Contents
Bite the Bullet (TAMAT)
SATU
Semester kedua baru saja berjalan dua minggu, tapi Nesia sudah harus berurusan dengan masalah. Dia kehilangan kunci lokernya. Ya, setiap mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Pranata Bhakti punya loker pribadi, meski loker itu adalah model lama yang masih menggunakan kunci alih-alih kode rahasia.
Nesia sudah mencari kunci itu ke mana-mana. Tetap saja kunci itu tidak ketemu. Terpaksalah dia harus berurusan dengan Bu Marta, petugas di bagian perlengkapan yang terkenal sangat menyebalkan. Bukan lantaran Bu Marta galak atau semacamnya, tapi petugas satu itu punya kebiasaan memperumit hal-hal yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah.
“Bagaimana, Bu?” Nesia bertanya, sedikit gugup. Jemari tangan kanannya tak henti memilin gelang rajut biru tua yang melingkari pergelangan tangan kirinya. “Saya boleh pinjam kunci cadangannya, kan?”
“Dhanesia Nismara.” Bukannya menjawab pertanyaan Nesia, Bu Marta malah mengeja nama Nesia di kartu mahasiswanya. Sesekali matanya mendelik dari balik kaca mata yang tersangkut malas di hidung. Sedikit membuat kesal, tapi juga agak menciutkan nyali. “Jurusan apa kamu?”
“Agrotek, Bu,” jawab Nesia cepat. Bu Marta mengamati Nesia sekali lagi, agak membuat khawatir. Nesia tidak mau ‘siapa dirinya’ dikenali. Baru beberapa bulan dia jadi mahasiswa di kampus ini. Jadi, wajar kalau belum banyak tahu siapa dia. “Prodi Hortikultura.”
Diam. Nesia menunggu petugas itu kembali bicara. Tapi hingga beberapa detik kemudian, tak ada sepotong suara pun yang keluar. Bu Marta masih lekat memandangi kartu mahasiswa di tangannya. Entah apa yang tengah dia cermati.
“Jadi, boleh, kan, Bu?” Nesia memastikan penuh harap.
“Coba kamu cari dulu.”
Ya Tuhan. Rasanya Nesia ingin mengamuk di depan perempuan berumur setengah abad itu. Dari tadi dia sudah menjelaskan. Dia sudah mencari kunci lokernya ke mana-mana. Di semua ruangan yang ada di rumahnya, di kelas-kelas yang sudah dia singgahi, di laboratorium, di perpustakaan, bahkan di kantin. Setelah semua perjuangan itu pun, dia tetap tidak berhasil menemukan kunci itu. Ke mana lagi dia harus mencari?
“Bu, saya sudah cari ke mana-mana.” Nesia mencoba sabar, padahal dia sudah sangat geram. “Di rumah, di kampus, tetap tidak ketemu.”
“Cari lagi yang cermat.” Dengan entengnya Bu Marta malah menyuruh Nesia mencari lagi, sambil mengangsurkan kartu mahasiswa kembali pada Nesia.
Nesia terdiam. Masih kesal. Orang-orang memang tidak membesar-besarkan perkara kegemaran Bu Marta merumitkan sesuatu.
Lalu, belum juga Nesia tahu harus membujuk Bu Marta dengan cara apa lagi, petugas itu memberikan opsi lain pada Nesia. “Atau, kalau mau, kamu bisa langsung minta ke Pak Desmawan.”
Masalahnya, Bu Marta akan terlihat seperti bayi kucing jika dibanding dengan Pak Desmawan.
***
Yunan memandangi jam tangannya. Sudah pukul dua belas kurang lima menit. Seharusnya Gema sudah menunggunya di depan gerbang sekolah dasar ini. Apa jangan-jangan Bagas sudah mendahuluinya? Tidak mungkin. Tadi pagi Yunan sudah berpesan pada Gema agar jangan mau dijemput Bagas. Gema sudah berjanji akan menunggunya datang. Dan, dia yakin adik laki-lakinya itu tidak akan mengingkari janjinya.
Sekali lagi Yunan melongok jam tangannya. Waktu sudah maju sepuluh menit lagi. Beberapa gerombol murid berseragam merah putih keluar dari gerbang sekolah itu. Tak ada Gema di antara mereka.
“Lagi nungguin siapa, Mas?” Seorang pria paruh baya berseragam satpam bertanya pada Yunan. Entah sejak kapan pria itu sudah berada di tempat Yunan memarkir motor.
