegap menghadap Sultan. Isi kepalanya langsung berputar menerka sendiri apa kabar baiknya, sebelum Sultan mengungkapkannya sendiri. “Aku bakalan stay sekitar dua minggu di Jakarta, ada urusan sebentar sama client-ku. Which means, selama sisa waktu yang panjang itu, aku bakalan memanfaatkan waktu untuk mengatur hubungan kita.”
Mata Arumi menyipit. “Maksudnya mengatur hubungan kita?”
“I…iya. Jadi, maksudku, hubungan kita ini… nggak hanya berputar di sini-sini aja, kan? Bakalan ada progress ke depannya?”
Arumi bergeming, dan semenit kemudian diiringi alis yang beradu, kepalanya menggeleng.
Dan beruntunglah, Sultan kelihatannya langsung mengerti bahwa Arumi masih bingung. Lelaki itu terlihat ingin mengeluarkan sesuatu dari tas selempang kecil yang ia bawa; sebuah kertas putih yang kemudian disodorkannya pada Arumi.
“Kamu buka deh.”
Dengan alis yang masih beradu, Arumi segera menuruti instruksi Sultan. Kertas putih itu pun terbuka dan menampilkan tulisan berhias, yang Arumi tahu, itu tulisan Sultan.
Wedding Invitation
Arumi Putri
&
Sultan Hakim Labdawara
Arumi terbelalak. “Tan, ini….”
“So, will you marry me, Arumi?”
Arumi meletakkan tas dan jurnalnya secara asal di atas ranjang, sebelum ia turut menghambur dan merentangkan badannya di sana. Perempuan mana pun, ketika dilamar oleh lelaki yang disuka untuk hidup bersama, tentu akan bahagia, kan? Tapi, yang ia rasa justru sebaliknya.
Bukan, bukan berarti ia bersedih. Lebih tepatnya, ia merasa…, bimbang.
Ia menyukai Sultan, dan perasaan itu tak perlu diragukan sejak rasa kagum dan suka pada lelaki itu bergabung, membentuk kesatuan yang sulit dideskripsikan.
Ia tidak pernah keberatan ketika Haykal mendekatkannya pada Sultan. Membawanya ke perkembangan pesat dari yang awalnya hanya bisa menatapnya bermain futsal, hingga bisa duduk berhadapan di Freshest Café, ditemani Haykal, sepulang sekolah.
Ia pun tidak pernah ragu untuk membalas perasaan Sultan, lima tahun yang lalu, sebelum prom night perpisahan sekolah mereka digelar.
Dan…, ia tidak pernah keberatan pada hubungan ini. Ia selalu mendukung Sultan yang berkarier di sebuah bank swasta di Surabaya, selepas ia lulus dari jurusan Ekonomi sebuah universitas negeri di kota yang sama. Sultan pun awalnya begitu, membebaskannya untuk meniti karier apa pun yang ia mau; menjadi guru bimbingan konseling di sebuah sekolah swasta di Jakarta Pusat, setelah lulus dari jurusan Bimbingan Konseling di Universitas Negeri Jakarta.
Sampai sekarang, ketika beberapa jam yang lalu Sultan melamarnya, ia merasa Sultan tidak lagi menyukai jalannya. Lelaki itu sudah menata karier baru untuknya nanti; bekerja sebagai konselor di sebuah perusahaan yang dekat dari kantor Sultan, lalu mereka akan menetap bersama di Surabaya. Tanpa mendiskusikan atau menawarkan yang ia sukai sebelumnya.
Beberapa jam lalu yang membuat kepalanya berputar atas apa yang telah terjadi. Entahlah, ia merasa, jika menerima segala yang ditawarkan Sultan hari ini, semuanya, maka yang dilakukannya selama ini…, akan sia-sia.
Menerima sesuatu yang bukan seharusnya, bukan yang ia inginkan, bukan yang selama ini ia usahakan.
Ia mengembuskan napas, keras. Bahkan, ia tak sadar sedari kapan air matanya mengalir deras. Tidak seharusnya seorang perempuan menangis setelah dilamar lelaki yang disukainya. Dan kalaupun harus, tangisnya harus tangis bahagia. Bukan tangis…, menyakitkan.
Pun tidak seharusnya juga ia menolak waktu-waktu senggang yang diajukan Sultan untuk menemaninya, dengan alasan, ia wajib mengikuti studi banding sekolah ke luar kota selama satu minggu. Jelas, ia berbohong. Sejak dulu, kebijakan di sekolah tempatnya mengajar, yang diwajibkan ikut tiap kali ada kegiatan studi banding siswa adalah para wali kelas. Sementara guru-guru lain sepertinya tidak terlalu diwajibkan.
Ia bukan menghindari Sultan. Lebih tepatnya…, mengulur. Sampai bisa menakar hatinya sendiri, atas siapa yang sebenarnya ia harapkan, atas siapa yang sebenarnya ia perjuangkan.
Ia bergegas membuka laci dan mengeluarkan diary. Hari ini, dengan derai air mata yang sulit dideskripsikan, ia kembali bercerita.
Tentang lelaki yang ia rindukan.
Tentang lelaki yang sejak halaman pertama buku diary ini ia ceritakan.
Tentang lelaki yang menjadi alasannya menyukai roti bakar cokelat keju di Freshest Café, sekaligus menghentikannya semenjak lelaki itu pergi.
Tentang lelaki yang menjadi alasannya berprofesi sebagai guru konseling SMA swasta populer di Jakarta, demi bisa merasakan dunia lelaki itu dulunya, lalu ia bisa menerka, ke mana lelaki itu sekarang.
Tentang lelaki yang bercita-cita sama dengannya, membangun istana yang bisa menjadikan mereka bebas menjadi diri masing-masing. Tanpa rasa takut, dan penuh rasa cinta.
Tentang lelaki yang membuatnya merasa jahat atas dirinya sendiri, juga pada Sultan, karena tidak pernah berterus terang. Ia menyukai Sultan, itu benar. Tapi ia tidak pernah bisa menjawab, apakah rasa suka itu berkembang menjadi sayang seiring dengan waktu?
“Haykal Taesano,” Arumi menggumam.
Gumaman yang selalu sama dan selalu terhenti di situ, ketika ia kembali merindu. Berharap waktu kembali mengulang memori yang dulu. Ketika tanpa mengucapkan apa yang ia rasa, lelaki itu selalu tahu.