Try new experience
with our app

INSTALL

CASTLOVE (TAMAT) 

The times spent with you right now are more precious to me

Cibubur, akhir Maret 2008

 

Haykal Taesano

"OKE, kamu boleh ikut mamamu sampai lulus SMA, setelah itu kembali tinggal sama Papa. Jangan lupa soal janji itu, ya.”

Ungkapan berat milik Hengky Taesano, seorang komposer, produser musik papan atas, sekaligus menyandang gelar abadi sebagai papanya, menggaung di kepala. Keputusan final yang membuat dirinya kini akhirnya duduk di ruang makan berbeda dengan sang papa, menyantap sarapan bukan bersama keluarga seperti biasanya. Hanya berdua. Dan di hadapannya kini adalah Lusia Milana, seorang perancang busana ternama, sosok mama yang selama dua tahun ini ia rindukan.

“Gimana kabar Arkhan sama Sherin, Kal?” tanya sang mama begitu pandangan Haykal mengitari rumah yang masih asing ditempatinya. Dan matanya tertumpu pada sebuah foto berbingkai kayu cokelat yang dipajang di ruang tamu.

“Kak Arkhan baik-baik aja, Ma. Kemarin masih bisa debat sama Papa soal tempat kuliah, jurusan, dan lain-lain. Kalau Sherin, dia makin bawel dan centil.” Haykal menyeringai. Matanya masih tak bisa lepas dari foto berbingkai cokelat itu; foto ia bertiga saling berpelukan dengan saudara kandungnya dalam satu frame. “Tapi, dia makin cantik. Makin mirip Mama.”

Lusia tersenyum. Guratan tipis di wajah seiring dengan jumlah usia, samar-samar terlihat. “Kalau sama Bunga? Mama pernah liat kamu diliput infotainment sama dia. Kapan dikenalin ke Mama secara personal?”

Haykal tertawa kecil. “Nanti lah, Ma. Orang, dianya juga masih di Berlin. Nggak tau kapan pulang. Lagi pula kan Mama sering ketemu dia kalau ada acara fashion show.”

Lusia mengedikkan bahu sambil menjengitkan alis. “LDR dong?” Melihat Haykal hanya tersenyum simpul, Lusia menambahkan, “Mama lebih sering liat Arkhan atau Sherin yang diliput infotainment, kamunya jarang. Masih sering berantem?”

Haykal menggeleng. “Justru kami lebih sering quality time bareng. Tapi, aku yang paling berusaha banget biar nggak kena wawancara reporter.” Alis Haykal terangkat sebelah dan terkekeh bangga. “Kadang kami main ke studio Papa. Sambil berharap, ada Mama juga di situ.” Ada Mama, bukan Tante Gita.

Senyum di wajah Lusia mengendur, dan Haykal tahu ucapannya tadi akan mencekat suasana. Tapi, inilah yang ingin ia katakan, sejak dua tahun lalu ia pendam.

Sang mama menghela napas dan memandang putra tengahnya seraya tersenyum bijak. “Selesai makan, nanti Mama antar ke sekolah. Oke?”

Suasana SMA Merdeka yang riuh membuat dahi Haykal mengernyit. Pikirannya terbagi pada dua kalimat tanya: sekolah ini memang biasanya ramai atau baru kali ini ramai karena ia dan mamanya datang? Ah, sebenarnya kemungkinan kedua ini terlalu narsis, sih. Tapi, bisa aja, kan? Pasalnya, asumsi itu seakan didukung ketika ia melirik sekitar dan mendapati beberapa anak yang bertingkah aneh. Dari yang terlihat salah tingkah, diam-diam tak peduli padahal kelihatan sekali sedang membahas sesuatu sambil meliriknya, sampai terang-terangan tersenyum dan menyapa ia dan mamanya.