“Eh… saya nungguin adik saya, Pak,” jawab Yunan sedikit terkejut.
“Siapa namanya?”
“Gema, Pak.” Mata Yunan masih sibuk melirik ke arah gerbang, berharap adiknya tiba-tiba muncul di sana.
“Oh, Gemara Agung, bukan?”
Fokus Yunan langsung teralih pada laki-laki itu begitu mendengar nama lengkap adiknya disebut. “Benar, Pak. Bapak lihat dia?”
“Kalau Dik Gema sudah pulang dari tadi,” jawab satpam itu.
“Sendiri?” Yunan tiba-tiba merasa bodoh begitu pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Gema baru kelas 2 SD. Mustahil dia berani pulang sendiri. Satu-satunya opsi yang mungkin adalah seseorang telah menjemputnya. Kemungkinan terbesar orang itu adalah Bagas. Yunan benar-benar tidak menyukai kemungkinan itu.
“Nggak, lah, Mas. Dik Gema mana berani pulang sendiri. Dia dijemput Mas Bagas, yang biasa jemput dia.”
Sumbu kemarahan Yunan langsung terbakar mendengar jawaban itu. Sial! Kenapa Gema tidak mau mendengarkan kata-katanya, sih? Kenapa dia tetap saja mau dijemput Bagas? Tidakkah dia tahu kalau Yunan sedang mencoba menyelamatkan hidupnya dari pengaruh Bagas?
Kemarahan Yunan nyaris sampai di ubun-ubun ketika dia sadar satpam itu tengah lekat mengawasinya, seolah hendak memastikan sesuatu. “Ngomong-ngomong, Mas-nya ini apanya Mas Bagas, ya?”
Kemarahan Yunan makin memuncak mendengar pertanyaan satpam itu. Dia paling benci status kekerabatannya dengan Bagas diungkit. Sejak beberapa hari terakhir ini, dia sangat membenci keadaan itu. Dia membenci Bagas, jijik dan menyesal harus berbagi talian darah dengan seseorang seperti Bagas. Tapi sebesar apa pun kebencian yang kini bersarang di dadanya, dia harus menjawab jujur pertanyaan pria itu. Dia tidak ingin kebohongan justru akan membuatnya diusir setiap kali hendak menjemput Gema.
Akhirnya Yunan menghela napas, mencoba sedikit meredam amarahnya. Lalu, kalimat sialan itu keluar dari mulutnya. “Saya adiknya Bagas, Pak.”
***
Wakil Dekan II.
Tulisan itu terpasang di pintu ruangan tempat Nesia sedang berada sekarang. Dia duduk di kursi tempat biasa sang wakil dekan menerima mahasiswa yang menghadap kepadanya. Di depan Nesia, duduk pria berumur lebih dari empat puluh lima tahun. Dia adalah Pak Desmawan.
“Meskipun kamu anak Papa, Papa nggak bisa ngasih kamu perlakuan spesial,” ujar Pak Desmawan.
Ya, pria itu tidak salah ucap. Dia memang Papa Nesia.
“Aku nggak minta perlakuan spesial dari Papa,” jawab Nesia. “Aku cuma mau pinjam kunci loker cadangan. Banyak benda penting yang aku tinggal di sana. Beberapa buat bahan praktikum besok.”
Perlakuan spesial. Satu semester kemarin Nesia sudah sering mendengar beberapa orang bergunjing tentang putri wakil dekan dan segala hak istimewanya, yang sebenarnya tidak pernah ada. Di sini, tidak memandang siapa papanya, Nesia tetap mahasiswa biasa. Dia tidak ingin memberi bukti kebenaran akan segala gunjingan itu.
“Aku bakal ikut prosedur, apa pun itu,” lanjut Nesia. Kekesalannya sekarang lebih besar daripada yang dia rasakan pada Bu Marta tadi.
“Oke,” ujar Papa akhirnya. “Papa bikinin memo ke Bu Marta buat izinin kamu pinjam kunci loker cadangan, tapi dengan satu syarat.”
“Syarat?” Nesia mulai mencium adanya ketidakberesan di sini. “Syarat apa?”
“Semester ini kamu harus ikut salah satu UKM.” Tentu saja itu syarat dari Papa. “Terserah UKM mana pun yang kamu mau.”
