Try new experience
with our app

INSTALL

Dendam Sang Mafia 

Bab 7

Tawa canda menghiasi keluarga Alfahri dalam perjalanan pulang dari Bandung menuju Jakarta. Di mobil itu ada Rosa, Hartawan, Aldebaran, dan Mirna yang menjadi pengasuh. Mereka baru saja menikmati liburan di beberapa tempat wisata di Bandung.

Hartawan sedikit memelankan laju mobil karena keadaan jalan agak licin sehabis diguyur hujan deras, apalagi hari sudah malam. Ketika melewati tanjakan, ada sebuah mobil warna putih berhenti di pinggir jalan. Rintik-rintik hujan menghalangi pandangan, sehingga dia harus memicing untuk melihat jalan. Mobilnya seketika berhenti setelah mengetahui pelat nomor mobil putih itu.

"Lho, kenapa berhenti di sini, Mas?" tanya Rosa dengan nada heran.

"Itu, kan, mobil Surya." Hartawan menunjuk ke mobil yang berada di depan mobilnya. "Mungkin mobil dia mogok. Aku akan lihat dulu."

Rosa menatap ke sekeliling. Jalanan tampak sepi, mungkin karena hujan, jadi tidak ada kendaraan yang lewat selain mobilnya. "Kamu hati-hati, Mas," ujarnya seraya memberikan payung kepada Hartawan.

"Kamu di mobil aja sama Al dan Mirna." Hartawan menghampiri mobil itu dengan payung. Dia mengetuk-ngetuk kaca mobil, lalu mengintip, apakah ada orang atau tidak di dalam mobil tersebut.

Siapa sangka, dua orang pria berbadan kekar keluar dari pintu bagian belakang dan menyergap Hartawan. Salah satunya mengunci kedua tangan Hartawan. Satunya lagi menghajar Hartawan habis-habisan.

Kedua mata Rosa terbelalak melihat Hartawan tak berdaya di tangan dua pria itu. Tentu saja, dia tidak bisa berdiam diri di dalam mobil dan mencari cara untuk membantu suaminya. Sebelum keluar dari mobil, dia menyuruh Mirna membawa Aldebaran pergi karena merasa keadaan sedang tidak aman.

Aldebaran―yang saat itu berusia dua belas tahun―meraung-raung tidak ingin pisah dari ibunya. Dia juga ketakutan melihat sang ayah yang dipukuli sampai babak belur oleh dua orang pria berbadan kekar.

"Kamu sembunyi dulu ke tempat yang aman sama Mbak Mirna. Nanti Papa dan Mama akan nyusul," ucap Rosa, menenangkan tangisan Aldebaran.

"Aku nggak mau sama Mbak, Ma." Aldebaran masih merengek sambil menggenggam lengan Rosa.

Rosa mengabaikan suara Aldebaran dan berkata kepada Mirna, "Mir, kamu udah ngasuh Al dari bayi dan tahu sifat Al kayak gimana. Saya percayakan Al dirawat sama kamu. Tolong, jagain Al dengan baik, ya!"

"I—iya, Bu," sahut Mirna walaupun merasa aneh dengan ucapan Rosa.

Situasi makin mencekam saat dua pria lainnya keluar dari mobil putih itu dan berjalan ke arah mobil Hartawan. Rosa jadi syok dan mendesak Mirna untuk segera membawa Aldebaran pergi yang jauh.

Mirna bingung menghadapi situasi itu. Dia memeluk Aldebaran yang meronta-ronta memanggil ayah dan ibunya. Setelah berhasil keluar dari mobil, kedua orang itu malah dikejar oleh seorang pria berotot. Satunya lagi menangkap Rosa.

Mirna dan Aldebaran berlari kencang memasuki hutan dan bersembunyi di semak-semak. Pria yang mengejarnya, berusaha mencari keberadaan mereka sambil mengacungkan pistol.

Sementara itu, Rosa berusaha melepas diri dari pria berkepala plontos dengan cara menggigit lengan dan menginjak kakinya sekuat tenaga. Setelah terlepas, Rosa mengambil sepotong kayu di dekat semak-semak dan memukul punggung pria itu hingga tersungkur, kemudian dia beranjak mengayunkan kayu tersebut ke arah dua pria yang menghajar suaminya. Nahas, pria yang dipukul tadi, bangkit berdiri dan menembak punggung Rosa. Begitu juga dengan Hartawan yang sudah lemas, tergeletak di aspal dan berakhir sama seperti Rosa. Keduanya tewas tertembak.

