Try new experience
with our app

INSTALL

Bite the Bullet (TAMAT) 

TUJUH

Kegembiraan Nesia dua hari lalu masih bertahan hingga sekarang. Justru, rasanya kegembiraan itu semakin kuat saja setiap detiknya. Apalagi kemarin Wira kembali membuat hati Nesia dipenuhi rekah bunga hanya lewat balasan sebuah pesan singkat.

 

From: Pandu Wira

10:46

Itu juga hadiah dari gue buat lo.

Biar lo nggak bosan lihat bayam yang hijau melulu.

 

Itulah jawaban pesan singkat Wira yang membuat hati Nesia serasa dipenuhi mekar bunga. Saat itu, Nesia baru saja menanyakan tentang saset benih yang salah masuk ke kantong belanjaannya. Sesaset benih itu adalah benih bayam merah, yang selama ini tidak pernah Nesia ketahui ternyata ada di dunia ini.

Bahkan, pesan singkat dari Yunan yang datang tak lama setelahnya pun tidak mampu menyusutkan kadar bahagia di hati Nesia. Yunan menyuruh Nesia untuk menyiapkan benih yang akan dia tanam hari ini. Kelompok mereka akan menanam tanaman masing-masing nanti sepulang sekolah. Bukannya kesal dengan pesan bernada memerintah itu, Nesia malah tidak sabar menanti acara tanam-menanam itu. Dia ingin segera bisa berbagi kegiatan lagi dengan Wira, bukan hanya mencoba mengintip wajahnya di sela-sela jam perkuliahan. 

Begitu kelas di hari Senin yang terasa panjang selesai, Nesia langsung minta maaf pada teman-temannya karena dia tidak bisa pulang bersama hari ini. Ada acara Vigor di rumah kaca. Si kembar sempat menuduh Nesia berbohong, pasalnya Vindi yang juga anggota Vigor tidak punya agenda yang sama. Setelah menjelaskan bahwa dia dan Vindi terpisah pada kelompok yang berbeda, si kembar mengangguk mengiyakan meski masih terlihat kesal.

Nesia langsung berlari ke rumah kaca. Dia sudah tidak sabar ingin menikmati momen bersama Wira lagi. Sepanjang pelajaran tadi, Nesia berkali-kali berusaha mencuri pandang ke arah Wira. Sayangnya, posisi tempat duduknya agak tidak mendukung. Lehernya bisa sakit kalau harus menoleh ke belakang setiap beberapa menit sekali. Karena itu, dia ingin memanfaatkan waktu di rumah kaca sebaik mungkin. Meminta Wira membantunya menanam benih yang mereka beli bersama sepertinya bisa menjadi alasan yang bagus.

Sayangnya, sesampainya di rumah kaca, Nesia tidak menemukan Wira di mana pun. Hanya ada Yunan dan anggota kelompok yang lain.

Gelembung kecewa pecah di dada, menghujani rekahan bunga yang tiba-tiba berubah layu. Tanpa Wira, kegiatan di rumah kaca menjadi tidak begitu menarik. Warna-warni anggrek dan mawar pun tak berhasil menyuntikkan semangat. Rasa kecewa sudah terlanjur meraja. Lagi, daya magis cinta yang mengacaukan mulai bekerja, membalik perasaan manusia sebegitu cepatnya. Sedetik yang lalu, dada Nesia masih penuh semerbak bunga bahagia. Sedetik kemudian, rekahan bunga itu rontok oleh hujan kecewa, lantas tersapu angin nelangsa.

Dengan sisa semangat yang tak seberapa, dia bergabung dengan teman-teman sekelompoknya. Dia pun terpaksa meminta bantuan Yunan untuk mengajarinya menanam. Dengan lagak menggurui yang biasa, Yunan menjelaskan cara menanam benih dengan benar.

“Karena ukuran benih bayam kecil banget, lo tinggal tabur aja di atas media,” ujar Yunan mulai menjelaskan. “Satu polibag lo isi sepuluh sampai lima belas benih aja. Kalau terlalu banyak, nanti tumbuhnya jelek. Nyebarnya diratain biar nggak menggerombol.”

Nesia mengangguk, lalu membuka kaleng benihnya. Dia cukup terkejut mendapati betapa kecilnya benih bayam. Tadinya, saat Yunan bilang benih bayam berukuran kecil, dia membayangkan benih itu seukuran biji jambu biji. Nyatanya, biji jambu biji akan terlihat seperti raksasa di tengah butir-butir halus berwarna hitam yang disebut benih bayam itu.

