Try new experience
with our app

INSTALL

Bite the Bullet (TAMAT) 

EMPAT

Butuh waktu nyaris empat hari penuh bagi Vindi untuk meyakinkan Pram, ketua Vigor untuk menerima Nesia menjadi salah satu anggotanya. Pram cukup selektif untuk urusan keanggotaan, terutama untuk anggota yang mendaftar di luar jadwal rekruitmen. Dia tidak ingin menerima sembarang anggota hanya karena jumlah anggota klubnya tidak lebih dari separuh kelas. Dia tidak butuh anggota yang hanya ingin bermain-main dengan Vigor. Lebih-lebih, dia tidak butuh anggota cewek yang hanya ingin dekat dengan anggota cowok. Seandainya Pram tahu alasan Nesia bergabung, dia pasti akan langsung ditolak pada permintaan pertama.

Vindi nyaris kehabisan cara untuk meyakinkan Pram. Untungnya setelah empat hari penuh meneror Pram, ketua idealis itu akhirnya berhasil diyakinkan. Setelah mengisi formulir biodata, Nesia benar-benar tercatat resmi sebagai anggota UKM paling menyedihkan di UPB.

Awalnya, Nesia benar-benar merasa sangat bersemangat menyambut hari pertamanya di Vigor. Dia pikir, dia akan bisa melakukan kegiatan apa pun bersama Wira. Sayangnya, harapnya teringkari. Entah kenapa hari ini Wira tidak muncul di rumah kaca, tempat Vigor melakukan kegiatan. Kekecewaan itu begitu merusak, hingga hari pertamanya di Vigor terasa berantakan.

Cinta kadang memang punya efek magis yang seperti itu, mengacaukan.

Belum lagi, dia harus terlibat adu urat saraf dengan cowok lain yang harus Nesia dekati selain Wira, Yunan. Yunanta Bayu. Cowok itu ternyata menyebalkan. Tidak banyak bicara, tetapi sekali bicara benar-benar membuat darah lekas memuncak ke ubun-ubun. Keberadaan Yunan membuat sore hari Nesia menjadi makin tak karuan.

Di hari pertama Nesia bergabung, Vigor sedang memulai persiapan untuk acara Agriculture Expo dua bulan lagi.

Agriculture Expo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Alex itu adalah acara tahunan Dewan Mahasiswa yang diadakan sebagai ajang promosi Faperta UPB agar banyak yang tertarik masuk fakultas ini. Setiap UKM akan mendapat satu stan untuk memamerkan produk dan prestasi mereka. UKM-UKM favorit sarat prestasi biasanya akan memajang banyak sekali tropi kejuaraan. Stan mereka akan tampak seperti lapak penjual tropi, alih-alih sebuah UKM olahraga atau pecinta alam. Selain stan-stan UKM, biasanya akan hadir juga stan dari perusahaan-perusahaan bidang pertanian. 

“Oke, agenda kita hari ini adalah nyiapin media tanam,” ujar Pram mengumumkan agenda Vigor hari ini. “Minggu kemarin kita udah bagi kelompok. Semua bahan ada di tempat biasa.” Kata-kata Pram benar-benar padat. Sedari tadi Nesia belum mendengar basa-basi dari mulut kakak angkatannya itu. Pram dua tingkat lebih tinggi daripada Nesia. “Segera kerja. Jam empat nanti, paling nggak kita harus udah dapat setengah dari target.”

Sementara anggota yang lain mengangguk paham, Nesia justru mengangkat tangan bingung. “Emm... sorry, gue baru gabung hari ini, jadi nggak tahu mesti gabung ke kelompok mana.”

Menoleh ke Vindi, Pram langsung menjawab tanpa terlihat berpikir sedetik pun. “Vindi yang ngerekomendasiin lo buat gabung, jadi lo ikut kelompok Vindi aja.”

Giliran Vindi yang mengangkat tangan. “Atau gini aja, gimana kalau untuk sementara Nesia gabung dulu sama kelompok Yunan, buat gantiin Wira yang hari ini nggak masuk?”

“Gimana, Yu?” tanya Pram memastikan ke Yunan. Yunan adalah cowok tinggi berkulit putih yang berdiri tak jauh dari sang ketua.

Yunan hanya mengangguk, tampak tidak benar-benar peduli. Kesan pertama Nesia tidak begitu bagus melihat laku cueknya itu. Nesia memang sudah sekelas dengan Yunan selama beberapa bulan, tapi dia sama sekali tidak punya gambaran apa pun tentang Yunan. Mereka jarang terlibat dalam satu kelompok. Berada di kelas yang sama selama hampir tujuh bulan ternyata belum cukua untuk bisa mengenal Yunan dengan baik.