Pria—yang mengejar Mirna—bergabung lagi dengan kawanannya karena gagal mendapati Mirna dan Aldebaran. Setelah memastikan suami istri itu tidak bernyawa, keempat pria itu pergi sebelum ada orang yang melihat aksi mereka.

Mirna sengaja membekap mulut Aldebaran agar tangisannya tidak didengar oleh pria yang mengejar tadi. Ketika mendengar suara tembakan, detak jantungnya serasa berhenti. Apakah kedua majikannya baik-baik saja? Itulah yang dia khawatirkan meski saat ini tidak tahu bagaimana akhir dari nasibnya.

Hampir setengah jam bersembunyi, Mirna mengintip dari balik semak-semak. Tidak ada siapa pun di sana. Dia mengajak Aldebaran kembali ke mobil. Untung saja dia mengantongi ponsel, sehingga bisa menyalakan senter untuk menerangi jalan.

Setelah keluar dari hutan, hanya tampak mobil Hartawan. Aldebaran berlari menghampiri orang tuanya, disusul Mirna. Saat tiba di sana, kedua kaki Aldebaran terasa lemas melihat orang tuanya tergeletak di depan mobil dengan kondisi tubuh berlumuran darah.

Aldebaran duduk bersimpuh. Bibirnya gemetar memanggil ayah dan ibunya meski tahu akan berakhir sia-sia. Tiba-tiba, tangan ayahnya bergerak, memanggil Aldebaran dengan suara lemah dan terputus-putus. Bocah laki-laki itu mendekati Hartawan.

"Al, Papa tidak bisa bertahan lama. Kamu ambil semua surat penting dan uang yang Papa simpan di brankas ruang kerja, lalu pindah ke Pondok Pelita. Di sana kamu akan aman." Hartawan terbatuk-batuk hingga memuntahkan darah. "Jadilah pemuda yang tangguh dan mandiri! Maafkan Papa dan Mama yang tidak bisa menjagamu dengan baik. Papa dan Mama sangat menyayangimu, Al." Usai mengatakan itu, Hartawan mengembuskan napas terakhir.

Aldebaran menjerit histeris. Malam yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, berganti menjadi malam berdarah bagi keluarga Alfahri. Isak tangis Aldebaran mengiringi kepergian orang tuanya yang tak akan pernah kembali.

***

Mimpi buruk itu datang lagi. Aldebaran spontan membuka mata, terduduk, dan mengatur napasnya yang terasa sesak. Dia hanya bisa meredamkan rasa rindu dengan memeluk bingkai foto orang tuanya, sangat lama hingga Rendi masuk ke kamarnya.

"Maaf, Pak, saya mengganggu tidur Anda. Jam tujuh nanti ada janji makan malam dengan Pak Surya di Purple Resto. Anda harus bersiap-siap."

Aldebaran melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah enam sore. Ternyata, sudah empat jam, dia tertidur sepulang dari bandara tadi.

"Iya, makasih udah mengingatkan saya. Kamu tunggu di luar, saya akan bersiap-siap."

Rendi sedikit menunduk. "Baik, Pak. Saya permisi dulu."

Setelah Rendi keluar dan pintu kamar tertutup, Aldebaran menatap foto orang tuanya. "Pa, Ma, aku akan bertemu dengan pembunuh itu nanti malam. Aku janji akan memberi pembalasan yang setimpal padanya."

Aldebaran yakin seratus persen bahwa Surya yang menyuruh empat orang pria untuk membunuh orang tuanya karena Hartawan sempat menyebut pemilik mobil putih itu adalah Surya.

Sesampainya di Purple Resto, Aldebaran masuk di ruang VIP. Selama menunggu Surya, Aldebaran dan Rendi mengatur strategi selanjutnya. Tak lama kemudian, Rendi melihat ponselnya dan mendapati sinyal dari alat pelacak yang dipasang di mobil Surya berhenti di restoran itu.