Haykal tertawa kecil. Ia akan mentolerir kalau hanya sebatas senyam-senyum dan menyapa sedikit. Kalau sampai anarkis hingga bawa wartawan dari media sana-sini, kadar risihnya—se-terlatih apapun ia sebagai anak dari pasangan public figure yang disorot media—pasti akan meluap dan membuatnya ingin sekali punya kekuatan invisible yang bisa menghilang kapan saja.

Dan kayaknya, rasa khawatir itu berlebihan. Pasti ini efek semalam nonton film thriller! Lagi pula, ini kan sekolah, bukan mall di pusat Jakarta.

Seusai membicarakan ini-itu di ruang kepala sekolah, Pak Walid—kepala sekolah SMA Merdeka—mengantarkannya dan sang mama ke beberapa fasilitas sekolah terdekat. Mulai dari tiga ruang laboratorium di lantai satu yang bersebelahan dengan perpustakaan, lalu beberapa kelas di seberangnya, dan berakhir di ruang-ruang ekskul yang berkumpul di lantai tiga. Kalau bisa dibilang, sebenarnya sekolah barunya ini nggak semewah dan sekeren sekolah yang dulu. Mungkin luasnya pun separuh dari sekolah lamanya. Tapi penataan gedung sekolah ini menarik. Di sudut dekat kelas paling ujung ada kantin dengan dominasi warna merah-putih, mungkin sebagai sign sesuai dengan nama sekolah. Dan spot yang paling mencuri perhatiannya adalah taman kecil berhias kolam ikan, lalu dipagari oleh batu-batu bulat besar berwarna merah dengan jarak sekitar dua meter dari kolam, yang letaknya di dekat perpustakaan. 

Setelah berkeliling lantai tiga, mereka kembali ke lantai satu. Haykal mencuri pandang ketika melewati ruang guru yang berada di sudut lorong; pada seorang gadis berkacamata dengan rambut yang digulung dan dijepit, sedang berdiri memeluk tumpukan buku di salah satu kubikel meja guru. Wajahnya datar, seperti tak merespons guru yang tengah menerangkan sesuatu kepadanya. Sekitar satu menit kemudian, gadis itu mengangguk dan mohon undur diri. Tepat pada saat sebelum gadis itu keluar dari ruang guru, mereka bertemu pandang, dan Haykal tertangkap basah diam-diam memperhatikannya.

Tapi gadis itu seakan tidak peduli. Buktinya, setelah mata mereka bertemu tadi, gadis itu malah dengan cepat melengos pergi. Padahal Haykal sedang memutar otak untuk berkelit.

“Kal?” panggil Lusia, menghentikan perhatiannya pada gadis berkacamata itu.

“Eh. Iya, Ma?”

“Lihat apa?” Lusia mengedarkan penglihatan, mencari tahu yang menjadi fokus putranya.

Haykal menggeleng sambil menyeringai. Digaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Kisah pertama di sekolah baru yang memalukan.

“Pak Walid tadi tunjukin kelas kamu.”

“Oh-eh? Kelas saya di mana jadinya, Pak?” tanya Haykal kepada sang kepala sekolah-yang-ia-harap-tidak-jengkel-karena-murid-barunya-tidak-menyimak.

Bersyukurlah, bapak kepala sekolah itu tersenyum maklum. “Di sini.” Pak Walid berjalan beberapa langkah, dan berdiri di depan kelas dua pintu. “Kelas 11 IPS 1. Kamu bisa masuk mulai sekarang.”

Kepala Haykal mengangguk. Lalu, matanya kembali melirik pada halaman sekolah.

“Ada yang mau ditanya lagi?”

“Tanya?” Alis Haykal terangkat. “Hmm, kalau yang itu….” telunjuknya mengarah pada seseorang di taman sekolah. Pada gadis berkacamata tadi, yang kini sedang duduk di salah satu batu bulat besar dan mencoret sesuatu di bukunya. “Kalau cewek yang di situ, kelasnya di mana, Pak?”

Pertanyaan yang mengundang kerutan dahi di wajah sang mama dan kepala sekolah.