Nesia memperhatikan Yunan lebih lekat. Mengamati wajah putihnya yang tidak benar-benar berekspresi. Matanya yang agak sipit berlapis kacamata berbingkai tebal. Nesia mencoba mencari kilat ketertarikan di bola matanya yang hitam legam, tapi tanda-tanda itu tidak tampak. Pun tidak menunjukkan tanda-tanda penolakan.

“Oke, kalau gitu, langsung mulai aja,” perintah Pram lagi. Kali ini tidak ada interupsi apa pun. Semua orang langsung membubarkan diri, termasuk Nesia.

Sebelum Nesia melangkah mengikuti Yunan, dia sempat menoleh ke Vindi. Tiba-tiba, Vindi mengedipkan sebelah matanya dan mengucapkan good luck tanpa suara. Nesia sadar. Alasan Vindi menolak Nesia di kelompoknya adalah untuk menyatukan Nesia dengan target-targetnya. Nesia membalas kedipan mata dan dukungan Vindi dengan senyum kecut. Seandainya hari ini ada Wira di antara mereka, senyum itu pasti akan semanis madu, bukan sekecut cuka.

Satu-dua menit berlalu. Orang-orang mulai mengerjakan tugas masing-masing. Setiap anggota seolah sudah punya rincian agenda di benak mereka, karena tak terlihat seorang pun yang berdiam diri. Semuanya bekerja, kecuali Nesia, tentu saja. Dia masih tidak tahu harus melakukan apa.

“Nes, kita nggak kuat kalau mesti bayar mandor,” ujar Yunan yang kini tengah mengerumuni segunduk tinggi tanah bersama empat anggota yang lain. Masing-masing dari mereka memegang plastik hitam tebal. Polybag.

“Hah?” Nesia memandang Yunan bingung, lalu mengedar pandang. Dia berharap menemukan seorang bapak-bapak tua berkumis tebal. Kalau tidak salah, tadi Yunan menyebut kata mandor, kan? “Mandor? Mana?”

Yunan mendengus, anak-anak yang lain menguarkan tawa kecil.

“Maksudnya itu lo, Nes.” Seorang anggota perempuan menjelaskan maksud perkataan Yunan, masih sambil menahan tawa. “Kalau lo berdiri terus di situ, lo jadi kayak mandor, sementara yang lain adalah buruh. Gabung sini, nggak usah malu.”

Wajah Nesia memanas tiba-tiba, mungkin juga memerah. Sial! Ternyata dia baru saja kena sindir Yunan. Kesan pertama yang kurang baik pada Yunan semakin buruk saja jadinya.

Dengan rasa malu yang masih menebal di wajah, Nesia mendekat ke kerumunan. Dia duduk di samping cewek yang tadi menjelaskan sindiran Yunan. Cewek itu juga memberi penjelasan pada Nesia apa yang harus mereka kerjakan, tanpa diminta. Nesia benar-benar berterima kasih pada cewek itu, yang memperkenalkan diri dengan nama Arin.

“Ini namanya polibag,” ujar Arin menunjukkan kantong plastik hitam yang dia pegang. Nesia tahu, tapi dia berlagak bodoh saja. “Sebelum diisi, lo lipat sedikit ujungnya biar rapi. Isinya jangan terlalu penuh. Cukup tiga per empat bagian aja. Sisa ruangnya buat air siraman nanti.”

Nesia mengangguk, lalu Arin menunjukkan cara mengisi polibag dengan media tanam yang adalah gundukan tanah di tengah kerumunan itu. Gundukan tanah itu sudah dicampur dengan kompos, semacam pupuk kandang. Bedanya, kompos adalah kumpulan bahan organik yang sengaja difermentasikan, bukan tumpukan sisa pakan dan kotoran ternak di kandang.

Satu polibag, dua polibag, tiga polibag telah berhasil Nesia isi. Tidak sulit, seperti main-main malah. Satu semester di Fakultas Pertanian, ini pertama kalinya Nesia benar-benar berurusan dengan tanah dan kompos. Selama ini, praktikum yang dia laksanakan masih sebatas praktikum di laboratorium, belum di lapangan. Bagi orang yang tidak pernah bermain tanah, mungkin agak menjijikkan awalnya. Tapi setelah dua polibag terisi, perasaan jijik itu akan hilang dengan sendirinya. Nesia baru hendak mengisi polibag keempat saat tanah yang dia genggam serasa bergera-gerak. Dia memeriksa tangannya. Dari tanah yang gembur, seekor cacing tanah menggeliat gemulai.