"Pak, Pak Surya sudah tiba di sini," ujar Rendi seraya memberikan ponselnya ke hadapan Aldebaran.

Aldebaran mengembalikan ponsel Rendi dan berkata, "Jalankan tugas kalian dengan baik! Saya akan mengulur waktu mereka selama di sini sampai kalian selesai memasang kamera di rumah mereka."

"Baik, Pak." Rendi bergegas keluar sebelum berpapasan dengan Surya.

Surya, Sarah, Andin, dan Nino masuk ke Purple Resto sambil mengedarkan pandangan. Tidak tampak satu pun pengunjung yang datang. Agak aneh. Restoran itu terkenal ramai, bagaimana mungkin sekarang jadi sepi?

Seorang pelayan wanita menghampiri Surya. "Mari, saya antar ke lantai dua! Pak Aldi sudah menunggu Anda."

Surya mengerutkan dahi. "Kamu tahu dari mana kalau saya ini tamu Pak Aldi?"

Pelayan itu tersenyum. "Restoran ini sudah di-booking sama Pak Aldi, jadi tidak ada tamu selain Anda."

Surya, Sarah, Andin, dan Nino mengikuti langkah si pelayan wanita itu menaiki tangga. Surya tidak tahu, apa alasan Aldebaran sampai menyewa satu restoran, padahal ini cuma makan malam biasa. Setelah tiba di depan ruang VIP, pelayan itu membuka pintu dan mempersilakan masuk.

Ketika mendengar suara pintu terbuka, pandangan Aldebaran teralihkan dari ponselnya. Dia berdiri, menyambut kedatangan tamu spesialnya. Meski enam belas tahun berlalu, wajah Surya masih sama seperti dahulu.

"Selamat malam, saya Aldi Purnama," ucap Aldebaran seraya mengulurkan tangan.

Surya menyambut uluran tangan Aldebaran dengan senang hati. "Saya Surya, pemilik yayasan Pelita Bangsa. Senang sekali bisa bertemu dengan Anda dan terima kasih atas sumbangan Anda untuk kampus kami."

Aldebaran tertawa singkat. "Bagi saya, itu bukan jumlah yang besar. Semoga sumbangan dari saya bisa bermanfaat untuk kampus Pelita Bangsa."

Surya memperkenalkan Sarah, Nino, dan Andin kepada Aldebaran. Namun, Aldebaran bersikap pura-pura tidak mengenal siapa pun.

Ketika bersalaman dengan Andin, kedua mata Aldebaran terpaku sembari berbicara di dalam hati, Gara-gara ulah ayah kamu, aku tidak punya orang tua lagi. Ayah kamu harus ngerasain hal yang sama sepertiku, hidup sendiri tanpa orang-orang terkasih. Namun, kamu tidak boleh meninggal dengan mudah dan cepat. Aku sudah menyiapkan rencana khusus untukmu.

Nino cepat-cepat menarik tangan Andin dari genggaman Aldebaran. Dia tidak suka melihat tatapan Aldebaran kepada Andin, seakan-akan mau merebut Andin dari sisinya.

Aldebaran sangat memahami reaksi Nino. Menurut informasi dari Rendi, Nino adalah tunangan Andin, gampang cemburu, dan sangat posesif terhadap Andin.

Andin mematung di samping Nino. Kedua matanya seolah-olah terkunci oleh wajah Aldebaran. Rasa penasaran terhadap pria yang bernama Aldi Purnama, sekarang sudah terjawab. Pria itu memang orang yang sama dengan pria yang bertemu di koridor kampus saat dia akan pulang.

"Ndin," Nino menarik pelan lengan Andin, "ayo, kita duduk! Kenapa bengong di sini?"

Andin sontak mengalihkan tatapannya kepada Nino. "Oke, kita duduk."

Setelah memesan makanan, Surya menanyakan beberapa hal terkait kehidupan dan pekerjaan Aldebaran. Tentu saja, pria lajang itu tidak mengatakan yang sebenarnya. Bisa hancur semua rencana Aldebaran kalau sampai Surya tahu identitas yang asli.

Diam-diam, Andin menatap Aldebaran. Meski sekarang sudah tahu siapa Aldi Purnama, dia masih penasaran dari mana pria itu tahu nama lengkapnya. Terlebih lagi, dia tidak menemukan identitas ataupun jejak digital tentang Aldebaran di internet. Pria itu terkesan misterius.

