Contents
Dendam Sang Mafia
Bab 4
Aldebaran mengawali pagi ini dengan bermain golf sendirian. Tidak ada siapa pun. Seperti biasa, dia sengaja mem-booking tempat itu hanya untuk dirinya. Dia tidak mau ada yang mengenalinya. Bisa-bisa, penyamarannya selama belasan tahun, berakhir sia-sia.
"Ada apa, Ren?" Tanpa menoleh pun, Aldebaran langsung tahu Rendi berdiri di belakangnya. Selain dia, Rendi juga ada di sana. Pria berusia dua puluh tiga tahun itu hanya menemani, tidak ikut bermain.
"Pagi, Pak. Baru saja, Pak Daniel memberi tahu bahwa Pak Surya mengundang Anda makan malam di restoran Anggrek jam tujuh nanti. Dia ingin berterima kasih atas bantuan Anda kemarin."
Aldebaran menyeringai tipis. Tatapannya lurus ke arah bola yang menggelinding dan berhasil masuk ke lubang. Rencana awal yang dia lakukan, berjalan sesuai dengan rencana.
Tak ada balasan, Rendi mengajukan pertanyaan, "Apakah Pak Al akan datang ke restoran itu nanti malam?"
Aldebaran membalikkan badan, kemudian menatap Rendi dengan ekspresi datar. "Saya tidak mungkin membatalkan kerja sama dengan Tuan Alfonso. Pekerjaan ini lebih penting daripada makan malam bersama mereka."
Rendi mengangguk. Dia sudah menduga bahwa Aldebaran lebih mengutamakan tawaran kerja dari Alfonso—salah satu pengusaha ternama di Italia—ketimbang makan malam dengan keluarga Surya. Bayaran yang diterima Aldebaran sangatlah tinggi, sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan, yaitu membunuh orang.
Pekerjaan sebagai pembunuh bayaran sudah dilakoni Aldebaran selama delapan tahun semenjak dia genap berusia dua puluh tahun. Sebelum itu, dia sudah belajar berbagai macam bela diri dan menembak. Tentunya, pekerjaan itu bukanlah kehendak Aldebaran, melainkan karena masa lalunya yang kelam.
Rendi menambahkan, "Oh, ya. Tuan Alfonso juga mengabari, semua keperluan Pak Al selama di sana termasuk pesawat pribadi sudah disiapkan."
Aldebaran memberikan stik golf kepada Rendi. "Selama saya pergi, pastikan keadaan aman! Kamu juga harus jaga diri dan kesehatan, ya."
"Baik, Pak."
Hati Rendi langsung hangat. Inilah alasan Rendi tetap setia menjadi asisten pribadi Aldebaran. Meski bertampang sangar dan dingin, hati Aldebaran sangat baik. Bahkan, Aldebaran tak segan menunjukkan perhatian kepada semua anak buahnya.
Rendi masih ingat betul kejadian lima tahun silam. Dia tidak bisa kuliah lantaran orang tuanya tidak mampu. Dengan bermodalkan ijazah SMK, dia nekat melamar pekerjaan di berbagai perusahaan. Alhasil, tidak satu pun yang menerima Rendi dengan alasan tidak memenuhi persyaratan gara-gara bukan lulusan sarjana.
Di balik kepiluan itu, ada berkah yang datang tidak terduga. Dia melihat seorang pria misterius mencoba mencelakai Aldebaran. Tanpa alat bantu, dia berhasil menggagalkan orang itu sekaligus menyelamatkan nyawa Aldebaran. Aldebaran bisa merasakan ketulusan hati Rendi. Saat itu juga, Aldebaran merekrut Rendi menjadi asisten pribadinya. Rendi senang bukan kepalang. Gaji yang diberikan Aldebaran dua kali lipat dari gaji kantoran.
***
Sepanjang perjalanan dari rumah menuju kampus, hanya sedikit obrolan di antara Andin dan Nino. Nino fokus menyetir, sedangkan Andin terus memandang ke jendela. Pikiran gadis itu melayang pada waktu kejadian kemarin siang.
Nino melirik ke samping, sesekali mengamati ekspresi Andin. "Pagi-pagi, kok, udah ngelamun? Masih mikirin cowok itu?"
Saat makan siang kemarin, Andin sempat menceritakan soal Aldebaran yang mengetahui nama lengkapnya. Tentu, hal itu mengganggu selera makan Nino. Dia paling tidak suka Andin membicarakan pria lain saat sedang bersamanya. Terlebih lagi, tatapan Andin sekarang langsung beralih menatapnya. Dugaannya benar, Andin memang masih memikirkan cowok misterius itu.
"Aku penasaran aja, dari mana dia tahu nama lengkap aku, padahal kami nggak pernah ketemu sebelumnya."
Nino mendengkus. Lagi-lagi, Andin menceritakan tentang cowok itu. Dadanya serasa sesak karena kesal. Namun, dia memilih diam dan pura-pura menulikan telinga. Ini masih pagi. Dia tidak ingin mood-nya mengajar jadi terganggu.
Andin melanjutkan, "Papa juga cerita semalem, ada seorang pengusaha yang nyumbang lima miliar untuk kampus. Namanya Aldi Purnama. Aku ngerasa kalau cowok yang ketemu aku dengan cowok yang diceritain papa itu adalah orang yang sama."
Nino menghela napas pendek. Dia pun jadi penasaran, seperti apa sosok pengusaha itu, sampai-sampai membuat Andin terus memikirkannya. "Kalau mereka orang yang sama, emangnya kenapa? Kamu suka sama dia?"