Entah sampai kapan Papa akan terus merongrong Nesia untuk ikut unit kegiatan mahasiswa di kampus ini? Padahal, Papa tahu. Semester depan dia akan pindah dari fakultas ini. Kalau bukan karena keinginan Papa, Nesia tidak akan pernah memilih Agroteknologi di daftar pilihan jurusan. Dia masih ingin mengejar apa yang beberapa bulan lalu gagal dia dapatkan, masuk Fakultas Farmasi di sebuah universitas negeri. Baginya, setahun ini hanyalah pengisi waktu luang. Karena itu, dia tidak ingin terlalu terlibat dalam banyak kegiatan di kampus ini.
“Oke, deh.” Akhirnya, Nesia menyetujui syarat Papa. “Tapi, Papa nggak boleh ikut campur urusan pilihan UKM ini.”
Papa mengangguk. “Deal!”
***
Belum pernah Nesia merasa begitu lega mendengar bunyi klik ketika lokernya berhasil terbuka, bahkan suara keriut engsel yang selalu membuatnya ngilu pun tiba-tiba menjelma irama asing nan merdu. Irama yang mampu mengirimkan rasa lega ke sepenjuru dada. Rasa lega itu kian membanjir tatkala matanya menemukan benda paling penting dalam loker itu. Bukan tugas atau bahan praktikum seperti yang dia katakan pada Papa. Benda-benda itu memang ada di sana, tapi bukan yang terpenting di antara semua hal. Sekali lagi, karena ini bukan kampus impiannya, dia tidak pernah menempatkan urusan kampus sebagai subjek paling penting dalam hidupnya. Benda itu adalah sebuah buku harian yang tebalnya tak sampai seratus halaman.
Nesia sempat khawatir seseorang entah bagaimana berhasil menemukan kunci lokernya dan mengetahui keberadaan buku bersampul hijau tua itu. Kalau orang lain sampai tahu isinya, kelar hidup Nesia.
Pasalnya, dalam buku harian itu terekam semua rahasia kisah kasih tak sampai yang pernah Nesia rasakan. Di sana tertulis bagaimana dia memendam keras cintanya untuk Haikal, kakak kelasnya di SMA dulu. Bagaimana dia mendamba Yoshi, mantan kapten tim sepak bola SMA-nya yang kini sudah kuliah entah di mana. Juga bagaimana dia diam-diam mencuri pandang ke arah Wira, pahlawannya, juga salah satu teman sekelasnya sekarang. Membaca nama-nama itu selalu menimbulkan perasaan berbunga yang sulit dijelaskan.
Nesia sudah hendak meraih buku hariannya saat dia menyadari ada satu benda asing yang tidak dia miliki sebelumnya. Benda itu memang tidak tampak terlalu istimewa. Hanya segulung kertas yang diikat dengan pita warna kuning keemasan. Letaknya yang berbaur di antara setumpuk buku teks dan berjilid-jilid laporan praktikum, membuatnya tak langsung menyadari keberadaan benda itu.
Terdorong rasa penasaran, Nesia mengambil gulungan kertas itu. Membuka pita pengikatnya, dia mendapati barisan pesan tertulis di atas kertas itu. Sebuah pesan dalam tulisan tangan yang begitu indah, seolah setiap hurufnya ditulis dengan kesungguhan hati yang begitu kuat.
Nesia membaca pesan itu.
Hening. Dia mencoba mencerna isi pesan itu, yang seharusnya cukup sederhana. Perlahan, detak jantungnya melonjak hingga menjadi sedemikian cepat. Dia merasakan pipinya sedikit memanas. Segumpal bahagia pun turut merayap, membungakan hati. Tanpa bisa dia tahan, bibirnya mengukir segurat senyum samar.
Sekali lagi, Nesia membaca tulisan dalam lembaran kertas di tangannya, memastikan maksud kalimat-kalimat sederhana itu.
Sudah lama sebenarnya aku suka sama kamu. Rasanya menyebalkan cuma bisa mandang kamu dari jauh, di sela-sela pelajaran atau di tengah kesibukan praktikum. Sayangnya, aku belum punya cukup keberanian mengatakan ini secara langsung. Aku cuma berharap, suatu hari aku bakal punya kesempatan untuk itu. Tapi, kalau kamu penasaran siapa aku, aku kasih satu petunjuk kecil. Aku ikut gabung di Vigor.