Aldebaran menunjukkan ekspresi yang tenang dan ramah di depan Surya dan yang lainnya. Namun, tidak dengan hatinya yang terus bergejolak. Kedua tangannya terkepal kuat, menahan emosi yang siap meluap detik ini juga. Surya yang sudah dianggap seperti keluarga, justru menjadi pelaku utama pembunuhan orang tuanya. Dari kejadian itu, satu hal yang Aldebaran pahami, yaitu orang baik tidak selalu terlihat baik. Akan tiba waktu yang mengungkapkan baik buruknya sifat seseorang.

Ketika yang lain menyantap makanan, Aldebaran justru pamit pulang dengan alasan ada urusan yang mendadak. Yang terjadi sebenarnya, dia sudah tidak sanggup mengontrol emosi di depan Surya dan memilih pergi.

"Ma, Pa, aku ke toilet bentar," dalih Andin, yang sebenarnya ingin menyusul Aldebaran.

Nino merasa khawatir dengan Andin, terlebih soal ancaman Pratama. "Ndin, aku temenin, ya."

Andin cepat-cepat mengklarifikasi. "Tidak usah, No. Masa kamu ikut masuk toilet cewek?"

"Ya, enggaklah. Aku tungguin kamu di luar," balas Nino.

"Kamu di sini aja. Aku bisa pergi sendiri, lagian di restoran ini nggak ada tamu lain, jadi aku akan aman." Setelah memberi pengertian, Andin bergegas keluar. Alih-alih ke toilet, dia berlari mengikuti langkah Aldebaran yang begitu cepat menuju parkiran.

"Pak Aldi!" teriak Andin agar langkah Aldebaran berhenti. Ketika sudah berdiri di depan Aldebaran, dia mengatur napasnya sejenak dan bertanya, "Boleh kita bicara sebentar?"

Dahi Aldebaran agak berkerut. "Mau bicara soal apa? Saya tidak punya waktu banyak."

Andin memainkan jemarinya. "Apa Anda masih ingat kejadian di koridor kampus beberapa hari yang lalu? Waktu itu, saya hampir terjatuh dan Anda yang menolong saya. Kalau boleh tahu, dari mana Anda mengetahui nama lengkap saya, padahal kita baru bertemu?"

Aldebaran tersenyum tipis, memahami arah ucapan Andin. "Maaf, saya masih ada urusan yang harus diselesaikan."

Andin menyusul Aldebaran yang hendak masuk ke mobil. "Tunggu sebentar, Pak. Anda belum jawab pertanyaan saya."

Aldebaran berdiri menghadap Andin. "Kalau saya bilang terpesona dengan kamu pada pandangan pertama, apa kamu percaya?"

"Hah?" Seketika, otak Andin berpikir lambat. Matanya mengerjap-ngerjap. "Maksud Anda? Terpesona dengan saya? Bagaimana mungkin?"

"Saya pernah melihat kamu di sebuah acara. Saat itu juga, saya terpesona dan mencari tahu tentang Anda. Tidak disangka, kita bisa bertemu langsung seperti ini. Mungkin sudah takdir." Aldebaran tersenyum lebar, tetapi hatinya berkata lain, Akulah malaikat pencabut nyawamu. Sebentar lagi, akan aku tunjukkan neraka yang sebenarnya kepada keluargamu!

Andin menautkan alisnya. "Acara yang mana?"

Aldebaran melirik arlojinya. "Maaf, waktu saya sudah terbuang lima menit. Saya harus pergi sekarang," pungkasnya, lalu masuk ke mobil. Andin masih mematung di sana, memperhatikan mobil Aldebaran yang berlalu meninggalkan area restoran.

Dari arah belakang, ada Nino yang sejak tadi mengawasi Andin. Selain ingin terus berdekatan dengan Andin, dia jadi penasaran dengan sosok Aldi Purnama. Dari cara Aldebaran menatap Andin saat bicara, dia bisa menyimpulkan bahwa Aldebaran menaruh hati kepada Andin.

"Aku nggak boleh lengah. Pria itu bisa kapan saja maju selangkah dari aku."

***