“Aaaa...!” Nesia menjerit, melompat kaget dari tempat duduknya. Dia membuang sembarang tanah di tangannya. Tubuhnya merinding, jantungnya memacu cepat, bulu roma di sekujur tubuh seolah berdiri. Tangannya tiba-tiba terasa gatal dan geli.

“Woy!” teriak Yunan. Nesia langsung menoleh ke arah Yunan, hanya untuk mendapati bahwa tanah yang tadi dia lempar sembarang ternyata mendarat di tubuh Yunan, yang kini tengah dia coba bersihkan dari tubuhnya. Beberapa bahkan tersangkut di rambutnya yang lurus.

Sorry, gue...”

“Kerja itu yang bener,” bentak Yunan, memotong permintaan maaf yang sudah hendak keluar dari mulut Nesia. “Nggak usah main-main.”

“Siapa juga yang main-main,” balas Nesia tak kalah sengit. “Tadi ada cacing. Gue paling takut sama binatang-binatang kayak gitu. Cacing, ulet, kaki seribu, ...”

“Belut, uler, naga, tali tambang.” Lagi-lagi Yunan memotong kata-kata Nesia.

Nesia tak membalas. Dia sudah terlanjur kesal pada cowok itu. Dia hanya kembali duduk di tempatnya semula dan kembali bekerja, meski dengan sedikit lebih hati-hati sekarang. Dia tidak ingin mendapat bonus cacing gemulai lagi.

Sebenarnya, tadi Nesia sempat merasa bersalah karena telah tak sengaja melempar tanah ke Yunan. Tapi mendengar kata-kata Yunan yang tajam, membuat Nesia sedikit senang tanah itu nyasar ke tubuh Yunan. Setidaknya, hamburan tanah itu cukup setimpal untuk membalas kata-kata yang keluar dari mulut menyebalkan Yunan.

Dan, Nesia juga jadi sadar satu hal penting. Tampaknya, orang yang mengiriminya pesan cinta memang Wira. Tidak mungkin Yunan. Perlakuan Yunan ke Nesia benar-benar tidak menunjukkan tanda-tanda cinta mana pun.

Tanda kebencian, itu jauh lebih mungkin. 

***

Kantin Fakultas Pertanian cukup kecil, jadi selalu terlihat penuh, ramai, dan kacau balau. Tapi, di situlah asyiknya. Kelakar para cowok berbaur dengan jeritan dan teriakan para cewek. Hembusan-hembusan hangat gosip menyusup di antara kelakar bangga dan jerit girang, membentuk atmosfer berapi-api yang begitu pekat di udara. Nesia dan ketiga sahabatnya juga tengah turut membarakan atmosfer.

 “Kalau di kelas aja diamnya nggak ketulungan. Giliran udah bisa ngomong, tajem banget kata-katanya.” Nesia berujar sengit. “Sumpah, nyebelin banget itu anak.”   

Nesia, si kembar, dan Vindi kini tengah melingkari sebuah meja bulat di salah satu sudut kantin. Nesia sedang membagikan pengalaman pertamanya bergabung dengan Vigor, yang sama artinya dengan pengalaman pertamanya perang urat saraf dengan Yunan.

“Jangan gitu,” ujar Vindi berusaha menenangkan Nesia. “Sama orang itu jangan benci-benci banget. Kata orang, benci sama suka itu cuma terpisah lapisan tipis. Lapisan tipis itu mudah banget robeknya.”

“Nggak bakal.” Nesia kukuh, masih merasa dongkol dengan kejadian kemarin. “Gue nggak bakal suka sama orang kayak Yunan.”

“Hati-hati kalau ngomong,” ujar Rima. Wajahny berhias senyum culas. “Hati manusia itu mudah banget goyah. Jangan sampai lo ngejilat ludah lo sendiri.”

“Siapa tahu sekarang panci, besoknya talenan. Sekarang benci, besoknya pacaran,” ujar Irma sok berpantun, yang langsung mengundang tawa di sekeliling meja itu saking garingnya.

“Nggak-nggak. Nggak pokoknya.” Nesia berusaha membungkam tawa teman-temannya, tetapi usahanya gagal total. Gelombang tawa tetap berderai. “Selama mulutnya masih tajem kayak kemarin, gue kasih jaminan ke kalian. Gue nggak bakal suka sama dia.”

  “Hmmm... berarti kalau dia bisa jaga mulut, lo bisa suka sama dia dong,” ujar Irma menyimpulkan.

Nesia sudah hendak protes, tapi dia terpaksa menelan protesnya lantaran Vindi tiba-tiba berbicara. “Kok gue jadi curiga kalau sebenarnya emang Yunan yang ngasih Nesia surat kaleng.”