Andin menangkap sinyal cemburu pada nada suara Nino. "Kok, kamu bilang gitu? Kamu marah karena aku ngomongin dia?"
Nino tertawa kecil. "Ngapain aku marah?"
Respons Nino makin memperjelas bahwa dia tidak suka Andin membicarakan pria lain dalam obrolan mereka. Andin tersenyum kecil saat memperhatikan wajah Nino yang berubah masam.
"Aku suka lihat ekspresi kamu sekarang."
Dahi Nino sedikit berkerut. "Emangnya, kenapa dengan ekspresi aku? Kelihatan aneh?"
"Kamu cemburu, kan?" Senyum Andin makin mengembang. Dia menyentuh punggung tangan Nino sebelah kiri karena berada di dekatnya. "Kamu nggak usah takut. Aku nggak akan berpaling ke cowok mana pun. Cuma kamu yang ada di hati aku."
Seketika, hati Nino jadi lega dan hangat setelah mendengar pernyataan tulus dari Andin. Tidak seharusnya, dia merasa cemburu. Cinta Andin padanya sangat besar.
Nino membalas senyum kepada Andin. "Makasih, kamu tetap bertahan sama aku."
Andin tersenyum semringah. Melihat perubahan suasana hati Nino saat membicarakan Aldebaran, dia urung menceritakan soal ayahnya mengundang Aldebaran untuk makan malam bersama mereka di restoran. Bisa-bisa, Nino makin cemburu dan kesal padanya.
Akhirnya, Andin mengganti topik pembicaraan dan melupakan Aldebaran sejenak. Tidak terasa, gedung kampus sudah terlihat. Seperti biasa, Andin turun di persimpangan agar tidak ada yang tahu soal hubungan mereka.
Dari jarak yang agak jauh, dua pasang mata sedang mengawasi Andin yang baru keluar dari Avanza putih dan berjalan seorang diri menyusuri trotoar, sementara mobil itu melaju ke arah kampus.
"Udah lo rekam, belum?" tanya Desi sembari memelankan laju mobil.
Senyum Elsa melebar. "Udah, dong! Berita hangat kayak gini nggak boleh terlewatkan!"
"Eh, jangan di-upload ke mana-mana dulu! Kan, belum cukup bukti!" seru Desi, menahan ponsel Elsa. Dia tahu Elsa aktif bermain media sosial.
Elsa meraih ponselnya lagi. "Lo tenang aja. Gue tahu, kok!"
"Dugaan gue bener, kan? Pak Nino main belakang sama Andin."
"Nggal nyangka, ya, selera Pak Nino rendahan banget! Apa mata dia udah siwer, sampai-sampai nggak bisa bedain mana cewek yang cantik dan yang nggak?"
Desi tergelak dengan sindiran Elsa. "Kayaknya, lo mesti beliin kacamata minus, deh, buat Pak Nino atau lo ganti gaya kayak Andin. Ya, minimal biar lo bisa dilirik sama doi."
Elsa menghadiahi ledekan itu dengan menoyor tangan Desi. "Gila lo! Nggak mungkinlah, gue yang cantik gini harus berubah jadi Andin yang biasa aja. Gue bisa turun pamor!" protesnya dengan ekspresi kesal.
Desi memarkirkan mobilnya. Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan ocehan Elsa. Dia mencolek dagu Elsa yang oval. "Siapa, sih, yang bisa nandingin kecantikan ratu kampus ini? Sekalipun lo nanya ke kaca ajaib, pasti jawabannya lo yang paling cantik."
Kekesalan Elsa langsung lenyap, berganti dengan senyum yang lebar. Dia mencubit pipi Desi saking gemasnya. "Makasih pujiannya, Desi sayang. Lo emang sahabat gue paling the best."
Desi menyentuh kedua pipinya yang terasa nyeri. "Ih, apaan, sih, lo! Blush on gue bisa ilang gara-gara tangan lo!" Kali ini, giliran dia yang kesal.
Elsa membuka seat belt, kemudian melirik Desi yang tengah berkaca dengan cermin rias yang diambil dari dashboard mobil. "Makanya, beli make up itu yang mahalan! Jangan skin care aja yang jutaan, make up juga, dong!"
Desi memasang raut muka yang memelas. "Lo tahu, kan? Gue lagi bokek. Sekali-sekali beliin buat gue. Kata lo, kita ini sahabat."
Elsa menarik napas panjang. "Lo bilang bokek? Duit jajan lo itu lima juta sebulan, Neng. Masa masih kurang?"
Desi sedikit tertawa, hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Gue abis beli tiket konser Idol Boys. Lo tahu sendiri, kan, gue nge-fans banget sama grup itu!" Muka Desi langsung berseri-seri, seperti orang yang sedang jatuh cinta, setiap membahas soal grup idola kesayangannya.
Elsa memutar bola matanya. Dia sudah hafal dengan sosok sahabatnya yang seorang fangirl. Tidak pernah terlewatkan satu hari tanpa fangirling grup Idol Boys. Kalau grup idolanya sedang mengeluarkan album baru, Desi tidak segan-segan menghabiskan sebagian uang jajannya dalam satu waktu hanya untuk membeli satu set album beserta merchandise-nya.
"Iya, ya, gue tahu lo banget! Udah, ah, makin panjang obrolan kita. Nanti kita telat masuk kelas." Elsa keluar lebih dahulu.
"Tungguin gue, Sa!" Desi berlari kecil, menyusul langkah Elsa.
***