Contents
Seberapa Pantas (TAMAT)
5. Perempuan Bermata Bening
Pagi sekali, Angga sudah rapi. Mengenakan kemeja hitam polos lengan panjang yang digulung, hingga seperempat tangannya. Dipadukan dengan celana jins hitam. Dengan rambut mirip artis korea membuat wajahnya semakin terlihat segar. Andai saja rambutnya tidak gondrong, pastilah terlihat lebih rapi. Namun, begitu saja cukup membuat semua yang mengenalnya kaget, karena tidak biasanya Angga memakai pakaian serapi itu.
Angga duduk di kursi ruang tengah sambil bersiul-siul. Di tangannya tampak map berwarna hijau. Bu Sur menatapnya penuh heran. Bahkan, saking herannya Bu Sur sampai ternganga seperti buaya yang sedang berjemur dan ketika mulutnya sudah penuh dengan lalat, ia pun menutup kemudian menelan lalat-lalat itu, serta tidak lupa memberinya sedikit saos. Angga hanya geleng-geleng memandang bibinya.
Setelah menghabiskan segelas teh manis. Angga keluar rumah. Berjalan menuju bengkelnya. Sepanjang jalan, gadis-gadis terpesona melihatnya yang pagi itu berpenampilan seperti seorang eksekutif muda. Bahkan, ada salah seorang wanita yang bersiul ketika Angga melewatinya. Namun, Angga tidak memedulikannya. Doyok dan Hendra menyambutnya dengan mata melebar, mulut ternganga. Angkot masuk kali. Hehehe.
“Kenapa? Terpesona lihat kegantenganku, ya!” seru Angga.
“Keren, Bos! Kayak Om-om doyan ABG! Hahaha....” sahut Doyok.
Hendra tertawa.
”Nah, lu sendiri kayak apa, Yok?” timpal Hendra.
“Kalau aku sih kayak pejabat ketangkap KPK!” jawabnya enteng.
“Atau pejabat ketahuan selingkuh yang mirip lu, Yok!” timpal Angga.
Mereka pun tertawa tanpa beban.
“Ngomong-ngomong mau ke mana, Bos? Rapi amat?” tanya Doyok.
“Iya, si Amat saja tidak serapi, Bos!” timpal Hendra.
“Aku kan bukan si Amat atuh, bego! Pokoknya, kalian doakan saja! Hari ini, aku akan ngelamar kerja ke AR FM. Demi cinta!”
“Serius, Bos? Kirain kemarin bercanda,” Doyok seperti kurang yakin.
“Tidak ada kata bercanda dalam cinta, Yok! Pokoknya, aku bakalan lakukan apa saja, supaya bisa mendapatkan cinta sang Penyiar itu!”
“Ckckck....” Hendra geleng-geleng kepala.
”Ternyata, cinta itu memang seperti remot yang bisa mengatur hidup si Pecinta seenaknya,” sambungnya.
“Sudah! Tolong panaskan vespaku, Yok! Kalian sudah ngopi belum?” seru Angga.
“Siap, Bos! Soal ngopi mah gampang.”
“Dra, beli kopi sana!” Angga sambil memberikan beberapa lembar uang kepada Hendra.
“Ok, Bos!” Hendra sigap.
Langit cerah pagi itu. Jalan Tamansari mulai ramai. Beberapa orang mahasiswi ITB melintas di depan bengkel. Hendra dan Doyok tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan itu. Setiap pagi mereka selalu menggoda wanita-wanita yang melewati bengkel. Sesibuk apa pun, mereka selalu menyempatkan diri walau hanya bersiul. Wanita-wanita yang digoda itu selalu tersenyum, tapi bukan untuk Hendra dan Doyok, melainkan untuk Angga yang memang terlihat memikat bagi kaum perempuan. Gayanya yang cuek, ditopang dengan wajahnya yang ganteng menjadikan sebagian kaum wanita berharap menjadi pacarnya. Apalagi memang mereka tahu bahwa Angga adalah calon dokter.
Angga bangkit dari duduknya. Menepuk-nepuk celana, merapikan kemejanya. Meskipun Angga tidak suka memakai minyak rambut, tapi rambutnya selalu terlihat rapi dan bersih. Kemudian, masuk ke dalam bengkel. Tidak lama, ia sudah kembali keluar. Kini, di bahunya terlihat sebuah tas yang ia selendangkan.
“Aku pergi dulu, ya! Doain!” seru Angga pada Hendra dan Doyok.
“Ok, Bos. Semoga sukses!” jawab mereka hampir bersamaan sambil menatap Angga penuh kagum.
“Kalau aku belum pulang sampai zuhur dan kalian mau makan, pakai saja duit yang ada, ok!”
“Ok, Bos! Tidak usah cemas, yang penting si Bos sukses!” jawab Hendra.
Angga segera menyelah vespa antiknya dan segera melaju meninggalkan kedua sahabatnya yang masih saja menatap penuh kagum. Betapa tidak, meskipun Angga termasuk anak orang kaya, tapi tidak pernah memanfaatkan kekayaan orang tuanya untuk bergaya, apalagi hura-hura. Ia lebih suka berusaha sendiri untuk mencukupi hidupnya. Sedang uang kiriman dari orang tuanya, ia tabung. Tidak pernah dipakai sepeser pun.