Nesia langsung melotot, tidak paham dengan maksud dugaan Vindi. Bagaimana mungkin dia menduga seperti itu? Jelas-jelas Yunan tidak menunjukkan rasa suka sedikit pun padanya.

“Bisa jadi, kemarin Yunan cuma lagi akting,” lanjut Vindi menjelaskan. “Dia pura-pura galak di depan Nesia buat ngumpetin rasa sukanya. Dia masih belum siap kalau Nesia sampai tahu dialah si pengagum rahasia itu.”

Analisis Vindi benar-benar kacau. Bagaimana dia bisa punya pikiran seperti itu? Tapi, bagaimana kalau...?

Tidak mungkin. Pasti bukan Yunan.

Si kembar mengangguk-angguk, seolah mulai paham maksud dugaan Vindi. Lalu, mereka mulai sahut-menyahut mengeluarkan dugaan mereka, yang sialnya, sekali lagi, mereka berdua sepakat dengan Vindi.

“Masuk akal juga.” Rima memulai. “Kayaknya lucu kalau ternyata memang Yunan yang ngasih surat itu.”

Irma membalas, “Gue jadi pengin liat gimana reaksi Yunan kalau besok beneran kebukti dia yang ngasih surat kaleng itu.”

Nesia mendengus jengah. “Terserah kalian deh. Kalau gue boleh milih sih, gue pasti lebih milih Wira.”

“Atau...” Rima kembali bicara, sepertinya sebuah ide baru saja mekar di benaknya. “Gimana kalau kita bikin taruhan kecil-kecilan?”

Semua orang memandang Rima tertarik, termasuk Nesia. Mereka menunggu Rima mengemukakan idenya. “Kita taruhan. Di antara Yunan sama Wira, menurut kalian siapa yang ngasih surat kaleng itu ke Nesia? Atau sekalian, kalau Nesia beruntung, siapa yang bakal beneran jadian sama Nesia?”

“Yunan.” Vindi langsung menyahut, tak sampai satu detik setelah Rima selesai mengucapkan kata terakhir. Terlihat sangat bersemangat.

“Gue juga Yunan,” ujar Rima juga sama terburunya, seolah tak ingin kalah cepat dari kembarannya.

Irma mendengus, sudah jelas dia kalah cepat. Biasanya dalam hal taruhan seperti ini, si kembar tidak pernah berada pada satu pilihan. Keduanya akan memilih sisi yang berbeda. Dengan nada sedikit kesal, Irma mengucapkan pilihannya. “Gue dukung Wira deh.”

Kini, tinggal Nesia yang belum mengutarakan pilihannya. Tapi, sudah jelas siapa yang akan dia pilih. “Kalau gue, udah jelas siapa yang bakal gue pilih. Jelas gue pilih Wira.”

Nesia tersenyum. Dalam hati, dia melanjutkan kalimatnya. “Dan, gue harus menang.”

***

 Nesia tengah memikirkan taruhan yang dia buat siang tadi dengan teman-temannya. Dia tidak boleh kalah. Dia harus bisa membuktikan bahwa Wira-lah orang yang memberinya surat kaleng. Dan syukur-syukur, dia bisa sekalian jadian dengan Wira. Itu pasti akan luar biasa. Tapi sebaliknya, kalau dia kalah taruhan, yang artinya terbukti Yunan-lah si pengirim surat kaleng itu, Nesia harus rela patah hati, juga rela menjadi donatur makan siang Rima dan Vindi selama satu minggu penuh.

Tentu saja dia tidak rela kalah. Dia masih sayang dengan hatinya, juga isi dompetnya.

Nesia masih sibuk memikirkan cara untuk memenangkan taruhan itu ketika ponselnya menderingkan tanda pesan masuk. Dia cukup terkejut mendapati nama Yunan Suneo tertera di layar ponselnya. Yah, Nesia menamai kontak Yunan dengan nama Yunan Suneo, hanya untuk mengingatkan bahwa Yunan bermulut tajam, setajam bibir Suneo yang lancip.

From: Yunan Suneo

20.13

Barusan gue di-WA dari Mas Pram.

Dia minta daftar komoditas yang mau lo tanam.

Komoditas yang ingin Nesia tanam? Kemarin tidak ada pembicaraan apa pun terkait komoditas. Padahal, Nesia sama sekali tidak punya pengalaman apa pun terkait tanam-menanam.

To: Yunan Suneo

20.22

Gue nggak tahu mesti nanam apa.

Gue nggak punya gambaran apa-apa.

Sebuah pesan balasan datang tidak sampai dua menit setelah pesan Nesia terkirim.

From: Yunan Suneo

20.23

Kalau gitu, besok habis pelajaran, kita ketemu di rumah kaca buat bahas ini.