Nesia mengambil sejumput kecil benih dan menaruhnya di telapak tangan, lalu menghitungnya. Dalam sejumput kecil itu, ada lebih dari lima belas benih, cukup untuk satu polibag. Nesia menaburkan secara merata semua benih di telapak tangannya. Dia mengulangi cara itu hingga sepuluh dari lima belas polibag jatahnya sudah berhasil ditanami. Lima polibag sisanya, dia tanami dengan benih bayam merah dari Wira. Setidaknya, meski Wira tidak ikut menanam hari ini, Nesia ingin membuat Wira kagum padanya karena telah berhasil menumbuhkan benih-benih hadiah itu.

“Kalau udah, lo tutup pakai tanah halus,” ujar Yunan lagi. Nada suaranya masih sesuperior sebelumnya. Dia menaburkan segenggam tanah halus ke atas polibag yang baru Nesia tanami, memberi contoh. Nesia mengikuti contoh dari Yunan. “Jangan terlalu tebal. Terus, jangan lupa disiram. Untuk berkecambah, benih cuma butuh air, belum butuh apa-apa. Pakai semprotan aja dulu nyiramnya biar benihnya nggak lari ke mana-mana.” Yunan lanjut menjelaskan panjang lebar tanpa diminta, sebelum pergi meninggalkan Nesia begitu saja.

Nesia menurut saja apa yang Yunan katakan. Dia cuma ingin urusan tanam-menanam hari ini segera berakhir dan berharap hari esok akan lebih berpihak pada perasaannya.

Nesia masih sibuk menyemprot benih-benihnya ketika Yunan tiba-tiba sudah berjongkok kembali di sampingnya. Saking tiba-tibanya, Nesia nyaris melonjak berdiri.

“Lo lagi ngapain?” tanya Nesia, bingung dan kaget.

“Ngawasin lo,” jawab Yunan, tak sedikit pun merasa apa yang dia lakukan itu terasa aneh. “Cuma mastiin lo nggak bakal ngacak-acak tanaman bayam lo sendiri.”

Nesia makin bingung. Sedikit mengerutkan kening. “Emang orang yang baru sekali nanam benih sering ngelakuin hal kayak gitu?” tanya Nesia kesal. Yunan menggeleng. “Terus?”

“Dari tadi gue perhatiin, wajah lo kayak lagi kesel banget,” jawab Yunan, membuat kening Nesia mengerut makin dalam. “Takutnya nanti lo tiba-tiba marah terus ngacak-acak polibag lo sendiri.”

Nesia tak langsung menjawab. Benaknya tiba-tiba sibuk mencerna kata-kata Yunan. Yunan memperhatikan Nesia sedari tadi? Apa dia tidak salah dengar? Ada apa dengan Yunan hari ini? Kenapa cowok itu tiba-tiba menjadi perhatian seperti itu?

“Kebanyakan itu nyemprotnya,” tegur Yunan sembari bangkit, menyadarkan Nesia kembali pada kenyataan. “Polibag lo banjir.”

Nesia melihat polibangnya yang sudah tergenang air. Melihat hal itu, rasa kesalnya tiba-tiba memuncak. Dia tidak benar-benar yakin apa yang memicu kekesalannya. Apakah kata-kata Yunan, polibag berisi tanah becek di depannya, atau ketidakhadiran Wira? Entahlah. Yang jelas, rasanya Nesia ingin menginjak-injak polibag sialan itu, melampiaskan kekesalannya. Tapi kalau dia melakukannya, hal itu hanya akan membuat dugaan Yunan menjadi kenyataan.

Sial! Fokus. Cepat selesaikan dan lekas pulang.

***

Saat harapan yang terlalu tinggi gagal tergapai, rasa kecewa menjelma alat siksa yang benar-benar nyata.

Tadinya Nesia berharap sore ini akan kembali berakhir bahagia, namun yang terjadi justru sebaliknya. Sore ini berbuntut kecewa dan rasa kesal yang menjelaga. Lain kali, mungkin Nesia harus menjaga harapannya agar tidak melambung terlalu tinggi.

Begitu urusan tanam-menanamnya selesai, Nesia langsung pamit pada teman-teman sekelompoknya. Tanpa menunggu persetujuan mereka, dia keluar rumah kaca dan bergegas menuju ruang loker. Sebelum pulang, dia ingin menaruh sisa benih bayamnya. Dia tidak ingin membawa benih itu pulang. Siapa tahu nanti dia membutuhkannya lagi.

Dia mengeluarkan kunci cadangan lokernya. Sudah seminggu lebih kunci itu dia pinjam. Sudah waktunya dikembalikan, tapi kunci aslinya belum ketemu juga sampai sekarang. Mungkin dia perlu membuat duplikatnya.