Lima menit kemudian, Angga sudah berada di Jalan Dayang Sumbi. Vespanya melaju tenang di Jalan Babakan Siliwangi dan belok kiri ke Jalan Cihampelas, kemudian ke Jalan Cipaganti. Lurus terus ke Jalan Lamping. Hampir di setiap setopan para pengamen memanggilnya. Ternyata, Angga cukup dikenal oleh anak-anak jalanan. Tentunya, bukan sebagai pengamen atau preman. Mungkin, karena Angga, Doyok, dan Hendra selalu membagikan makanan gratis di setiap haji Jumat. Atau, Angga menyebutnya dengan Jumat Berkah. Ya, caranya membagikan makanan secara gratis kepada pengamen jalanan dan preman di sekitar Cipaganti.
Tiga puluh menit berikutnya, Angga sudah tiba di Jalan Jurang. Ia menghentikan motornya tepat di depan gedung AR FM dengan tower menjulang tinggi di belakang gedung. Dari depan, gedung AR FM lebih tampak seperti sebuah rumah tua dua lantai bergaya Eropa. Pintu kaca berukuran dua meter terbuka, sehingga Angga dapat melihat beberapa orang sedang duduk di sofa lobi. Sementara seorang satpam menatapnya dari pos yang terletak di pojok sebelah kiri halaman.
“Apa aku langsung masuk saja, ya?” tanya Angga pada dirinya sendiri.
“Tin… tin!”
Angga dikagetkan oleh bunyi klakson di belakangnya. Ia segera minggir. Sebuah Avanza putih melaju di depannya. Kaca pintu mobil terbuka. Seorang gadis berambut hitam kecokelatan sebahu dan bermata bening tersenyum santun kepadanya. Angga pun mengangguk sambil membalas senyuman manis itu.
“Busyet, makan apa itu cewek, cakep banget!” gumamnya.
Angga terus menatap Avanza itu hingga berhenti di sebelah kiri halaman, di samping pos satpam yang dinaungi oleh sebuah pohon besar. Konon, setiap malam Jumat dan malam Selasa, dari arah pohon itu selalu terdengar suara gamelan. Dan ketika seorang pemburu hantu mendatanginya ternyata benar saja, terdengar suara gamelan yang bersumber dari radio tape Pak Satpam. Angga selalu tersenyum geli setiap mendengar cerita itu.
Namun, senyumnya seketika itu hilang, ketika di hadapannya berdiri seorang pria tinggi berseragam hitam-hitam yang tidak lain adalah Pak Midun, satpam yang kebetulan bertugas pagi itu di AR FM. Matanya tajam menatap Angga. Namun, Angga sedikit pun tidak takut. Malah, dia berusaha menahan tawa ketika melihat kumis sang Satpam yang bergerak-gerak seperti kumis kecoak.
“Pagi, Pak!” sapa Angga sambil mengangguk.
Satpam mengangguk, tapi tidak menjawab.
“Sadis banget sih!” gumamnya dalam hati. Namun, karena niatnya sudah bulat untuk melamar kerja di AR FM ini, maka ia pun tetap mencoba ramah.
“Mm... begini Pak, saya mau bertemu dengan staf di radio ini,” ucap Angga lagi.
Pak Satpam terlihat semakin bengis. Menatap Angga dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kemudian membuka mulutnya. Dan....
”A a apa..kep..kep keperluan ka..kamu?”
Seketika itu juga Angga menutup mulutnya menahan tawa. Ternyata, satpam bermuka bengis itu ga..ga..gagu! Kok, jadi ketularan. Hehehe.
Namun, Angga sebisa mungkin bersikap biasa. Meskipun hatinya menjerit.
“O, Tuhan, alangkah lucunya ciptaan-Mu ini.”
Angga tertawa keras dalam hati. Kemudian, setelah dapat mengendalikan hatinya dari tawa yang tidak beradab, Angga pun melanjutkan bicaranya.
“Saya mau melamar kerja di AR FM ini, Pak!”
“O... o... beg... beg... begitu. Ki... ki... rain a... a... a... ada aap... ap... apa!”
Angga mengembuskan napas yang ikut sesak ketika Pak Satpam itu selesai bicara.
“Bag... bag... bagai ma... mana, Pak?”
“Ka... ka... mu! Ja... ja... jangan melel... melel... meledek, ya!” Pak Satpam itu tersinggung, karena tanpa sengaja Angga ikut-ikutan gagu.
“Ufs! Sorry, Pak. Hapunten atuh. Hanya beradaptasi saja. Hehehe.” Angga segera meminta maaf sambil terseyum.
Sementara, wanita pengemudi Avanza putih tadi menatap dari jauh juga sambil tersenyum. Ia pun kemudian menghampiri Angga dan Pak Satpam. Kemudian memukul bahu Pak Midun.
“Eh! Nen... Nen.... Neng Rah... Rah... ma!”
“Biar Neng yang bicara sama tamu ini, Pak!” sahut Rahma.
***