Nesia memasukkan kunci itu pada lubangnya, memutarnya hingga terdengar bunyi klik halus, lalu membuka pintu lokernya dengan sedikit tergesa. Lagi-lagi, dia belum sempat melakukan apa pun ketika matanya menangkap adanya benda asing kembali disusupkan ke dalam lokernya. Berbeda dengan sebelumnya. Kali ini benda-benda itu terlihat begitu mencolok di antara barang-barang yang posisinya tak berubah sedikit pun.

Alih-alih gulungan kertas berpita, benda kali ini berupa sekumpulan batu pipih bergambar warna-warni. Nesia memandangi batu-batu indah itu. Dalam sekali lihat, dia berhasil mengenali gambar-gambar yang terlukis di atas batu pipih itu. Dia mendapati tokoh-tokoh dari film animasi Disney favoritnya, Beauty and The Beast, terlukis indah di sana. Belle dengan setangkai mawar merah, Beast yang tengah menyeringai canggung, Lumiere si tempat lilin yang tengah meniup salah satu api di lilinnya, Cogsworth yang tengah membenarkan letak jarum jam di wajahnya, dan Mrs. Potts yang tengah menuang minuman hangat ke Chip. Lima batu itu benar-benar dilukis dengan indah dan detail.

Bagaimana orang ini bisa tahu film kesukaan Nesia? Oh, ya. Media sosial, mungkin. 

Nesia sudah hendak mengambil batu-batu itu ketika dia menyadari sebuah kertas tertindih di bawah batu-batu itu. Dia mengambil kertas itu dan membaca pesan dalam tulisan tangan yang sama indahnya dengan yang tertulis di gulungan kertas berpita beberapa waktu lalu.

Sekadar hadiah keci.

Semoga bisa bikin hari-harimu menjadi lebih indah.

Seganjal rasa aneh tiba-tiba menyelusup. Siapa sebenarnya orang yang melakukan ini? Tidak mungkin Yunan. Sesorean ini Yunan ada di rumah kaca bersamanya. Kalau begitu, apa mungkin Wira? Hati Nesia ingin berpegang pada dugaan itu. Tapi, anehnya dia tidak bisa. Kemungkinan itu sama sekali tak membuatnya bahagia. Yang ada justru rasa khawatir berlebihan.

Entah kenapa, Nesia merasa ada yang tidak beres dengan semua ini.

***

Tangan Yunan sibuk memompa penyemprot, sementara matanya lekat memandang tunas-tunas kecil yang baru tumbuh di polibangnya. Siapa pun yang melihatnya pasti akan mengira Yunan sedang sibuk memikirkan tunas-tunas kecil itu. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah benaknya sedang kusut memikirkan keinginannya keluar dari Vigor dan mulai fokus mencari pekerjaan paruh waktu demi rencananya untuk bisa mandiri. Dia tidak mungkin bisa mendapat pekerjaan paruh waktu kalau masih tetap sibuk di sini, menghabiskan waktu selepas kuliah hanya untuk menyiram dan memupuk tanaman.

“Bisa-bisa nggak jadi tumbuh itu benih kalau lo pelototin terus kayak gitu,” ujar seseorang tiba-tiba, menyela benak Yunan yang kacau. “Bisa-bisa mereka malu kalau terus dilihatin kayak gitu.”

Pikiran Yunan pecah. Dia menoleh ke sumber suara, Wira. Menghela napas, Yunan sepenuhnya mengabaikan tunas-tunas mungil di hadapannya.

“Wir, kira-kira Mas Pram bakal marah nggak kalau gue keluar dari Vigor?” tanya Yunan pada satu-satunya manusia di rumah kaca ini selain dirinya.

Wira langsung melotot. Jelas-jelas terkejut. “Lo pengin keluar? Mau ngapain?”

Yunan bingung. Apa dia harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Semuanya? 

Tidak. Belum saatnya.

“Gue pengin kerja part-time,” jawab Yunan, akhirnya. Ini adalah kalimat jujur terakhir yang mungkin akan dia katakan soal ini. Pertanyaan lanjutan dari Wira mungkin akan dia jawab dengan kebohongan.

“Kenapa?” cecar Wira lagi. “Usaha abang lo nggak bangkrut tiba-tiba, kan? Perasaan, kemarin gue lihat Chocolist masih ramai aja, tuh.”

Ya, selama ini Wira memang sudah tahu banyak hal soal kehidupan keluarga Yunan, termasuk masalah keuangan keluarga yang benar-benar bergantung pada Bagas. Jadi, wajar kalau dia berpikiran usaha Bagas bangkrut saat tiba-tiba Yunan mau bekerja paruh waktu.

“Bukan soal itu. Gue cuma pengin belajar mandiri aja. Lo pasti ngerti. Umur abang gue udah hampir 30 tahun. Mungkin bentar lagi dia bakal nikah.” Yunan meragukan hal ini akan terjadi, tapi demi kebohongannya yang paripurna, dia perlu mengatakan ini. “Sehabis dia nikah, mungkin dia bakal ngutamain keluarga barunya. Gue harus siap-siap kalau hal itu terjadi. Gue bakal jadi laki-laki tertua di keluarga gue habis abang gue punya keluarga sendiri.”

“Gue yakin abang lo nggak bakal kayak gitu,” sangkal Wira. “Gue tahu dia sayang sama keluarganya. Bahkan gue bisa lihat gimana sayangnya dia ke lo sama Gema.”

Ada letupan amarah yang tidak Yunan duga akan muncul tiba-tiba, membuatnya terdiam untuk beberapa saat. Dia butuh waktu untuk meredam perasaan itu agar tak tampak dalam kata-katanya. Kalau letupan amarah itu sampai mempengaruhi kata-katanya, mungkin Wira akan semakin curiga. Dia tidak perlu memancing kecurigaan yang hanya akan membuatnya sibuk memikirkan kebohongan-kebohongan yang lain.

“Oke, atau gini,” ujar Wira lagi sebelum Yunan mampu kembali berkata-kata. “Anggap aja gue setuju sama alasan lo buat belajar mandiri. Terus apa lo udah tahu mau part-time di mana? Lowongan part-time itu nggak banyak.”

“Gue lagi usaha nyari,” jawab Yunan jujur. Benar, dia memang belum mendapatkan satu informasi pun soal lowongan kerja paruh waktu, tapi dia akan terus berusaha mendapatkannya.

“Kalau gitu, sebaiknya lo jangan bilang apa-apa dulu ke Mas Pram,” saran Wira kemudian. “Minta izin keluarnya kalau lo udah fix dapat aja. Jadi kalau nanti kena marah, lo bisa sekalian keluarnya. Tapi, saran gue sih, lo nggak usah keluar. Kalau bisa cari kerjanya yang nggak bentrok sama jadwal di sini.”

“Gue juga penginnya yang kayak gitu kalau ada,” jawab Yunan penuh harap. “Semoga aja ada.”

Sejenak, Yunan dan Wira kembali sibuk dengan kerjaan masing-masing. Yunan dengan semprotan airnya, Wira dengan benih-benih kubis yang dia beli beberapa hari lalu. Dia baru sempat menyemainya. Dia tidak sempat ikut acara menanam bareng anggota kelompok yang lain.

“Oh, iya, Yu.” Wira memecah hening, tiba-tiba. “Gue udah ikutin saran lo kemarin.”

Yunan menoleh, bingung. “Saran gue yang mana?”

“Yang soal deketin cewek itu.” Wira tersenyum kikuk.

“Oh, yang itu.” Yunan kembali menyemprotkan air pada tunas-tunas kecil di polibagnya.  “Terus?”

“Beberapa hari lalu gue ajak dia jalan-jalan.”

“Dan?”

“Kayaknya dia emang suka sama gue juga.” Senyum kikuk Wira makin lebar.

“Kan udah gue bilang,” balas Yunan kembali memandang Wira. Melihat senyum bahagia sahabatnya, sulit untuk tak merasa ikut bahagia. “Terus, langkah lo selanjutnya mau apa?”

“Gue sih penginnya nembak dia,” jawab Wira tampak tak yakin. Matanya memijarkan sebentuk keraguan. “Menurut lo, kecepetan nggak kalau gue nembak dia minggu ini?”

“Nggak,” dukung Yunan mantap. “Kalau bisa malah dicepetin aja. Daripada kena samber orang, entar.” Yunan sangat bersemangat mengompori. Dia yakin Wira dan cewek itu sama-sama saling suka. “Lagian, lo sendiri kan udah lihat tanda-tanda kalau dia juga suka sama lo. Mau nunggu apa lagi? Nunggu tomat sama sawi bisa kawin silang sendiri?”

“Iya, iya, gue ngerti.” Wira menjawab dengan sedikit nada kesal. Tapi, tetap saja tidak bisa disangkal bahwa raut bahagia masih mendominasi wajahnya. “Gue tembak dia secepatnya.”

“Bagus.” Yunan mengerling jail. “Kalau butuh bantuan, gue siap bantu.”

“Nggak butuh.”

Lalu Yunan tertawa lepas. Benar-benar lepas, seolah dia tidak sedang dipusingkan oleh berbagai permasalahan di rumahnya.